Oleh Windraty Ariane Siallagan, Kasubdit Litbang dan Kerjasama Kelembagaan, DJPB
Laporan keuangan yang telah diaudit (audited financial report) merupakan tempat terbaik untuk mengetahui kesehatan keuangan Pemerintah. Namun, bagi kebanyakan orang, membaca laporan keuangan seperti makan daging. Semua orang tahu bahwa dimakan secara proporsional, daging baik bagi kesehatan, tapi sulit dicerna. Begitu juga laporan keuangan Pemerintah, memiliki segudang manfaat, namun sulit dipahami karena isinya berlembar-lembar, kompleks dan sarat dengan bahasa teknis. Lalu, bagaimana cara mengunyah dengan mudah laporan keuangan untuk menilai kondisi keuangan Pemerintah?
Pertama-tama mulai dengan memahami elemen-elemen utama laporan keuangan serta melakukan interpretasi dan analisis atas isi laporan tersebut. Sebelum meneropong lebih jauh masing-masing komponen laporan keuangan, perlu dipahami bahwa laporan keuangan Pemerintah harus diaudit oleh institusi independen Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Audit BPK memberikan jaminan dan kepercayaan bagi para pengguna laporan, antara lain DPR, investor, donor, mahasiswa, dan masyarakat umum lainnya, bahwa laporan keuangan disusun berdasarkan peraturan yang berlaku, standar dan aturan akuntansi serta bebas dari kesalahan yang material. Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) Tahun 2016 adalah LKPP pertama yang memperoleh Opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) dari BPK. Opini terbaik pertama yang diperoleh sejak tahun 2005 (LKPP pertama kali diaudit) merupakan rapor biru Pemerintah yang patut diacungi jempol.
Jika laporan keuangan inti perusahaan pada umumnya terdiri dari neraca, laporan laba rugi dan laporan arus kas; LKPP terdiri dari 7 (tujuh) jenis laporan yaitu Neraca, Laporan Realisasi Anggaran (LRA), Laporan Perubahan SAL (LPSAL), Laporan Operasional (LO), Laporan Arus Kas (LAK), Laporan Perubahan Ekuitas (LPE), dan Catatan atas Laporan Keuangan (CaLK).
Mengapa Pemerintah tidak menyusun laporan laba rugi? Pemerintah tidak menyajikan laporan laba rugi karena Pemerintah bukan insititusi pencari laba seperti sektor swasta. Sebaliknya, Pemerintah fokus pada penyediaan pelayanan yang bertujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Namun demikian, walaupun bukan bertujuan mencari untung, prinsip yang dianut Pemerintah dalam manajemen keuangan–selain prinsip ekonomis, efisiensi dan efektivitas–adalah tidak boleh rugi. Itu sebabnya, setiap kerugian yang dialami Pemerintah akan ditelusuri siapa penyebabnya. Selanjutnya akan dilakukan Tuntutan Ganti Rugi (TGR) kepada pihak-pihak yang menyebabkan kerugian tersebut.
Pernah membaca berita tentang orang terkaya di suatu negara atau di dunia? Apa yang diulas di sana? Jumlah asetnya? Nilai utangnya? Atau akumulasi kekayaan bersih-nya? Ya, benar. Informasi tentang aset dan utang tentu dibahas, namun yang kerap disoroti bukanlah banyaknya aset atau besarnya utang semata tapi berapa sesungguhnya jumlah kekayaan bersih-nya atau net-worth. Majalah Forbes dalam artikelnya bertajuk ‘Meet the Richest Person on the Planet’ tahun 2017 menyebutkan bahwa Jeff Bezos, pendiri dan CEO Amazon adalah orang terkaya di dunia. Jeff Bezos menjadi centi-billionaire pertama yaitu orang yang kekayaan bersihnya lebih dari $100 miliar. Dengan net worth sebesar $132 miliar atau setara dengan Rp1.842.588 triliun, Jeff Bezos telah mengalahkan pendiri Microsoft Bill Gates yang kekayaan bersihnya mencapai $91 miliar (ekuivalen Rp1.270.269 triliun).
Kekayaan bersih merupakan jumlah aset dikurangi utang atau kewajiban. Istilah ekonominya adalah ekuitas . Kembali lagi ke makna ekuitas, maka individu termasuk negara yang kaya bukan yang memiliki banyak aset, tapi yang memiliki ekuitas yang tinggi. Karena aset yang banyak menjadi tidak berarti jika jumlah utang juga menggunung melebihi jumlah aset-nya. Informasi mengenai ekuitas yang merupakan kontribusi jumlah aset dan kewajiban tertuang dalam neraca.
