Tokyo. Malam hari. Gadis itu terpekur. Niatnya mau membersihkan diri sambil menunggu pesawat lanjutan ke AS di bandara Narita gugur. Saat membuka tas tentengnya pandangan matanya mengabur. Kelopak matanya tidak lagi sanggup membendung airmatanya yang tiba-tiba tumpah, membasahi pipinya yang pucat. Bedak pun luntur. Rasanya ingin kabur saja dari muka bumi.
Shampo yang sudah dia persiapkan dengan baik di dalam kardus kusus rupanya ‘berantem’ dengan kardus lainnya sehingga pecah. Entah karena goncangan di pesawat yang terbang dalam cuaca buruk. Entah karena terjatuh saat proses imigrasi. Yang jelas, isinya ‘membanjiri’ tas make up-nya. Persis kampung halamannya yang baru saja diguncang gempa.
Tiba-tiba perasaan melankolis melanda jiwanya. Gadis tomboy yang ngotot tidak mau diantar ortu untuk meneruskan kuliah di negeri Paman Sam ini tiba-tiba menjadi anak ayam yang kehilangan induknya. Mewek di tengah jalan. Cita-citanya yang ingin menjadi orang pertama dalam keluarganya untuk menaklukkan negeri adikuasa tiba-tiba ingin dikuburnya dalam-dalam hanya oleh masalah sepele: kardus yang berantem.
Kira-kira apa ya yang terjadi di dalam tas tentengnya sehingga isinya berantakan seperti itu? Jika waktu bisa diputar kembali, peristiwa itu terjadi saat pesawat mengalami turbulensi hebat. Ada ruang kosong di udara yang membuat pesawat tiba-tiba ‘terjatuh’ ke ruang hampa itu sehingga menimbulkan goncangan hebat. Pramugari yang sedang membagikan makanan di kelas ekonomi pun berteriak kaget karena nampannya tiba-tiba terbang di dalam kabin pesawat Indonesian Airways yang dia tumpangi. Isi nampannya berantakan yang mengotori bukan saja lantai pesawat melainkan penumpang di dekatnya. Salah satu pintu bagasi di atas penumpang yang mungkin tidak tertutup sempurna terbuka dan menghamburkan isinya ke bawah. Seorang bapak bocor kepalanya karena tertimpa kopor kecil. Turbulensi memang bisa melukai siapa saja yang kebetulan berada di pesawat yang sama.
Koper kabin gadis belasan tahun itu pun tergoncang hebat. Isinya saling berbenturan satu sama lain. Sebenarnya, tanpa tumbulensi, masing-masing kardus di dalam tasnya memang berpotensi untuk konflik. Mereka masing-masing mencari perhatian agar dijadikan primadona oleh gadis itu. Kardus isi shampo merasa dirinya yang paling berjasa karena membuat rambut gadis itu lembut berkilau. Sebaliknya, kardus berisi lipstick merasa bahwa dirinyalah yang membuat gadisnya tampil prima. Bukankah para juri beauty pageant pun tertarik pertama kali pada pandangan mata? Jadi wajar dong jika ibu gadis itu ingin mendadani sang putri mahkota agar tampil chick dan energic meskipun minim pengalaman. Siapa tahu terpilih? Begitu pedenya sang ibu sehingga menggerakkan ibu-ibu arisan di bawah naungannya untuk membela putrinya mati-matian dan menantang berantum siapa pun yang berani menentang. Mungkin karena risih dengan tantangan provokatif yang terus-menerus inilah yang membuat gadis kampung yang lugu berani menerima tantangan untuk berantem. Istilah gaulnya, kalau you jual ya gue beli. Semut pun kalau terinjak ya menggigit!
Kini saat para kardus itu benar-benar berantem, sang putri pertiwi malah menangis sesenggukan. “Aku tidak boleh mempermalukan bangsa sendiri di negeri orang!” Begitu tekadnya. “Isi kardus jelas lebih penting ketimbang kardusnya!” Sambil berkata begitu, dia buang semua kardus yang sudah kotor dan berlepotan. Dia bersihkan alat-alat make up lainnya dengan air bersih, mengganti kardus-kardus rusak itu dengan kantongan plastik yang memang ibunya sediakan dan melanjutkan perjalanan dengan pandangan mata pasti. “Dunia. Aku datang dengan membawa prestasi. Bukan kardus kosong!” ujarnya sambil melangkah menuju pesawatnya.
Bandara Narita yang tak pernah sepi memandang gadis itu dengan senyum lebar. “Kejarlah mimpimu. Toh sudah lama aku tidak menjajahmu lagi,” ujarnya seakan berbisik.
Penulis: Xavier Quentin Pranata, pelukis kehidupan di kanvas jiwa.