Era kejayaan dinasti Soeharto akan berakhir sudah diprediksi sejak 10 tahun sebelum reformasi 98. Runtuhnya orba bukan karena kuatnya keinginan rakyat terlepas dari tirani sang diktator. Tetapi dari kebobrokan Soeharto sendiri sebagai kepala negara yang tidak mampu menjadi kepala keluarga yang baik.
Di era 70-80 an, ke enam anak Soeharto masih imut dan menggemaskan untuk ABG yang tumbuh di lingkungan hedonis. Tiada hari tanpa kesedihan, apapun mimpi terwujud dan masing-masing tumbuh dengan post power syndrom-nya. Mereka bos bos kecil yang manja terhadap peradaban, menyelesaikan problem solving dengan kekuatan materi.
Hingga di tahun 90 an saat mereka tumbuh dewasa mulai paham arti kekuasaan. Uang adalah jaminan kehidupan mereka bisa panjang atau pendek. Karenanya ke enam bersaudara itu terjun ke ladang-ladang bisnis demi mengeruk keuntungan tanpa resiko. Tantangan persaingan bisnis bukan kepada pihak lain atau konglomerat di lingkungan Soeharto, tetapi antar ke enam bersaudara tersebut. Si bungsu tak mau kalah dengan sang kakak. Sementara si sulung berusaha lebih berhasil daripada adik-adiknya. Sang ayah yang ingin berlaku adil bagi semua anaknya tak mau ambil pusing dengan persaingan tersebut. Semua keinginan anak dituruti tanpa terkecuali pada akhirnya membuat kaki tangan Soeharto dibuat kalang kabut dengan sepak terjang bisnis anak emas Republik yang tak tersentuh aturan. Tiada hari tanpa ribut berebut lapak bisnis membuat pejabat orba jengah dengan fenomena Cendana bersaudara ini.
Gayung bersambut bagi lawan-lawan politik orba yang menemukan celah melengserkan Soeharto. Korupsi, Kolusi dan Nepotisme yang mengatas namakan anak-anak Soeharto dibiarkan berkembang biak. Lalu perlahan rakyat dihasut untuk berani marah, protes, dan berteriak pada foya-foya ekonomi. Beberapa embrio kemarahan rakyat berhasil diatasi dengan arogansi. Muncul kegelisahan lain yang kemudian membesar atas peran lawan politik Soeharto.
Buah simalakama baru disadari Soeharto saat istri tercinta yang selama ini dipercaya bisa mendamaikan enam buah hatinya itu meninggal dunia di bulan April 1996. Ternyata selama ini ibu negara setali tiga uang dengan dirinya yang tak mampu mengatasi urusan berebut bisnis anak anaknya. Namun situasi sudah terlambat untuk pakar strategi sekelas Soeharto mengatasi keadaan. Kemarahan rakyat bersatu bersama beberapa orang kepercayaan di lingkaran Istana sudah masif menuju pada upaya pergantian kepemimpinan. Militerpun pecah opsi yang mendukung atau menurunkan Soeharto.
Dan itulah yang terjadi mengapa seorang Danjen Kopassus dengan insting intelejennya berinisiatif menyelamatkan rezim dengan berbagai upaya termasuk melampaui jabatannya. Menjadi pahlawan di tengah badai suksesi adalah persoalan adu strategi. Sang komandan pasukan elite itupun tersandung oleh upaya heroiknya sendiri. Dia yang berusaha menyelamatkan rezim pada akhirnya terjebak dalam konflik internal militer. Dan secara tragis justru menjadi tumbal politik jatuhnya sang rezim.
Kini dua dasawarsa berlalu. Ke enam anak Soeharto sedang bersatu memperjuangkan kembalinya masa kejayaan sang ayah. Masa dimana segalanya bisa dibeli dengan uang. Melalui kiprah seorang pecatan jendral kontroversi yang pernah rela berkorban demi sang ayah, mereka mempercayakan keselamatan ribuan trilyun harta warisan sang ayah yang kini sedang diburu Jokowi dengan sadisnya!!
Enam anak manja yang karena sepak terjang nya membuat sang ayah lengser tanpa jasa. Mereka yang kemudian sudah menepi tak berurusan dengan kekuasaan mendadak turun gunung gegara Jokowi. Maka semakin lengkap sudah kekuatan yang sedang menjepit Jokowi.
Jokowi yang sedang diancam gegara bukan siapa-siapa. Namun Jokowi yang tidak pernah takut kehilangan apapun.
Soeharto dan Jokowi.
Soeharto dengan kedzolimannya telah melahirkan generasi bernama Jokowi.
Dan Jokowi yang kini sedang bertahan dari serbuan anak-anak dan kaki tangan Soeharto
Semoga paham
Dahono Prasetyo