Indovoices.com-Dampak ekonomi wabah virus corona bisa lebih buruk daripada yang diperkirakan sebelumnya.
Menurut Organisasi Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan (OECD), pertumbuhan ekonomi bisa turun menjadi yang terburuk sejak 2009.
Ekonomi China, yang merupakan negara manufaktur raksasa dunia saat ini, juga mengalami penurunan drastis.
Rantai pasokan terganggu menyebabkan pelambatan produksi.
OECD memperkirakan bahwa pertumbuhan dunia di tahun 2020 ini akan berkisar pada angka 2,4%, turun dari angka 2,9% pada bulan November.
Namun menurut mereka, apabila wabah ini menjadi lebih intensif lagi, pertumbuhan bisa hanya tinggal 1,5%, hampir separuh dari tahun lalu.
Ini dinyatakan sesudah Bank of England menyatakan akan membantu menstabilkan pasar, yang mengalami kerugian minggu lalu.
Menurut perkiraan OECD, ekonomi global akan pulih lagi ke angka pertumbuhan 3,4% pada tahun 2021.
Ini dibuat dengan asumsi epidemi di China akan mencapai puncaknya pada kuartal pertama tahun ini, dan wabah di tempat lain berlangsung ringan dan bisa dikendalikan.
Namun gambaran ini bisa lebih buruk seandainya virus menyebar luas di Asia, Eropa dan Amerika Utara.
Terendah sejak 2008
Sepanjang bulan Februari, ekonomi China mengalami pertumbuhan terendah sejak tahun 2005 seiring langkah pemerintah menangani penyebaran virus.
Menurut data dari Kantor Statistik Nasional China (ONE), patokan Purchasing Managers’ Index (PMI) dari sektor manufaktur jatuh 14,3 poin ke 35,7 setelah sebelumnya mencapai angka 50 poin pada bulan Januari tahun ini.
Angka ini merupakan rekor terendah. Sebelumnya angka terendah terjadi pada November 2008 ketika dunia terlanda krisis finansial global.
Angka PMI dihitung dengan data dari survei bulanan ke perusahaan sektor swasta dan menjadi indikator kunci bagi kesehatan ekonomi suatu negara serta bisa menggerakkan pasar keuangan.
Sektor manufaktur dunia saat ini sepertiganya berada di China.
China juga menjadi eksportir terbesar dunia, maka kejatuhan angka PMI meerka akan memiliki dampak kepada negara-negara lain.
Minggu lalu, prediksi dampak penanganan virus corona terhadap perdagangan dan ekonomi global sudah diumumkan.
Lembaga konsultan Capital Economics yang berkantor di London memperkitakan wabah ini akan menghabiskan biaya hingga US$280 milar, hanya pada tiga bulan pertama tahun 2020.
Angka ini lebih besar daripada anggaran tahunan Uni Eropa, setara kira-kira pendapatan Microsoft atau Apple, dan delapan kali lipat anggaran tahunan pemerintah Nigeria.
Tak ada buruh
Pembatasan yang sedang diterapkan di negeri yang disebut “pabrik dunia” ini sudah mempengaruhi beberapa perusahaan seperti Apple, Diageo, Jaguar, Land Rover dan Volkswagen, yang tergantung pada produksi dan konsumsi China.
Menurut Bloomberg Economics, pabrik di China hanya beroperasi 60% hingga 70% dari kapasitas mereka minggu ini.
Kebanyakan pabrik tergantung pada 300 juta buruh yang dari berbagai kota di China, yang sepertiganya masih belum bekerja lagi karena adanya karantina.
Para pemimpin China sudah meminta kepada pemerintah daerah, pabrik dan buruh untuk mulai segera bekerja lagi, terutama di daerah-daerah yang tak terlalu terdampak.
Namun hingga kini tanggapan masih lambat.
Pasokan iPhone terpengaruh
China adalah raksasa industri. Tetapi sektor smartphone menjadi salah satu yang paling terdampak, karena negara ini adalah produsen dan pengekspor perangkat terbesar di dunia.
Daftar ponsel yang mengalami kekurangan suku cadang termasuk iPhone Apple, salah satu smartphone terlaris di planet ini.
Perusahaan teknologi itu mengumumkan pada 17 Februari bahwa produksi dan penjualan produk andalannya itu telah terdampak wabah – dan menyatakan bahwa pasokan iPhone di seluruh dunia “akan sementara dibatasi”.
Riset pasar oleh Canalys telah memperkirakan penurunan hingga 50% dalam pengiriman telepon pintar di China antara Oktober 2019 dan Maret 2020.
Penyusutan ekonomi pertama sesudah Revolusi Budaya?
Di China, virus corona ini sudah punya dampak negatif terhadap konsumsi domestik, salah satu landasan model ekonomi yang dipromosikan Presiden Xi Jinping.
Toko-toko banyak yang tutup karena permintaan yang rendah. Ini disebabkan banyak pelanggan masih memilih untuk tinggal di rumah dan tidak banyak berbelanja, seperti dilaporkan Capital Economics.
Menurut asosiasi produsen makanan China, 93% restoran tutup selama epidemi – juga selama Tahun Baru Imlek yang merupakan perayaan terbesar di China yang bertepatan dengan dimulainya wabah.
Sektor ini diperkirakan merugi hingga 500 miliar yuan (sekitar Rp1.000 trilyun) menurut data yang dikumpulkan EFE dari Beijing.
Ekonom Larry Hu, dari Macquarie Capital di Hong Kong, memperkirakan ekonomi China bisa mengalami penyusutan dalam trimester pertama.
Ini akan menjadi yang pertamakalinya terjadi sejak Revolusi Budaya, seperti dilaporkan oleh surat kabar South China Morning Post (SCMP).
Belum ditentukan
Pertumbuhan ekonomi China tahun 2019 merupakan yang terendah selama tiga dekade dan pemerintah berkeras bahwa pembangunan ekonomi dan sosial mereka tetap bisa memenuhi target, sekalipun ada epidemi.
Pihak pemerintah China biasanya mengumumkan target-target ini – semisal GDP atau inflasi – pada bulan Maret selagi ada rehat dalam sidang parlemen tahunan.
Namun karena wabah, pengumuman ini ditunda hingga waktu yang belum ditentukan.
Ketidakpastian
International Monetary Fund (IMF) menurunkan perkiraan pertumbuhan Produk Domestik Bruto, PDB, China di tahun 2020 dari 6% menjadi 5,6%.
Menurut mereka, virus corona telah menghadapkan ekonomi global pada “ketidakpastian yang mendesak” dan menjadi ancaman bagi pemulihan karena adanya kemungkinan dampak terhadap rantai pasokan global.
Di tengah situasi tidak pasti ini, pihak berwenang China berusaha menyampaikan pesan-pesan yang menenangkan.
Akhir pekan lalu misalnya, mereka menyatakan sekitar 90% perusahaan milik negara telah memulai kembali kegiatannya, menurut surat kabar SCMP.
“Khususnya di sektor gas, minyak, komunikasi, listrik dan transportasi telah beroperasi lebih dari 95%, dan beberapa sudah mencapai 100%,” menurut laporan komisi pengawas dan pengelola aset negara.
Sekalipun indikator-indikator ini berada di zona merah, penurunan produksi di China punya dampak positif.
Berdasar pengamatan satelit pengawas polusi NASA, terdeteksi penurunan nitrogen dioksida di China yang menandakan turunnya tingkat polusi di sana. (msn)