Indovoices.com –Aksi pembunuhan yang diduga dilakukan kelompok teroris MIT Poso kepada empat petani di Desa Kalimago, Kecamatan Lore Timur, Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah (Sulteng), beberapa waktu lalu, membuat warga sekitar menginginkan agar di Desa Kalimago dibangun pos keamanan.
Hal itu dikatakan Camat Lore Timur, Kabupaten Poso, Sulteng, Ferdiyanto Tarakolo, Senin (24/5).
Ia menjelaskan keinginan itu terungkap saat pihaknya menggelar pertemuan bersama sejumlah perwakilan warga di Kecamatan Lore Timur, Jumat (21/5).
Pihaknya sengaja mengundang tokoh lintas agama di wilayah itu untuk membahas Lore Timur ke depan.
“Jadi itu terungkap saat rapat bersama tokoh lintas agama di Kecamatan Lore Timur. Warga menyarankan sebaiknya dibangun semacam Pos Sekat di Desa Kalimago,” kata Ferdiyanto.
Dari keterangan warga, Pos Sekat akan lebih mirip dengan Pos Keamanan yang sebelumnya sudah terdapat di beberapa wilayah di Kabupaten Poso.
Warga meyakini segala perintah munculnya dari Pos itu. Bila Pos Sekat jauh, aparat akan kesulitan menunggu perintah. Itu mempermudah kelompok teroris lebih dulu lari menjauh.
Kecamatan Lore Timur, terdiri dari lima desa, yakni, Tamadue, Maholo, Winowanga, Mekar Sari dan Kalimago.
Sejauh ini keberadaan Pos Sekat baru ada di Desa Tamadue dan Mekar Sari, sedangkan di Desa Kalimago selama ini aparat masih menumpang di rumah warga.
“Sebelumnya di Desa Tamadue, Pos Sekat sudah ada, tapi ditarik ke tempat penampakan (teroris MIT) yang terakhir. Namun akhirnya kejadiannya di Desa Kalimago,” kata dia.
Saat ini tambah Ferdiyanto, pihak aparat TNI Polri menempatkan satu regu di Desa Tamadue dan satu regu lagi di Desa Mekar Sari yang langsung berbatasan dengan gunung biru.
Oleh karena itu, untuk menunjang kinerja aparat dengan Pos Sekatnya, dalam rapat, warga berinisiatif menyiapkan lahan yang representatif untuk bisa dibangun Pos Sekat di Lore Timur.
Dalam rapat, warga juga menyepakati lahan yang disediakan untuk Pos Sekat harus memiliki luas sekitar dua hektare, cukup untuk fasilitas pendaratan helipad karena Pos tersebut umumnya sering didatangi pimpinan aparat yang bertugas.
Hasil rapat tersebut, rencananya akan pihak kecamatan serahkan ke Polda Sulteng dalam waktu dekat untuk dipertimbangkan.
Lebih lanjut, sejauh ini, menurut Ferdiyanto, aparat sudah bekerja sangat maksimal. Mungkin saja yang belum maksimal adalah strategi dan taktiknya. Namun ia tidak bisa berkomentar banyak lantaran sadar bahwa dirinya bukanlah orang militer.
Semenjak kejadian berdarah itu, warga tidak berani bertani terutama warga di Desa Kalimago.
Hampir 90 persen warga di desa itu dan desa lainnya yang berada dalam satu wilayah Kecamatan Lore Timur, berprofesi sebagai petani, sisanya pegawai dan pedagang.
Adapun hasil pertaniannya berupa kopi, coklat dan jagung yang ditanam di hamparan dan di kaki-kaki pegunungan. Seperti empat petani yang tewas yang diduga dibunuh teroris MIT Poso, keempatnya petani coklat dan kopi.
Semasa hidup, mereka menanam tanaman perkebunannya di kaki gunung yang berbatasan dengan gunung biru.
Karena hal itu pulalah warga setempat takut turun ke kebun. Warga ingin membuka ladang sawah, namun terkendala irigasi. Pihaknya sudah menyarankan ke Pemerintah Kabupaten Poso untuk membangun saluran irigasi karena warga ingin membuka sawah kembali.
Namun karena saat ini aparat terus hadir di Desa Kalimago, warga senang dan merasa aman. Apabila warga ingin memanen di kebun, pemilik kebun tidak turun sendiri, melainkan segera melapor ke aparat setempat bahwa besok akan ada panen. Esoknya, petani akan dikawal empat aparat yakni dua anggota Polri dan dua anggota TNI.
“Aparat tersebut bahkan membantu petani panen. Jadi yah bersyukur,” tuturnya.
Ferdiyanto berharap, tragedi kemanusiaan itu tidak terjadi lagi. Ia secara pribadi meminta dengan hati yang tulus kepada kelompok MIT Poso untuk menghentikan kekejaman tersebut.
“Karena kasihan. Petani yang berbatasan dengan gunung biru itu, orang yang tidak tahu apa-apa. Orang yang hanya cari makan hari itu yang dicari hari itu juga,” ucap Ferdiyanto pilu.
Rencananya dalam waktu dekat, pihaknya akan menggelar upacara adat Popo Bohai Tampo. Masyarakat setempat mengartikannya sebagai suatu ritual adat yang digelar karena tanah yang mereka anggap sakral dinodai oleh darah manusia.
“Kami sedang bicarakan teknisnya bersama lembaga-lembaga adat,” tutup Ferdiyanto.
Warga yang mendiami Kecamatan Lore Timur sangat plural. Tercatat ada tiga agama di wilayah itu, yakni Kristen, Islam, dan Hindu. Sedangkan suku yang mendiaminya terdiri dari Suku Kaili, Suku Bugis, Jawa, Bali, Napu dan Poso.