Indovoices.com-Benturan kepentingan atau conflict of interest bisa jadi langkah awal perilaku koruptif. Hampir seluruh kasus korupssi yang ditangani KPK mengandung unsur benturan kepentingan yang motifnya adalah memperkaya diri sendiri dan orang lain.
Perbincangan mengenai benturan kepentingan ini mengemuka dalam diskusi daring tentang Integritas Anak Muda Di Tengah Kultur Korup yang diselenggarakan Transparansi International Indonesia.
Fungsional Direktorat Pembinaan Jarinagn Kerja antar Komisi dan Instansi (PJKAKI) KPK Christie Afriani mengatakan dampak benturan kepentingan ini berbahaya karena memungkinkan munculnya kebijakan yang bias dan tidak transparan. Dia mencontohkan, kasus yang melibatkan Tubagus Chaeri Wardana yang memanfaatkan jabatan kakaknya sebagai bupati untuk ikut tender pengadaan kemudian merugikan negara.
Diskusi daring ini menghadirkan 4 narasumber yaitu Alvin Nicola dari TI Indonesia, Christie Afriani dari KPK, Coory Yohana Pakpahan, Koordinator Divisi Youth Studies Pamflet dan Ariane Utomo, Pengajar di School of Geography, The University of Melbourne Australia. Diskusi daring yang berlangsung lebih dari 2 jam ini diikuti 43 partisan.
Alvin Nicol dari TII menyebut, tujuan diskusi daring ini diantaranya untuk memperkaya pembahasan anak muda dan korupsi. Hingga saat ini belum banyak dimensi-dimensi yang membahas isu anak muda dan korupsi, terutama yang fokus membahas dari segi integritas.
Dari berbagai studi TI Indonesia di 2013, banyak anak muda Indonesia yang tidak dapat mendefinisikan integritas secara jelas, namun sudah mengenali beberapa perilakunya, misalnya jujur, kalau ditilang harus mengikuti proses hukum dan sebagainya. “Jadi kenal dengan perilakunya tapi tidak secara eksplisit tahu, apa sih integritas itu,” sebut Alvin.
Dari studi TI Indonesia 2017 yang lalu, 69% anak muda melakukan suap terutama untuk mengakses hal-hal yang seharusnya menjadi hak mereka, seperti pelayanan publik pengurusan KTP, membuat BPJS. Padahal anak muda sebenarnya menaruh perhatian besar terhadap isu-isu politik atau publik, seperti yang ditunjukkan dengan gerakkan reformasi dikorupsi tahun lalu.
Menurut Alvin, sikap anak muda yang inkonsisten ini karena standar dimensi moralnya belum cukup jelas, dan belum cukup ketat. “Jadi gampang dikompromikan, padahal korupsi itu jelas-jelas pelanggaran integritas. Makanya wacana mengenai integritas anak muda itu sendiri perlu ditegaskan kembali,” katanya.
Dalam diskusi ini, TI Indonesia merekomendasikan pentingnya mengubah pandangan anak muda dari yang sebelumnya objek yang pasif ke dalam subjek yang aktif. Anak muda harus benar-benar dilibatkan secara aktif dalam hal pelibatan publik dan konteks antikorupsi lainnya. Selain itu penting juga menaikkan standar moral dan etika dalam debat publik, walaupun sangat sulit untuk menghapus semua peluang benturan kepentingan karena regulasinya tidak cukup kuat dalam UU Tipikor. (kpk)