Indovoices.com-Direktur Jenderal Penanganan Masalah Agraria Pemanfaatan Ruang dan Tanah Kementerian ATR/BPN Raden Bagus Agus Widjayanto mengungkapkan banyak modus operandi mafia tanah yang berhasil ia temukan di lapangan.
“Sengketa tanah itu tidak hanya perdata saja, tapi juga kerap berakhir pidana,” kata dia di kantornya di Jakarta.
Agus mengungkapkan, modus mafia tanah yang terindikasi pidana adalah seperti pemalsuan hak atas tanah. “Kenapa banyak pemalsuan, karena memang sistem hukum kita seperti ini, karena kita punya banyak bukti atas hak seperti girik, ada SK ganti rugi bekas ajendam, itu bisa dijadikan dasar untuk mengklaim tanah, kemudian surat keterangan tanah juga bisa digunakan,” ucapnya.
Ia mengatakan, sistem administrasi penerbitan girik juga sudah tak tertib dari tingkat Kelurahan. Bahkan, dalam Pajak Bumi dan Bangunan pun tak menyertakan riwayat kepemilikan dari sebuah lahan. “Jadi ini yang digunakan sebagai kesempatan orang-orang tertentu untuk memproduce girik-girik yang tidak ada. Jadi kita bilang surat mencari tanah,” Agus menerangkan.
Ketika sebuah girik mengatasnamakan sebuah lahan kosong, tapi ternyata sudah bersertifikat, kata Agus maka si mafia tanah akan mengajukan gugatan kepemilikan lahan di pengadilan. Kemudian ia juga pernah menemukan oknum yang memperjualbelikan blanko girik kosong. Walhasil, mafia tanah tinggal mengisi identitas tanah yang dituju dalam surat girik tersebut.
Selanjutnya, Agus mengatakan, ada juga pemalsuan sertifikat, yakni dengan menggunakan surat kuasa palsu guna mengurus sertifikat pengganti atas nama pemilik sebenarnya. Ketika sudah terbit sertifikat tersebut, maka diperjual-belikan dan diganti nama oleh orang lain. “Diharapkan hal seperti itu tidak terjadi lagi,” ujarnya.
Agus menuturkan, pernah juga pihaknya menemukan kasus sengketa tanah oleh oknum yang menggugat lahan kosong yang tidak tahu siapa pemiliknya. Kemudian hal tersebut disidangkan dan diputuskan tanpa adanya tergugat, lalu dinyatakan yang menggugat sebagai pemilik tanah tersebut.
Kemudian keputusan itu bisa digunakan untuk mengajukan permohonan penerbitan sertifikat kepemilikan di BPN. Jika BPN menolak untuk menerbitkan, maka bisa digugat lagi ke Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN).
“Jika dia sudah punya putusan perdata, kalau dikabulkaan maka keputusan akan membatalkan sertifikat yang sudah ada (sebelumnya). Nah ini modus juga,” kata Agus.
Karena itu, Kementerian ATR/BPN bersama Kepolisian berusaha menuntaskan masalah-masalah tersebut dengan harapan para mafia tanah bisa jera, dan tak coba-coba melawan hukum. Ia juga mengimbau kepada seluruh masyarakat Indonesia untuk berhati-hati dengan modus-modus yang dilakukan oleh mafia tanah. (msn)