PAGAR DAN JEMBATAN
Sebuah rumah tiba-tiba saja tidak punya akses karena tetangga membangun pagar di depan rumahnya. Karena mencuat di media sosial dan ditangani cepat oleh pemerintah daerah, tetangga sebelah akhirnya memberi hibah akses jalan ke rumanya. Belum lama kasus ini usai, ada lagi kasus Pak Seger yang membangun pagar setinggi dua meter di depan rumah Siti Khotijah sehingga tetangganya itu terpaksa harus berjalan miring seperti kepiting kalau hendak keluar rumah. Sampai tulisan ini saya buat belum ada titik temu di antara dua tetangga yang seling berseteru ini.
Hal ini mengingatkan saya ke dua rumah yang pernah saya tempati. Pertama di Jogja. Entah karena mutu bangunan atau dimakan usia, pagar pembatas antara halaman rumah saya dengan tetangga di kiri saya rusak sebagian. Artinya, dengan mudah saya bisa melompat ke halaman tetangg. Demikian juga sebaliknya. Setelah berhasil mengumpulkan uang, saya bangun pagar baru.
Kedua, di Perth, Australia Barat. Ketika bertugas di sana, saya disediakan sebuah rumah yang disebut Perth Training Center (PTC). Sebagian besar rumah di wilayah itu tanpa pagar di depan karena tingkat keamanan dan kenyamamanan yang begitu tinggi. Selama di sana saya tidak pernah kehilangan barang apa pun. Pagar di belakang pun satu dan bukan terbuat dari bata, melainkan pembatas tipis saja yang fungsinya sekadar menandai wilayah. Artinya, tidak kesulitan bagi saya untuk ‘melompat pagar’ meskipun sama sekali tidak pernah saya lakukan.
Selama tinggal di PTC, hanya dua kali saya bercakap-cakap dengan tetangga lewat pagar itu. Itu pun percakapan yang santai. Pertama, saat ada lubang di pagar yang terbuat dari asbes itu. Tetangga hanya berkata, “Ada lubang di pagar kita. Siapa yang mau cari tukang. Biayanya kita bagi dua.” So simple. Yang kedua, ada semut dari rumah saya yang hijrah ke rumahnya melalui lubang kecil. “Tolong taburkan bubuk ini di halaman rumahmu sehingga semut pergi.” Itu saja. Begitu sederhana. Artinya, masalah pagar tidak membuat kami bertengkar. Bahkan bagi saya, itu merupakan kesempatan untuk saling bertukar sapa di tengah kesibukan masing-masing.
Pagar itu Bernama Tagar
Jika di aras domestik, pagar bisa membuat orang bertengkar atau—dalam kasus saya—justru sarana bertukar kabar, di aras nasional ada tagar yang menjadi pagar penghalang antar dua anak bangsa. Tagar ini mengerucut menjadi dua saja. Pertama, yang menginginkan Jokowi tetap menjadi presiden di pilpres mendatang, sedangkan yang kedua menginginkan terjadinya pergantian presiden. Di alam demokrasi, perbedaan pilihan itu wajar saja, namun, jika tidak disikapi dengan bijak bisa menyebabkan perang barbar. Jangan sampai bangsa yang besar ini bubar hanya karena perang tagar.
Ketika media sosial menjadi senjata utama, membuat tagar jauh lebih mudah ketimbang membuat pagar. Jika kita membuat pagar untuk melindungi kita dari ancaman di luar, pembuatan tagar justru membuat kita rentan terhadap peperangan di dalam rumah besar bernama Indonesia.
Penyekat atau Pengingat?
Sebenarnya, pagar bukan hanya dibangun untuk mempertahankan orang di dalamnya dari serangan musuh di luar—di zaman dulu binatang buas dan musuh—melainkan menjadi pengingat atas batas tanah yang kita miliki. Namun, di dalam perkembangannya, pagar justru memisahkan kita dari siapa saja yang berada di luar.
Saya membaca kisah dua orang kakak beradik yang bertengkar hebat karena kehilangan uang di meja kasir. Mereka saling tuduh siapa yang mencuri uang itu, sehingga toko milik keluarga yang mereka warisi dari generasi ke generasi terpaksa mereka belah menjadi dua. Bangunan itu dipisahkan oleh tembok pembatas. Sejak saat itu mereka bersaing satu sama lain. Tentu saja, persaingan dagang ini merugikan mereka berdua.
Suatu kali, mereka kedatangan seorang tamu yang dengan terus-terang mengatakan bahwa dialah yang mencuri uang di kasir. Ceritanya, saat itu dia sedang kehabisan uang. Dia melihat ada uang di atas meja kasir. Karena toko sedang sepi, dia menyelinap dan mengambil uang itu untuk makan siang. Sejak saat itu dia dihantui perasaan bersalah yang memaksanya kembali ke tempat itu dan mengkui dosanya serta mengembalikan uang curian itu ditambah bunga. Betapa kagetnya kakak beradik itu saat mengetahui kebenaran. Mereka tangis-tangisan dan saling berangkulan. Kebenaran memang membebaskan.
Pagar atau Jembatan?
Kisah kedua yang saya baca bercerita tentang dua orang kakak beradik yang karena masalah sepele akhirnya memutuskan untuk berpisah. Jika yang satu ke kiri, yang lain ke kanan. Batas wilayah mereka berupa sungai. Meskipun sudah terpisah, karena masih saling pandang, akhirnya mereka saling serang lewat kata-kata.
Enough is enough. Seorang dari mereka memutuskan untuk membuat pagar di sepanjang tepi sungai itu agar tidak lagi bisa saling tatap dan akhirnya saling sikat. Dia meminta seorang tukang kayu intuk membangunnya dan pergi ke kota untuk urusan bisnis. Namun, alangkah kagetnya saat dia mengecek hasil kerja tukang itu. Dia tidak membangun pagar, melainkan jembatan.
Rupanya jembatan itu menarik minat dua kakak beradik itu. Mereka saling berjalan mendekat ke tengah jembatan. Saat mereka bertatap mata, tanpa sadar air mata mulai mengalir di mata masing-masing. Mereka melihat kerutan di wajah saudaranya dan mulai berpikir, “Mengapa kita bersaudara bisa saling bermusuhan sampai tua. Untuk apa?” Mereka saling mendekat, mendekap dan bertangis-tangisan.
Tukang kayu penuh hikmat itu membuat dua bersaudara yang saling sikat itu bertobat. Bagaimana dengan kita? Apakah kita masih terus membangun pagar yang membuat kita makin sangar dan akhirnya bertengkar? Pagar apa yang kita bangun? Fanatisme sempit dan kedaerahan? Pagar yang dibangun suporter bola membuat korban terus berjatuhan. Aremania vs Bonek. Bobotoh vs Jakmania. Masihkah daftar ini kita perpanjang terus? Apakah tidak sebaliknya kita membangun jembatan agar bisa merajut kembali tenun kebangsaan yang diperjuangkan dengan keringat, air mata dan darah para pejuang yang sudah mendahului kita?
- Xavier Quentin Pranata, pelukis kehidupan di kanvas jiwa.