Indovoices.com –Dewan Pengawas (Dewas) KPK menjawab laporan Indonesia Corruption Watch (ICW) atas dugaan pelanggaran etik Ketua KPK, Komjen Firli Bahuri dan Deputi Penindakan KPK, Irjen Karyoto, terkait OTT pejabat Universitas Negeri Jakarta (UNJ) di Kemendikbud pada Mei lalu.
Sebelumnya ICW melaporkan Firli dan Karyoto ke Dewas pada 26 Oktober. Laporan tersebut dibalas Dewas pada 9 November. Dewas menyatakan Firli dan Karyoto tidak melanggar etik terkait OTT tersebut.
“Pada 9 November 2020, Dewan Pengawas mengirimkan surat kepada ICW yang pada intinya menyebutkan bahwa Firli Bahuri dan Karyoto tidak terbukti melanggar Kode Etik dan Pedoman Perilaku dalam penanganan perkara OTT UNJ,” ujar peneliti ICW, Kurnia Ramadhana, dalam keterangannya.
Kurnia menyatakan dalam surat tersebut, Dewas membeberkan 4 poin yang membuat Firli dan Karyoto tak melanggar etik. Berikut poin-poinnya:
- Penanganan kasus tangkap tangan atas dugaan tindak pidana korupsi di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang dilakukan oleh KPK atas perintah Ketua KPK akibat dari laporan yang kurang lengkap dari Plt Direktur Pengaduan Masyarakat yang menyebutkan telah membantu OTT di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
- Penerbitan surat perintah penyelidikan telah dikoordinasikan antar kedeputian dan telah sesuai dengan prosedur yang berlaku di KPK.
- Keputusan Ketua KPK agar penanganan kasus tangkap tangan atas dugaan tindak pidana korupsi di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dilakukan oleh KPK telah dikoordinasikan dengan Pimpinan KPK lainnya melalui media komunikasi online sehingga keputusan tersebut bukan inisiatif pribadi dari Firli Bahuri.
- Kasus yang ditangani dalam penyelidikan KPK, belum ditemukan bukti permulaan yang cukup serta belum terpenuhi ketentuan Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi maka sesuai dengan ketentuan yang berlaku maka KPK wajib menyerahkan penyelidikan ke penegak hukum lain. Mekanisme pelimpahan dalam keadaan tertentu dimungkinkan tidak melalui gelar perkara berdasarkan kebijakan Pimpinan KPK.
“Dalam surat tersebut Dewan Pengawas juga mengakui terdapat kelemahan-kelemahan dalam penanganan kasus tangkap tangan atas dugaan tindak pidana korupsi di Kemendikbud,” ucap Kurnia.
Tanggapan ICW
Atas surat balasan Dewas, Kurnia memberikan tanggapan. Pertama, Kurnia menyatakan argumentasi Dewas melenceng dari substansi putusan etik yang sebelumnya dijatuhkan terhadap mantan Direktur Pengaduan Masyarakat KPK, Aprizal.
Kurnia menyatakan putusan Dewas justru memuat percakapan antara Aprizal dan Firli. Kurnia menilai dalam percakapan tersebut, Firli memaksakan agar perkara yang awalnya ditangani Inspektorat Kemendikbud diambil alih KPK.
“Padahal, saat itu Apz (Aprizal) sudah menyebutkan bahwa perkara itu tidak melibatkan penyelenggara negara, namun Firli mengabaikan informasi tersebut,” kata Kurnia.
Sehingga Kurnia berpendapat sebenarnya Firli melanggar kode etik, yakni Pasal 5 ayat (1) huruf c, Pasal 5 ayat (2) huruf a, Pasal 7 ayat (1) huruf c Peraturan Dewas Nomor 2 Tahun 2020.
Kedua, kata Kurnia, Dewas seakan membenarkan pelanggaran prosedur penanganan perkara OTT UNJ. Kurnia merujuk pertimbangan putusan Dewas bahwa keputusan KPK menangani perkara OTT UNJ dilakukan dengan media komunikasi online atau WhatsApp.
“Tentu hal ini tidak lazim, sebab, bagaimana pun keputusan krusial, terlebih pada bagian penindakan, mestinya dilakukan dengan forum gelar perkara yang mempertemukan pimpinan dengan jajaran Kedeputian Penindakan, disertai Tim Pengaduan Masyarakat,” kata Kurnia.
“Untuk itu, koordinasi melalui media komunikasi tentu tidak dapat dibenarkan,” lanjutnya.
Ketiga, kata Kurnia, Dewas mengingkari prosedur pelimpahan perkara ke instansi penegak hukum lain. Ia menilai terdapat 2 hal yang janggal dalam pertimbangan Dewas terkait mekanisme pelimpahan perkara.
“Pertama, Dewas tidak merincikan situasi apa yang membuat adanya pengecualian prosedur pelimpahan perkara. Sebab, dalam proses pelimpahan perkara OTT UNJ, menurut pandangan ICW, tidak ada situasi khusus yang dapat membenarkan tindakan KPK kecuali dengan melakukan gelar perkara,” kata Kurnia.
“Kedua, Dewas tidak menjelaskan perihal ‘berdasarkan kebijakan Pimpinan KPK”’ Pertanyaan lebih lanjut: apa yang dimaksud dengan kebijakan Pimpinan KPK? Pimpinan KPK yang dimaksud oleh Dewan Pengawas merujuk kepada lima orang atau hanya beberapa orang saja? Jika hanya disepakati satu atau beberapa orang saja maka hal itu tidak dapat dibenarkan. Sebab, Pasal 21 ayat (4) UU KPK menyebutkan bahwa Pimpinan KPK bersifat kolektif dan kolegial,” sambung Kurnia.
Terakhir, Kurnia menilai Dewas kerap tidak profesional dalam menegakkan Kode Etik dan Pedoman Perilaku KPK. Kurnia menyatakan pihaknya tidak kaget membaca surat balasan Dewas bahwa Firli dan Karyoto tak melanggar etik.
“Sebab, sejak dilantik, praktis Dewas kerap kali abai dalam menegakkan kode etik di internal KPK. Mulai dari tindakan pimpinan tatkala memulangkan paksa penyidik Kompol Rossa Purbo Bekti, simpang siur informasi izin penggeledahan kantor DPP PDIP, sampai pada putusan yang semestinya masuk pada kategori berat namun hanya diberikan teguran terhadap Firli Bahuri,” ucapnya.
“Ini membuktikan bahwa sebenarnya keberadaan Dewan Pengawas gagal memberikan kontribusi bagi penguatan kelembagaan KPK,” tutup Kurnia.
Diketahui dalam kasus OTT UNJ, Dewas KPK menjatuhkan sanksi ringan berupa teguran lisan terhadap Aprizal. Ia dinilai melanggar etik dan pedoman perilaku yang menimbulkan suasana tegang yang tak kondusif dan harmonis.
Adapun dalam kasus itu, KPK mengakui tidak ada unsur penyelenggara negara dalam perkara tersebut. KPK melimpahkannya ke Polda Metro Jaya.
Namun, pada akhirnya, Polda Metro Jaya menghentikan perkara tersebut karena dinilai tidak cukup bukti.(msn)