Tanah.
Satu kata ini saja menimbulkan multi arti, multi tafsir sekaligus multi respons. Setiap kali kata ‘tanah’ muncul dalam lagu-lagu kebangsaan, hati saya berdesir. Apalagi saat bertugas di luar negeri. Kerinduan terhadap tanah air membuncah. Tanpa sadar, jauh dari pencitraan, air mata seringkali menggenang tanpa diundang saat lagu “Indonesia Raya” berkumandang atau terlebih saat menyanyikannya sendiri.
Indonesia tanah airku
Tanah tumpah darahku
Di sanalah aku berdiri
Jadi pandu ibuku
Indonesia kebangsaanku
Bangsa dan Tanah Airku
Juga “Rayuan Pulau Kelapa”
Tanah airku Indonesia
Negeri elok amat kucinta
Tanah tumpah darahku yang mulia
Yang kupuja spanjang masa
Tanah airku aman dan makmur
Pulau kelapa nan amat subur
Tanah di Ranah Debat
Kini kata ‘tanah’ mencuat ke permukaan dan menjadi bahan perbincangan setelah Jokowi—saat menanggapi Prabowo—mengungkapkan data bahwa lawan debatnya menguasai lahan ratusan ribu hektar di Kalimantan dan Aceh. Sebelumnya, penantang petahana ini menggarisbawahi UUD Pasal 33 ayat 3: ”bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.” Pernyataan Jokowi itu seakan hendak menyindir lawan debatnya. Pertanyaan kritisnya, “Rakyat yang mana?”
Kemakmuran rakyat Indonesia secara menyeluruh atau hanya segelintir—1%–saja yang makmur sedangkan yang lain terpuruk dengan hati yang lebur? Pertarungan antara kaum elit dengan akar rumput dalam berebut tanah memang tidak fair. Ibarat kuda bertanduk—unicon—lawan pelanduk. Eh, unicon itu apa sih?
Bukan hanya lahan yang dikuasai elit melainkan juga tanah tambang. Setelah menyaksikan video eksploitasi tambang yang menyisakan lubang di tanah yang mengangga, kedua belah pihak sama-sama setuju untuk memberi hukuman bagi penambang nakal, yang habis berkilau ditinggalkan dalam kondisi galau. Artinya kekayaan alam itu ditambang dan setelah terkuras habis dibiarkan begitu saja. Bagaimana dengan tanah Prabowo di Kalimantan dan Aceh. Mantan kombatan Gerakan Aceh Merdeka, yang dituduh menguasai lahan milik Prabowo, bereaksi. Joni mengaku baru mengetahui adanya lahan milik Prabowo di Aceh. Lahan itu sebelumnya sempat ditelantarkan. Hutan pinus di sana disebutnya sudah habis ditebang. “Sekarang sudah habis ditebang sudah gundul ada sebagian dikuasai masyarakat ditanami serai. Jadi yang mana punya kombatan,” ungkapnya. (detik.news).
Sampai saya menulis artikel ini, berita dan polemik seputar tanah Prabowo belum mereda, bahkan semakin membesar seperti bola salju yang menerjang ke mana-mana. Sejarah penguasaan tanah di Aceh pun diungkapkan: “Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Aceh, Syahrial, mengatakan PT Tusam Hutani Lestari diambil alih Prabowo Subianto pada saat Indonesia dalam kondisi krisis moneter. Namun Syahrial tidak tahu Prabowo dapat uang dari mana untuk membelinya.” (detik.news). Hasilnya banyak orang yang kebakaran jenggot. Jika ‘kebakaran’ itu dibiarkan, bisa naik sampai ke kepala dan menyebabkan banyak orang yang gundul karena tersundul. Ternyata hutan dan kepala yang gundul bisa menyisakan rasa malu, sedih, amarah, dan sangat berbahaya. Bukankah tanah longsor dan banjir biasanya disebabkan oleh penebangan hutan yang ngawur.
Saat Pohon Terakhir Ditebang
Mengapa para penambang dan penebang hutan itu melakukan filosofi ‘habis manis sepah dibuang’? Jawabannya berpulang pada satu kata: ‘serakah’. Saat jalan-jalan di tanah gersang, saya menemukan billboard dengan tulisan bijak orang Indian Cree: “Only when the last tree has died and the last river been poisoned and the last fish been caught will we realize we cannot eat money.”