Dalam neraca LKPP tahun 2016, kekayaan bersih Pemerintah Pusat adalah Rp1.566,94 triliun alias Rp1,5 kuadriliun. Angka tersebut berasal dari pengurangan jumlah aset senilai Rp5.456,88 triliun dengan jumlah kewajiban sebesar Rp3.889,94 triliun. Mengintip isi LKPP dari tahun ke tahun, ternyata kekayaan bersih Pemerintah mengalami peningkatan. Jika di tahun 2009 ekuitas Pemerintah hanya senilai Rp449 miliar maka di tahun 2014 dan 2016 masing-masing sebesar Rp1.012,53 triliun dan Rp5.456,88 triliun.
Pembentuk ekuitas adalah aset dan kewajiban. Aset Pemerintah Pusat tahun 2016 mencapai Rp5.456,88 triliun yang merupakan hasil akumulasi dari belanja pemerintah pada masa-masa sebelumnya. Neraca menunjukkan bahwa aset Pemerintah yang meningkat dari tahun ke tahun; tahun 2012 senilai Rp3.432,98 triliun dan tahun 2014 Rp3.910,92 triliun.
Yang menarik adalah bahwa karakteristik aset Pemerintah sangat unik. Keunikan tersebut khususnya menyangkut aset militer, aset bersejarah dan aset tetap (seperti jalan, jembatan, irigasi, dan jaringan) serta aset tidak berwujud. Disamping itu, aset Pemerintah didominasi oleh aset yang tidak riil dan tidak likuid. Jadi, jika Pemerintah mengalami defisit, tidak serta merta dapat menjual asetnya. Hal ini berbeda dengan perusahaan prifat yang dapat segera memberikan solusi dengan menjual aset-asetnya-nya, jika sewaktu-waktu keuangan perusahaan terganggu.
Bagaimana dengan kewajiban Pemerintah? Walaupun kekayaan bersih Pemerintah meningkat, utang/kewajiban juga cenderung meningkat. Nominal utang Pemerintah Pusat tahun 2016 Rp3.889,94 triliun. Angka ini memang secara signifikan meningkat jika dibandingkan dengan utang tahun 2014 Rp2.898,38 triliun, tapi bukan berarti Pemerintah hobi ngutang. Pemerintah berhutang untuk menambal defisit dalam rangka penyelenggaraan pelayanan publik. Besaran nominal utang belum merepresentasikan analisis yang memadai. Informasi itu pada hakikatnya hanya sebagian dari cerita utuh (half of the story) dan tidak dapat dijadikan satu-satunya ukuran untuk menjustifikasi apakah utang dalam kendali.
Nominal utang dimaksud, masih perlu dibandingkan dengan berbagai indikator lainnya misalnya penghasilan. Dalam dunia keuangan, perbandingan utang dengan penghasilan dianalogikan dengan rasio utang terhadap Produk Domestik Bruto atau debt-to-GDP ratio yang tahun 2016 sekitar masih di sekitar 27,96%. Menurut UU No.17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara, rasio tersebut tidak boleh menabrak batas 60 % dari PDB. Artinya, dibarengi dengan peningkatan PDB, nilai nominal utang yang tinggi dan cenderung meningkat masih terkendali dan belum menganggu kesinambungan fiskal.
Intinya, berutang boleh-boleh saja, karena tidak dapat dipungkiri bahwa manfaat utang cukup banyak sepanjang dikelola dengan tidak ugal-ugalan. Lagipula, disamping berbagai strategi pengelolaan utang seperti menjaga batas aman rasio utang terhadap PDB dan pemanfaatan utang untuk proyek produktif, Pemerintah menerapkan prinsip prudent dalam pengelolaan utangnya untuk menjaga kesinambungan fiskal.
Yang paling jelas adalah laporan keuangan bukan hanya berguna untuk media pertanggungjawaban keuangan Pemerintah, tapi juga untuk pengambilan keputusan. Memahami lebih dalam apa yang dikatakan laporan keuangan tentang kondisi keuangan Pemerintah mensyaratkan interpretasi dan analisis. Analoginya, jika kita melakukan check-up kesehatan di rumah sakit, dokter akan merekomendasikan pemeriksaan dengan berbagai alat diagnosis yang beragam, mulai dari yang sederhana misalnya stetoskop, sampai yang paling canggih X-Ray, CT-Scan, MRI dan sebagainya. Alat diagnosis yang digunakan tergantung pada kebutuhan pasien. Begitu juga untuk menilai kondisi kesehatan keuangan Pemerintah, kajian lebih dalam dengan alat analisis atau ‘diagnosis’ yang lebih canggih dapat dilakukan sesuai kebutuhan. [kemenkeu]