Indovoices.com –Hukuman kebiri bagi para pelaku kejahatan seksual disebut Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan, tidak menyelesaikan akar masalah yang terletak pada pola pikir dan mental pelaku serta tidak menimbulkan efek jera.
Komnas juga menyebut peraturan itu juga menjadi bukti lemahnya perhatian negara atas para korban.
Senada dengan itu, Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) juga menyebut pelaksanaan kebiri kimia membutuhkan biaya yang mahal mulai dari pelaksanaan kebiri itu sendiri, serta rehabilitasi psikiatrik, rehabilitasi sosial, dan rehabilitasi medik bagi terpidana.
Di sisi lain, para korban harus mengeluarkan uangnya untuk menanggung biaya perlindungan dan pemulihannya sendiri, kata Direktur Eksekutif ICJR Erasmus A.T. Napitupulu.
Namun, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak membantah pernyataan tersebut dan menegaskan bahwa tujuan dari kebiri yang disertai tindakan rehabilitasi dapat merubah perilaku para pelaku dan menciptakan efek jera.
Sementara Komisi Perlindungan Anak Indonesia menilai langkah cepat pemerintah dapat memberikan kepastian hukum bagi pelaku dan penegakan keadilan untuk korban yang mengalami trauma seumur hidup.
Presiden Joko Widodo menandantangani Peraturan Pemerintah nomor 70 tahun 2020 pada 7 Desember lalu, tentang tata cara pelaksanaan tindakan kebiri kimia, pemasangan alat pendeteksi elektronik, rehabilitasi, dan pengumuman identitas pelaku kekerasan seksual terhadap anak.
Aturan ini dapat digunakan untuk para narapidana yang divonis kebiri sejak UU Perlindungan Anak direvisi pada 2016.
Pada tahun 2019, terdapat dua narapidana kekerasan seksual yang divonis kebiri di Jawa Timur, yaitu Rahmat Slamet Santoso karena terbukti bersalah mencabuli 15 anak dan Muhammad Aris yang terbukti melakukan kekerasan seksual terhadap sembilan anak.
Mengapa kebiri kimia harus ditolak?
Komisioner Komnas Perempuan, Siti Aminah Tardi menyebut, akar masalah munculnya kekerasan seksual bukan semata-mata karena libido dan hasrat seksual, tapi disebabkan karena pengaruh relasi kekuasaan antara pelaku dan korban.
“Artinya seksual dijadikan alat untuk mengekspresikan maskulinitas, balas dendam, agresi, pelampiasan dan lainnya. Jadi kebiri tidak menyelesaikan akarnya karena hanya membuat libido menurun, tapi cara pandang terpidana tidak terkoreksi dan otomatis berpotensi terjadi keberulangan,” kata Aminah, Senin (04/01).
“Kita memandang kekerasan seksual sebagai pelanggaran kesusilaan, bukan serangan terhadap tubuh dan martabat perempuan,” ujar Aminah.
Kemudian, berdasarkan kasus yang diterima Komnas Perempuan, kekerasan seksual tidak hanya dimaknai sebagai “penetrasi penis ke vagina”.
“Tapi bisa menggunakan, tangan, alat dan lainnya ke organ seksual perempuan. Artinya, ketika disuntik kimia, libidonya turun, tapi cara pandangnya sama, kekerasan seksual masih terjadi,” katanya.
Aturan-aturan yang mengatur tentang kebiri, kata Aminah, memperkuat asumsi bahwa negara fokus kepada para pelaku, dengan mengesampingkan para korban.
“Diperkirakan biaya kebiri Rp65 juta setahun, berarti Rp130 juta untuk dua tahun, belum lagi proses rehabilitasinya. Sementara korban harus mengeluarkan uang untuk divisum, pemulihan, pengobatan,” katanya.
“Selain tidak akan menimbulkan efek jera, kebiri juga melanggar konvensi anti penyiksaan,”tambah Aminah.
Lalu apa solusinya? Aminah menekankan, lebih tepat jika negara memberikan hukuman maksimal bagi para pelaku kejahatan seksual, yaitu maksimal 20 tahun hingga pidana seumur hidup.
“Terapkan pidana maksimal, tegakan hukum penuhi hak korban seperti restitusi dan layanan dasar, dan bangun pendidikan kesehatan reproduksi yang komperhensif, tidak perlu kebiri,” katanya.
ICJR: Banyak masalah
Direktur Eksekutif ICJR Erasmus A.T. Napitupulu menyebut PP tentang tata cara pelaksanaan kebiri memuat banyak masalah.
“Pertama karena tidak detil, misalnya bagaimana mekanisme pengawasan, pelaksanaan dan pendanaan. Bagaimana kalau ternyata setelah kebiri, terpidana dinyatakan tidak bersalah atau terdapat peninjauan kembali?
“Penyusun seakan-akan menghindari mekanisme yang lebih teknis karena kebingungan dalam pengaturannya,” kata Erasmus.
Kemudian, pelaksanaan kebiri membutuhkan sumber daya dan mahal. “Sampai saat ini pemerintah tidak pernah menjelaskan pendanaan yang disediakan untuk kebiri kimia. Lalu akan ada anggaran untuk rehabilitasi psikiatrik, rehabilitasi sosial, dan rehabilitasi medik bagi terpidana kebiri kimia,” katanya.
Di sisi lain, kata Erasmus, anggaran yang disediakan negara untuk perlindungan dan pemulihan bagi para korban tindak pidana menurun tajam di tengah meningkatnya jumlah layanan yang dibutuhkan para korban.
