Penulis: Gideon Suwondo Parulian
Joko Widodo atau yang akrab disapa dengan Jokowi adalah salah satu dari sekian banyak pemimpin negara yang berani dengan tegas menyatakan perang terhadap terorisme. Dalam beberapa kesempatan di pidato kenegaraan nya, Jokowi selalu menyempatkan untuk membahas perihal terorisme dan menyatakan bahwa Indonesia menyatakan perang dengan segala bentuk aksi dan tindakan radikal yang salah satu nya adalah terorisme. Tercatat semenjak diawal tahun pemerintahan nya, Jokowi sangat menaruh perhatian pada tindakan teroris. Jokowi juga sempat mengecam serangan teror bom Paris pada akhir tahun 2015 dan mulai aktif menyempatkan pembahasan tentang terorisme disela-sela pidato kenegaraan nya semenjak kasus teror bom di Sarinah, Jakarta pada awal tahun 2016.
Tentu sikap yang ditunjukan seorang pemimpin negara seperti Jokowi merupakan hal yang patut diancungi jempol mengingat tidak semua warga di Indonesia mengecam terorisme dan bisa saja ancaman terhadap diri nya justru datang dari warga negara nya sendiri. Tetapi yang ingin difokuskan disini adalah mengenai perihal sikap “berperang” yang diusung Jokowi. Ketika masuk kedalam aspek “berperang”, tentu ada instrumen-instrumen dan peraturan-peraturan yang harus dikaji demi mengeksekusi dan memenangkan perang dengan baik dan benar.
Kamus Besar Bahasa Indonesia atau KBBI mencatat definisi perang sebagai permusuhan antara dua negara (bangsa, agama, suku, dan sebagainya), pertempuran besar bersenjata antara dua pasukan atau lebih (tentara, laskar, pemberontak, dan sebagainya), perkelahian; konflik, serta cara untuk mengungkap permusuhan. Sementara itu menurut Letjen TNI (purn) Sayidiman Suryohadiprojo dalam buku nya yang berjudul: Pengantar Ilmu Perang, tertulis bahwa perang adalah sebuah aksi fisik dan non fisik (dalam arti sempit, adalah kondisi permusuhan dengan menggunakan kekerasan) antara dua atau lebih kelompok manusia dan juga ditandai dengan ada nya pertikaian menggunakan alat atau senjata.
Berdasarkan pengertian diatas maka bisa disimpulkan bahwa perang adalah sebuah pertentangan yang memicu aksi konflik dengan menggunakan instrumen- instrumen. Instrumen ini yang terutama adalah persenjataan. Namun instrumen-instrumen seperti peraturan perundang-undangan yang mendukung, keamanan, gerakan operasi militer dan kedaulatan sebuah negara itu sendiri juga merupakan instrumen penopang yang baik terutama jika ancaman terjadi di dalam negara itu sendiri. Dengan memahami pengertian-pengertian tersebut maka ketika Jokowi menyatakan perang terhadap terorisme maka tentu seharusnya bukanlah pernyataan yang hanya bentuk luapan emosi saja melainkan sebuah pernyataan yang akan dilanjuti dengan tindakan-tindakan kenegaraan.
Menjadi menarik ketika Jokowi menyatakan perang terhadap terorisme justru beberapa pihak teroris khusus nya di Indonesia menganggap bahwa tindakan nya bukan ditujukan kepada negara Indonesia secara komprehensif. Mereka merasa bahwa aksi mereka adalah murni gerakan jihad menurut pengertian mereka. Para teroris di Indonesia merasa mereka sedang melaksanakan ideologi mereka yang mengharuskan mereka melakukan tindakan terorisme seperti bom bunuh diri atas nama jihad demi kemanusiaan, keadilan dan masa depan agama mereka. Mereka tidak sedang melawan negara Indonesia walaupun ideologi negara Indonesia yaitu Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika bertentangan dengan mereka karena mereka berharap suatu saat nanti dimulai dari gerakan-gerakan kecil yang mereka lakukan, negara Indonesia bisa “tersadarkan” dan akhir nya mengikat ideologi yang mereka anut. Jika demikian, lantas bagaimana bisa Jokowi menganggap bahwa ini adalah perang sedangkan pihak teroris tidak menganggap demikian? Dengan bagaimanakah Jokowi bisa dibenarkan dalam mendeklarasikan perang terhadap terorisme? Untuk menjawab pertanyaan ini kita harus melihat hukum dalam peperangan.
Hukum peperangan secara garis besar terbagi menjadi dua, yaitu berdasarkan tradisi dan secara undang-undang. Yang secara tradis lebih mengarah kepada etika peperangan yang sudah diamalkan sejak ribuan tahun. Catatan didalam Al-Quran dan Hadist juga mencatat ini dan dilengkapi dengan aturan-aturan yang lebih islami seperti tidak diperbolehkan nya berperang di dalam Masjidil Haram (kecuali jika pihak lawan memulai peperangan di Masjidil Haram terlebih dahulu), wajib melindungi orang-orang musyrik yang meminta perlindungan terhadap Umat Muslim, tidak boleh memutilasi korban peperangan, dilarang membunuh ternak kecuali untuk dimakan, dan sebagainya. Catatan mengenai etika berperang juga terdapat dalam Kitab orang Ibrani yaitu di kitab Hakim-Hakim, dengan isi nya yang terkenal membahas konsep perang yang suci dan adil dari Zaman Perunggu.