Saya merinding membaca tulisan suku Indian Cree itu. Hal yang sama bisa menimpa tanah air. Jika orientasinya hanya mengeruk untung dan membiarkan penduduk setempat tetap buntung, maka cara apa pun dilakukan untuk mencapai tujuan. Di bekas sebuah pertambangan emas yang sekarang dipakai untuk destinasi turis, saya membaca tulisan di wajan untuk mengayak pasir emas: “In Cash We Trust”, sindiran yang luar biasa terhadap apa yang tertulis di lembaran $1 AS.
Karena rebutan tambang emas, sekelompok orang kulit putih tega melakukan apa saja. Mereka mengundang suku-suku Indian yang menguasai tambang emas untuk pesta barbeque bersama. Anehnya, orang kulit putih yang menikah campur dengan suku Indian tidak ikut makan daging bakar itu. Keesokan hari di pinggir jalan ke arah tambah emas, timbunan mayat suku Indian tampak menggunung di atas sini. Pemandangan yang sungguh mengerikan sekaligus memedihkan.
Alkitab pun mencatat kekejaman seperti ini. Raja Ahab yang menginginkan kebun anggur Nabot tetapi tidak bisa membelinya, atas permintaan Izebel istrinya, membawa Nabot ke pengadilan. Dengan bantuan dua orang dursila, yang memberikan kesaksian palsu, Nabot dilempari batu sampai mati. Kebun anggurnya direbut begitu saja. Berapa banyak Nabot-Nabot di tanah air yang hanya bisa mencucurkan airmata saat lahannya dikuasi paksa oleh para penguasa?
Serakah Tanah Tinggal Jenazah
Kisah keserakahan untuk menguasai tanah seluas-luasnya pernah saya baca di sebuah kisah klasik Rusia. Seorang spekulan tanah diberi tawaran yang menggiurkan. Dengan uang sekian rubel, spekulan tanah itu boleh membeli tanah seluas-luasnya sesuai dengan kemampuan kakinya untuk melangkah. Dia boleh memulainya saat matahari terbit dan sudah harus menghentikan langkahnya saat matahari terbenam. Seberapa pun luas tanah yang berhasil dia lingkari dengan jejak kakinya, menjadi haknya.
Begitu matahari terbit, dia sudah berlari sekencang-kencangnya agar mendapatkan tanah seluas-luasnya. Saat tengah hari, seharusnya dia segera berputar kembali agar membentuk lingkaran penuh. Itu syaratnya. Namun karena keserakahannya dia terus mempeluas tanah yang diinginkan hatinya. Menjelang matahari terbenam, dia baru sadar bahwa dia berlari terlalu jauh melangkah sehingga sulit untuk membuat lingkaran penuh. Dengan sekuat tenaga dia mencoba menyelesaikan lingkaran itu. Hanya tinggal beberapa langkah dari titik awal, dia rebah dan jadi jenazah.
Hanya Sejengkal Tanah Saja
Seperti halnya menyanyikan lagu “Indonesia Raya” dan “Rayuan Pulau Kelapa”, saat saya mendengar atau menyanyikan lagu “Indonesia Pusaka”, airmata saya kembali menggenang.
Indonesia tanah air beta
Pusaka abadi nan jaya
Indonesia sejak dulu kala
Tetap dipuja-puja bangsa
Di sana tempat lahir beta
Dibuai, dibesarkan bunda
Tempat berlindung di hari tua
sampai akhir menutup mata
Lagu “Indonesia Pusaka” menggambarkan perjalanan hidup saya. Saya yang dilahirkan di kota Blitar, dibuai dan dibesarkan bunda yang saat ini sudah lebih dulu berpulang ke rumah Bapa. Ke mana pun saya pergi—sedekat Singapura atau sejauh Amerika—lagu-lagu kebangsaan selalu membuat mata saya tergenang. Ke mana pun saya melanglang, kata ‘pulang ke tanah air’ membuat saya terkenang akan tanah air tersayang.
Seperti halnya saya dilahirkan dan dibesarkan, saya berharap jika saatnya tiba dan saya harus berpulang, saya rindu bisa dimakamkan di ‘tanah air beta’. Saya berharap masih tersedia tanah, walau sejengkal saja!
- Xavier Quentin Pranata, pelukis kehidupan di kanvas jiwa.