Berdasarkan data anggaran LPSK, lembaga yang ditunjuk memberikan perlindungan bagi korban tindak pidana termasuk kekerasan seksual, pada tahun 2015 anggaran LPSK sebesar Rp148 miliar untuk 148 layanan.
Anggaran menjadi sekitar Rp65 miliar pada 2019 dan turun lagi Rp54 miliar pada 2020. Padahal pelayanan untuk korban meningkat menjadi 9.308 pada 2019.
“Bandingkan dengan anggaran kepolisian mencapai Rp937 miliar. jauh lebih besar dibandingkan dengan anggaran yang disediakan untuk pendampingan, perlindungan dan pemulihan korban tindak pidana, termasuk korban kekersan seksual di Indonesia,” katanya.
Efek jera dan amanah UU
Kementerian Pemerdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak menegaskan bahwa tujuan dari kebiri kimia yang disertai tindakan rehabilitasi untuk merubah perilaku para pelaku dan menciptakan efek jera.
“Ini proses untuk memastikan perubahan perilaku bagi para pelaku, jadi kebiri disertai rehabilitasi, dan saya yakin akan menimbulkan efek jera serta menekan potensi kekerasan seksual di masa depan,” kata Deputi Bidang Perlindungan Anak Kemen PPPA Nahar.
Senada dengan itu, Komisioner KPAI, Jasra Putra mengapresiasi PP tersebut karena memberikan keadilan bagi para korban pelecehan seksual yang mengalami trauma seumur hidup.
“Kami optimis kebiri kimia sesuai Perpu dan PP menciptakan efek jera bagi pelaku dan calon pelaku yang akan melakukan kekerasan seksual pada anak,” kata Jasra.
Jasra menambahkan, PP ini juga menuntaskan polemik penolakan yang dilakukan terhadap kebiri kimia.
“Di PP jelas Kementerian Kesehatan atau RS daerah sebagai eksekutor, jadi sudah ada petugasnya. Lalu rehabilitasi dilakukan Kemensos, dan pengumuman pelaku oleh Kemenkominfo,” kata Jasra.
Deputi KemenPPPA Nahar menambahkan, munculnya PP Nomor 70 merupakan amanah dari UU Perlindungan Anak tahun 2016.
“Artinya, ketika sudah diatur UU, maka semua patuh dengan UU dan harus dilaksanakan, UU ini memandatkan PP dan PP memandatkan aturan turunannya di peraturan menteri,” kata Nahar.
Sesuai Pasal 2 ayat 3, Pelaksanaan tindakan kebiri kimia, pemasangan alat pendeteksi elektronik dan rehabilitasi dilaksanakan atas perintah jaksa setelah berkoordinasi dengan kementerian-kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan, di bidang hukum, dan bidang sosial.
“Jadi yang berperan sentral Kemenkumham, Kejaksaan, Kemenkes, petugas medis, Polri, Kemensos, KemenPPPA, Kemenkominfo, dan pemda, semua harus patuh, karena perintah UU” kata Nahar.
Sebelumnya, Ikatan Dokter Indonesia (IDI) menyatakan menolak sebagai eksekutor pelaksanaan kebiri kimia karena bertentangan dengan sumpah, etika dan disiplin kedokteran yang berlaku.
IDI belum memberi tanggapan saat dikonfirmasi kembali.
Syarat pelaku divonis kebiri kimia
Nahar menambahkan terdapat tahapan yang harus dilewati sebelum melakukan kebiri kimia.
Pertama, hakim menjatuhkan pidana penjara dan hukuman pemberatan kebiri. Kemudian, narapidana menyelesaikan pidana pokoknya.
Setelah itu, kedua, dilakukan penilaian klinis, kesimpulan dan pelaksanaan.
“Kalau layak dan disimpulkan bisa, maka dilaksanakan. Kalau tidak layak, maka misalnya bisa ditunda, lalu penilaian klinis ulang, hingga memberitahukan ke pengadilan dengan melampirkan penilaian klinis,” kata Nahar.
Kemudian syarat seseorang dijatuhi pemberatan kebiri kimia adalah berusia dewasa (lebih dari 18 tahun), dipidana karena melakukan persetubuhan dengan anak, kemudian menimbulkan korban lebih dari satu orang, luka berat, gangguan jiwa, penyakit menular, hilangnya fungsi reproduksi hingga meninggal dunia.
Pada tahun 2019, terdapat dua narapidana kekerasan seksual yang mendapatkan vonis kebiri di Jawa Timur, yaitu Rahmat Slamet Santoso karena terbukti bersalah mencabuli 15 anak dan Muhammad Aris yang terbukti melakukan kekerasan seksual terhadap 9 anak.
Namun, kata Jasra Putra, narapidana itu tidak bisa dieksekusi kebiri kimia karena belum ada aturan turunannya.
Untuk itu, pada 7 Desember 2020 lalu, Presiden Joko Widodo menandantangani Peraturan Pemerintah nomor 70 tahun 2020 tentang tata cara pelaksanaan tindakan kebiri kimia, pemasangan alat pendeteksi elektronik, rehabilitasi, dan pengumuman identitas pelaku kekerasan seksual terhadap anak.
Dalam PP itu, kemudian akan ada kembali aturan turunan pelaksanaan di kementerian terkait, seperti Kemenkes, Kemenkumham, Kemensos, dan lainnya.(msn)