Tetapi hampir keseluruhan sama dengan etika berperang yang dipakai orang-orang di seluruh dunia yaitu yang terutama tidak boleh membunuh warga sipil, lalu tidak boleh membunuh orang atau pihak yang sudah mengankat bendera putih atau mengakui kekalahan nya, lalu tidak boleh membunuh perempuan, anak-anak, dan lansia. Juga tidak boleh menghancurkan rumah ibadah, disusul dengan tidak boleh menghancurkan fasilitas umum seperti rumah sakit, stasiun, dan lain-lain. Juga tidak diperkenankan dengan sengaja merusak ekosistem alam seperti tumbuhan, hewan, mencemari air, tanah dan lain-lain.
Sementara secara undang-undang, diatur dalam hukum yang secara umum diluar hukum regional setiap negara masing-masing, adalah hukum internasional yaitu apa yang disebut dengan “Just War” atau “perang yang sah”. Just War atau yang nama latin nya adalah jus bellum iustum (walaupun nama latin ini kurang begitu dikenal) merupakan etika berperang yang sah yang diakui berdasarkan penafsiran akan tradisi-tradisi perang yang sah sejak ribuan tahun yang lalu. Just War juga merupakan sebuah doktrin yang diakui banyak pakar baik militer maupun non militer sebagai sebuah landasan untuk menentukan apakah sebuah perang dapat dibenarkan atau tidak. Just War sendiri terbagi menjadi dua bagian: jus ad bellum dan jus in bello. Jus ad bellum secara umum adalah hukum yang membenarkan alasan sebuah negara untuk mendeklarasikan perang kepada negara lain ataupun suatu kelompok (non state actor). Hal ini dilengkapi dengan peraturan Perserikatan Bangsa-Bangsa di Artikel Kedua, setiap negara anggota PBB harus mempertimbangkan segala aspek yang bisa mempengaruhi hubungan internasional sebelum memutuskan untuk menggunakan kekuatan militer mereka, dalam memerangi setiap ancaman. Terlebih ancaman yang dirasakan berada di sebuah negara yang secara politik bebas dan independen (contoh: serangan Somalia terhadap Kenya yang merupakan wilayah politik bebas dan independen). Berlawanan dengan jus ad bellum, jus in bello justru merupakan hukum yang mengatur dampak yang akan ditimbulkan setelah perang diluncurkan. Secara umum, jus in bello mengatur bagaimana perang tersebut mesti dilakukan, dengan salah satu nya memperhatikan etika perang tidak tertulis.
Berdasarkan pemaparan diatas, langkah Jokowi untuk menyatakan perang terhadap terorisme di Indonesia sudah tepat. Jokowi jelas bukanlah orang yang dengan sembarangan mengeluarkan pernyataan tanpa ada nya dasar aturan yang tepat dan pemikiran yang matang. Berdasarkan dua aturan jus ad bellum dan jus in bello, sangat krusial keputusan seorang pemimpin negara terutama di depan pengadilan internasional untuk menentukan perang atau tidak nya terhadap negara lain atau kelompok tertentu (non state actor) dikarenakan dua hukum ini walaupun bertentangan tetap tidak bisa dibenarkan secara menyeluruh untuk menentukan perang hanya karena keharusan (Just War), atau hanya karena jus ad bellum atau hanya karena jus in bello.
Kita sudah melihat sendiri dari berbagai berita yang beredar bagaimana teroris-teroris di Indonesia hanya mementingkan tujuan ideologi nya saja tanpa mementingkan aturan-aturan, terutama dalam penggunaan senjata seperti bom. Para teroris di Indonesia jelas melanggar aturan baik secara tradisi maupun hukum dan justru melanggar aturan perang dalam agama yang dianutnya hanya karena doktrin dan tafsir yang sebenarnya membutuhkan diskusi yang lebih mendalam lagi. Terorisme di Indonesia berideologikan pembenaran dalam membunuh tanpa memandang keadaan dan keharusan untuk membunuh (Just War). Perlu adanya langkah-langkah sistematis seperti membuat tameng pertama yaitu revisi undang-undang mengenai terorisme. Jika terpaksa, Jokowi sebagai kepala negara bisa membuat Perppu mengenai terorisme. Begitu banyak nya lapisan aturan akan membuaat terorisme tidak bisa berkutik, baik di dalam maupun di luar Indonesia. Ya, Jokowi begitu paham dan sadar dengan apa yang dikatakan nya. Ini adalah sebuah perang.
Daftar Pustaka
Letjen TNI (purn) Sayidiman Suryohadiprojo: Pengantar Ilmu Perang, Pustaka Intermasa, 2008, ISBN 978-979-3791-33-3
Pictet, Jean. 1962. The Geneva convention and Law of War: Revue International de la Croix Rouge, hlm.295
Studi (kajian) tentang Hukum Humaniter Internasional Kebiasaan: Sebuah sumbangan bagi pemahaman dan penghormatan terhadap tertib hukum dalam konflik bersenjata. Diterbitkan dalam bentuk Journal Review oleh Study on Customary International Humanitarian Law untuk International Review of The Red Cross. Volume 87 Nomor 857. Maret 2005
Tribunnews.com dengan judul Pidato Kenegaraan Presiden Nyatakan Perang Terhadap Radikalisme, http://www.tribunnews.com/nasional/2017/08/16/pidato-kenegaraan-presiden-nyatakan-perang-terhadap-radikalisme. Editor: Advertorial