Indovoices.com – Hukum pasar secara umum menyebutkan bahwa harga suatu barang atau produk ditentukan supply (pasokan) dan demand (permintaan). Di samping itu juga dikenal istilah distorsi pasar, baik dari sisi penawaran maupun permintaan.
Kondisi ini mengakibatkan harga berada dalam kondisi ketidakseimbangan, di mana pertemuan supply dan demand terjadi karena ada faktor-faktor lain. Bukan disebabkan oleh faktor yang bersifat alamiah yang tidak dapat dihindari oleh manusia, seperti: cuaca, bencana alam, dan lainnya. Tetapi karena tindakan kejahatan seseorang atau sekelompok orang di pasar yang menjadi pemicu terjadinya distorsi pasar.
Ketua Umum Kelompok Tani Nelayan Andalan (KTNA) Winarno Tohir menengarai, faktor-faktor lain itulah yang kerap mendistorsi mekanisme pasar ideal di tanah air.
Ia mencontohkan harga bawang merah di tingkat petani Rp 15.000 per kg. Di pedagang pasar yang lokasinya tak berap jauh dari petani harga sudah berubah di atas Rp 30.000 per kg. Pada rantai perdagangan yang panjang harga berubah menjadi di atas Rp 40.000 per kg.
“Di sini terjadi asimetrikal marjin yang dinikmati para pelaku agribisnis, dengan marjin paling rendah ada di tingkat petani. Total marjin yang dinikmati pelaku bisnis tentunya harus ditanggung konsumen (rakyat atau masyarakat-red)”, ujar Winarno.
Jika beban yang ditanggung masyarakat ini wajar, tentu Pemerintah terus mengawal dan menjaganya agar stabil dan sustain. Tetapi, jika beban tersebut tidak wajar maka Pemerintah wajib hadir untuk menatanya agar keadilan ekonomi dapat dirasakan masyarakat. Pada kondisi ini menurut Winarno, perang melawan mafia, pemburu rente tidak wajar, sangat diperlukan sebagai model pembangunan menuju ekonomi kemasyarakatan yang berkeadilan.
“Karena dampak langsungnya adalah Inflasi. Sementara iniflasi (akibat distorsi pasar-red) ini tercipta bukan karena produksi dan supply yang kurang, tetapi akibat mafia di rantai pasok”, jelasnya.
Winarno melanjutkan, efek ikutan fenomena inflasi mafioso ini adalah impor. Dengan alasan bahwa harga tinggi (naik) maka terbentuk opini dibutuhkan barang yang lebih banyak untuk lakukan intervensi pasar atau operasi pasar sebagai upaya menurunkan harga. Fenomena anomalis ini yang sering muncul dan mendistorsi pasar dan para pakar, bahwa impor terjadi pada saat produksi petani lokal melebihi kebutuhan dalam negeri atau surplus.
Capaian Tata Kelola Komoditas Pertanian
Petani bersyukur selama 4 tahun, Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman serius bekerja memerangi mafia pangan agar nilai ekonomi pangan terdistribusi secara adil proporsional kepada seluruh pemangku kepentingan. Agar petani tersenyum, konsumen tersenyum, dan pedagang pun tersenyum. Begitu acap kali Amran berbicara kepada publik dalam berbagai kesempatan.
“Pak Menteri selalu mengingatkan agar Kementan menyokong petani untuk menggenjot produksi komoditi-komoditi pangan strategis. Khususnya beras, jagung pakan, bawang merah, cabe, dan protein hewani melalui Upaya Khusus (UPSUS) Padi, Jagung, Kedelai (PAJALE) , Cabe, dan Bawang Merah, serta UPSUS Sapi Indukan Wajib Bunting (SIWAB)”, ujar Kepala Biro Hubungan Masyarakat dan Informasi Publik Kementan, Kuntoro Boga Andri.
Kuntoro melanjutkan, Menteri Amran juga selalu meminta agar tidak boleh ada lahan sawah pertanian yang tidak ditanami dan tidak ada sapi betina indukan yang tidak bunting (diinseminasi buatan).
Disamping produksi digenjot, pasar pun ditata agar efisien, serta dilakukan pengendalian rekomendasi impor secara ketat.
“Hasilnya menunjukkan bahwa jagung pakan, bawang merah, daging ayam, telur, dan domba sudah net ekspor. Bukan itu saja, yang paling dramatik adalah turunnya angka inflasi pangan secara drastis dari 10.57 % pada tahun 2014 menjadi 1.26 % pada tahun 2017. Sebesar 9.31 % inflasi dapat diturunkan”, terang Kuntoro.
Hal lain yang membanggakan adalah bersamaan dengan turunnya angka inflasi pangan, diikuti kenaikan Nilai Tukar Usaha Pertanian (NTUP) dari 106.05 pada tahun 2014 menjadi 112.77 pada tahun 2017, dan naiknya Nilai Tukar Petani (NTP) dari 102.03 pada tahun 2014 menjadi 100.25 pada tahun 2017.
“Turunnya angka inflasi pangan diikuti dengan naiknya angka NTUP dan NTP menunjukkan bahwa penurunan inflasi ini tidak berakibat pada penurunan pendapatan petani. Namun hal ini menunjukkan bahwa upaya-upaya yang dilakukan cukup mampu memperbaiki struktur rantai pasok”, jelasnya lagi.
Kuntoro menengarai, jika belakang ada pihak yang berusaha membentuk opini bahwa Menteri Pertanian perlu di-reshuffle oleh Presiden Jokowi, boleh jadi suara itu suara mafia pangan yang sudah ter-reshuffle oleh sistem rantai pasok pangan yang lebih baik. Yang membela kepentingan bersama baik petani, masyatakat, dan pedagang kebanyakan yang ada di tanah air ini. (*)