Hal yang berbeda dalam Perpres Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah antara lain dapat dilihat pada diktum mengingat, yakni tercantumnya UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, yang secara subtansi pengaturan tidak terkait dengan regim pengaturan keuangan negara/keuangan daerah. Intinya UU Nomor 30 Tahun 2014 memberikan panduan hak dan kewajiban serta pedoman bagi badan/pejabat negara dalam melaksanakan tugas dan fungsinya sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
Menjadi lebih tegas dari pengaturan pengadaan barang/jasa pemerintah sebelumnya, karena dalam Perpres Nomor 16 Tahun 2018 memberikan ruang yang luas kepada Aparatur Pengawas Intern Pemerintah (APIP) Kementerian/Lembaga dan Pemerintah Daerah, serta Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan melakukan pengawasan dalam pelaksanaan pengadaan barang/jasa pemerintah sesuai dengan kewenangan masing-masing.
Pengawasan tersebut dilakukan selaras dengan pelaksanaan hak Aparatur Sipil Negara/Pejabat Pemerintahandalam memperoleh perlindungan hukum dan jaminan keamanan dalam menjalankan tugasnya, dan memperoleh bantuan hukum dalam pelaksanaan tugasnya (lihat UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara dan UU Nomor 30 Tahun 2014).
Selain itu, secara mandiri masyarakat dapat pula melakukan pengawasan melalui mekanisme pengaduan dan pelaporan disertai bukti yang faktual, kredibel, dan autentik yang disampaikan kepada APIP kementerian/lembaga/pemerintah daerah dalam hal diduga adanya penyimpangan. Pada tahapan ini, pengaduan dan pelaporan belum melibatkan aparat penegak hukum. Adapun pengaduan dan pelaporan yang sudah “terlanjur” disampaikan kepada aparat penegak hukum harus dikoordinasikan pemeriksaannya dengan APIP kementerian/lembaga/pemerintah daerah. Pengawasan seperti ini dapat pula ditemukan dalam Pasal 385 UU Nomor 24 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, intinya pelibatan aparat penegak hukum dilakukan setelah dilakukan pemeriksaan administratif oleh APIP dan ditemukan adanya penyimpangan yang bersifat pidana.
Dalam proses pengadaan barang/jasa pemerintah, terdapat dua irisan besar pembidangan hukum, yakni hukum administrasi negara (antara lain meliputi perencanaan, persiapan, pelaksanaan, sampai penerbitan Surat Penunjukkan Penyedia Barang/Jasa), dan hukum perdata (antara lain meliputi penandatanganan, pelaksanaan, dan pengendalian kontrak). Irisan besar tersebut kerap menjadikan para pelaku pengadaan sebagai martir dan output pengadaan barang/jasa terbengkalai, dengan pihak yang paling rugi adalah negara karena penyelesaian pengadaan barang/jasa tidak sesuai dengan target (waktu dan kualitas/value for money).
Namun irisan besar tersebut menjadi absurd manakala pemeriksaan atas dugaan penyimpangan dalam pelaksanaan kontrak juga menyasar tahapan sebelum kontrak atau ketika bentuk kontrak sudah distandarkan menjadi bentuk baku seolah-olah sebagai perjanjian sepihak (take it or leave it) yang menjadi bagian tidak terpisahkan dari dokumen pemilihan.
Penerbitan UU Nomor 30 Tahun 2014 menegaskan kembali pemisahan bidang hukum tersebut sehingga perlu ada perlakukan yang berbeda terhadap ketidaksempurnaan pelaksaaan administrasi pengadaan atau adanya penyimpangan dalam pelaksanaan pengadaan. Karena pemilahan “ketidaksempurnaan” atau “penyimpangan” akan berdampak berbeda terhadap timbulnya potensi kerugian negara, sehingga lingkup pemeriksaan atas “ketidaksempurnaan” atau “penyimpangan” tersebut pun menjadi berbeda. Namun jangan coba-coba untuk mengelabui “penyimpangan” menjadi “ketidaksempurnaan” karena tools atas pemeriksaan untuk “penyimpangan” dan “ketidaksempurnaan” berbeda.
Oleh karena itu, tahapan pembeda ini harusnya menjadikan pemeriksaan di ranah “penyimpangan” menjadi tidak terlalu sulit atau setidaknya meringankan beban untuk tidak berargumentasi kewenangan pemeriksaan atas “penyimpangan” yang terjadi, karena sebelumnya telah dilakukan pemeriksaan atas “ketidaksempurnaan” tahapan pelaksanaan, sehingga sudah seharusnya masing-masing pihak yang berwenang tidak saling mencampurkan kewenangannya masing-masing, cukup melakukan sesuai perintah peraturan perundang-undangan.
Perpres Nomor 16 Tahun 2018 mengikuti rangkaian penanganan atas kelalaian atau kesengajaan dalam UU Nomor 30 Tahun 2014 dengan memisahkan “ketidaksempurnaan” atau “penyimpangan” dalam rangkaian pelaksaan pengadaan dan pelaksanaan kontrak, sehingga APIP atau APH dapat bersinergi dan berkoordinasi untuk memilah penanganan “ketidaksempurnaan” atau “penyimpangan” sesuai dengan kewenangannya.
Dalam pelaksanaannya, APIP didorong untuk berada pada garda terdepan sebagai upaya preventif mencegah kesalahan dalam proses administratif dan menghidari potensi penyimpangan yang secara manusiawi tidak bisa dihindari oleh UKPBJ.
Dan pada pokoknya diperlukan kearifan untuk menyikapi ketidaksempurnaan dalam proses pengadaan barang/jasa pemerintah terutama terkait dengan koordinasi dan seinergi dalam pelaksanaan tugas dan kewenangan masing-masing. Namun kearifan tersebut bukan berarti bisa berkompromi dengan ketidaksempurnaan dengan mengakali tahapan pengadaan barang/jasa untuk mendapatkan keuntungan secara tidak sah. Karena sebagaimana diketahui bahwa pelaku pengadaan barang/jasa pemerintah merupakan para pahlawan dalam penyerapan anggaran dan pembangunan, dan pahlawan tidak akan mungkin mengorbankan perjuangannya.
Kepala Bidang Percepatan Infrastruktur, Sekretariat Kabinet.