Indovoices.com– Sebagai negara yang berada dalam bagian Cincin Api Pasifik, Indonesia sangat rentan terhadap bencana alam. Tak hanya itu, Indonesia juga rentan terhadap dampak negatif perubahan iklim.
Dengan kondisi ini, berbagai upaya penanganan telah dilakukan oleh pemerintah. Resiliensi atau ketahanan diri perlu dibangun dan dikelola agar dampak negatif bencana alam dan perubahan iklim dapat diantisipasi. Untuk itu, bersama dengan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) serta World Bank, Kemenko Bidang Kemaritiman menggelar workshop bertajuk “Enhancing Resilience of Coastal and Marine Resources” di Jakarta.
Deputi Bidang Koordinasi SDM, Iptek dan Budaya Maritim Kemenko Bidang Kemaritiman, Safri Burhanuddin yang membuka workshop menyampaikan bahwa selain tantangan alam, di lingkungan pesisir dan laut, Indonesia juga menghadapi tantangan berat karena ekosistem-ekosistem yang menjadi basis bagi pembangunan ekonomi terus-menerus mengalami ancaman dan tekanan dari kegiatan manusia.
“Mangrove dan lamun sangat potensial dimanfaatkan dalam upaya peningkatan ketahanan terhadap dampak bencana alam dan perubahan iklim,” lanjut dia. Namun, menurut Deputi Safri, polusi dan pencemaran akibat aktivitas industri mengancam keberadaan mangrove yang menjadi benteng alami kawasan pesisir. “Padahal ekosistem pesisir-laut penting bagi keberlanjutan perikanan, budidaya dan pariwisata, serta kegiatan ekonomi masyarakat.
Disamping itu pemerintah mendorong adanya sistem pendanaan yang abadi dalam menjaga kelestarian ekosistem pesisir-laut seperti pada kawasan destinasi wisata bahari dalam bentuk EPR pariwisata ( Extended Producer Responsibility), dimana stakeholder pariwisata menerima manfaat langsung dari keberadaan ekosistem pesisir tersebut ” tutur dia.
Mengutip data dari KLHK tahun 2016, Deputi Safri memaparkan bahwa luas mangrove Indonesia sebanyak 3.4 juta hektar. Tetapi, 60 persen diantaranya berada dalam konsisi kurang baik, sementara itu, 40 persen sisanya berada dalam kondisi sedang dan baik.
Kemudian, Deputi Safri melanjutkan, dari potensi luasan padang lamun 0,8 – 1,8 juta hektare di tahun 2015, luasan per meter-persegi menurun dari 46 persen menjadi 42,23 persen di tahun 2017. “Hal ini dapat dikategorikan sebagai kurang sehat,” ujar Deputi Safri mengutip tulisan Syafrie tahun 2018.
Dengan fakta-fakta yang telah dia sebutkan sebelumnya, Deputi Safri menegaskan harapannya agar workshop yang dihadiri oleh para ahli dari berbagai kementerian/lembaga, akademisi serta Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) mampu merumuskan rekomendasi untuk pemetaan ekosistem mangrove dan lamun secara efektif, mengidentifikasikan sumber daya bagi pengelolaan efektif ekosistem mangrove dan lamun serta mengidentifikasikan pilihan-pilihan bagi mekanisme pembayaran untuk Jasa Ekosistem Pesisir.
Lebih jauh, diapun menyebutkan bahwa upaya pemerintah untuk meningkatkan ketahanan sumber daya pesisir dan laut juga memperoleh bantuan dari negara-negara donor yang mengkontribusikan uangnya lewat Oceans, Marine Debris and Coastal Resources Multi Donor Trust Fund (Oceans MDTF). Dana hibah tersebut kini diwali-amanahkan melalui Bank Dunia.
Dalam kesempatan yang sama, Ann Jeannette Glauber, ENB Practice Manager Bank Dunia untuk wilayah Asia Tenggara dan Pasifik mengungkapkan bahwa ekosistem mangrove, lamun dan terumbu karang adalah aset alami Indonesia. “Ekosistem mangrove dan lamun, misalnya, mampu menyerap karbon 5 kali lebih banyak daripada hutan tropis, namun karena polusi, perusakan lingkungan dan sampah plastik yang masuk ke laut, ekosistem alami ini jadi terancam,” keluhnya.
Sesuai dengan mandat Ocean MDTF, yang dihibahkan oleh Pemerintah Denmark dan Norwegia, Glauber menyebutkan bahwa Bank Dunia telah bekerja sama dengan Pemerintah RI untuk memperkuat upaya konservasi dan mengelola ekosistem pesisir dan laut secara berkelanjutan.
Terakhir, senada dengan Deputi Safri, dia berharap bahwa workshop yang menggabungkan berbagai pemangku kepentingan dari kementerian, lembaga, komunitas dan LSM yang memiliki mandat dan tusi yang serupa dapat bekerja sama dalam melakukan pengelolaan pesisir .
“Saya juga berharap para stakeholders duduk satu meja untuk mendiskusikan isu yang sama dan mengidentifikasikan sektor-sektor prioritas yang dapat dikerja-samakan serta memetakan bidang-bidang yang dapat diinvestasikan,” pungkasnya. (jpp)