Indovoices.com – Bicara mengenai tindak pidana korupsi di Indonesia, tentu tidak akan ada habisnya. Mulai dari kasus simulator sim, Bank Century, proyek Hambalang, BLBI, E-KTP yang menggoyangkan anggota DPR yang terhormat, atau yang aru-baru ini kasus suap Dirjen Hubla. Begitu banyak energi kita habis untuk menghadapi para koruptor yang keji. Hampir setiap bulan Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK) berhasil menangkap para koruptor, baik dari Operasi Tangkap Tangan (OTT) atau menindaklanjuti laporan audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), tetapi hasilnya bukannya koruptor menjadi hilang, bahkan hanya untuk berkurang saja tidak, malahan sebaliknya makin hari makin banyak saja koruptor-koruptor baru yang lahir di negara ini. Inilah yang disebut dengan penegakan pemberantasan korupsi di Indonesia sedang mengalami anomali.
Pemberantasan tindak pidana korupsi harus dimulai dari memberantas budaya korupsi dan tidak bisa hanya dilakukan dengan cara represif. Istilah korupsi berasal dari bahasa Latin yakni corruption atau corruptus Secara harfiah istilah tersebut menurut Andi Hamzah memiliki arti segala macam perbuatan yang tidak baik, seperti kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian, kata-kata atau ucapan yang menghina atau memfitnah. Memberantas budaya korupsi, berarti harus memberantas praktek-praktek korupsi kecil disekitar kita. Sebagai mahasiswa, tentu lingkungan terdekat saya adalah kampus. Contoh paling mudah untuk budaya korupsi kecil di lingkungan kampus sebagai mahasiswa adalah titip absen dan plagiarisme pendidikan.
Teman-teman mahasiswa sampai saat ini banyak yang belum tahu bahwa titip absen dan plagiarisme pendidikan juga merupakan awal terjadinya tindak pidana korupsi. Walaupun sebenarnya hal ini telah ditegaskan oleh Pimpinan KPK, Saut Situmorang yang menyatakan bahwa “sebuah tindak korupsi besar terjadi dimulai dari sesuatu yang sangat kecil. Termasuk kebiasaan titip absen di kala mahasiswa”. Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD pun mengatakan “kampus harus harus bersikap tegas menindak kasus plagiarisme di perguruaan tinggi. Jika perguruan tinggi membenarkan plagiarisme, sama saja sudah mencetak bibit koruptor”.
Budaya titip absen, dan plagiarisme akademik adalah pembentuk mental korupsi. Perliaku mahasiswa saat ini, tidak bisa dipungkiri dan harus diakui memang tidak pernah lepas dengan kegiatan titip absen dan plagiarisme akademik. Perilaku mahasiswa inilah yang jika diteruskan akan menjadi sebuah budaya buruk, kebiasaan buruk yang akan merusak mental, integritas, dan nilai kejujuran. Ketika perilaku tersebut sudah menjadi budaya tentu dampaknya akan seperti bom waktu, saat mahasiswa yang memiliki budaya tersebut lulus dari perguruan tinggi, maka saat itu juga kita bisa melihat koruptor muda pun telah lepas dan mulai berkeliaran di negara ini. Negara ini pun akan menangis, biaya yang dikeluarkan untuk dunia pendidikan yang seharusnya menghasilkan sumber daya manusia yang baik demi kemajuan negara, malah sebaliknya melahirkan tikus-tikus yang kapanpun siap menggerogoti negara ini.
Perguruan tinggi harus menjadi tempat menghilangkan budaya korupsi. Perguruan tinggi harus berani menindaktegas mahasiswa yang melakukan perbuatan titip absen dan plagiarisme. Dosen sebagai pengajar dilarang acuh terhadap mahasiswanya, dosen seharusnya mengabsen sendiri mahasiswanya jangan mahasiswa yang absen sendiri. Ketika mahasiswa absen sendiri, disaat itulah muncul kesempatan untuk titip absen. Selain hal tersebut dosen juga harus benar-benar berani bertindak tegas terhadap mahasiswa yang melakukan plagiarisme pendidikan.
Jadi untuk menghilangkan koruptor di negara ini, maka langkah yang pertama harus dilakukan adalah mengahapus budaya korupsi kecil disekitar kita. Hilangkan budaya titip absen dan menyontek, mari tanamkan slogan dari KPK “Berani Jujur Itu Hebat” di dalam jiwa.
Oleh: Putu Anantha Pramagitha
Peserta Workshop Jurnalisme Warga Antikorupsi 2017an-awal-budaya-korupsi