Indovoices.com –Tim peneliti di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Soebroto tidak lagi meneliti Vaksin Nusantara.
Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Jenderal TNI Andika Perkasa mengungkapkan Badan Pengawas Obat dan Makanan telah menyatakan penelitian Vaksin Nusantara yang berjudul Uji Klinis Adaptif Fase 1 Vaksin yang Berasal dari Sel Dendritik Autolog yang Sebelumnya Diinkubasi dengan Spike Protein Severe Acute Respiratory Syndrome Corona Virus-2 (SARS-CoV-2) pada Subjek yang Tidak Terinfeksi Covid-19 dan Tidak Terdapat Antibodi Anti SARS-CoV-2 memiliki kelemahan yang bersifat critical dan major.
Kelemahan yang bersifat critical dan major tersebut, kata Andika, harus direspon oleh tim peneliti.
Oleh karena itu, kata Andika, pemerintah mencarikan solusi agar penelitian untuk menemukan solusi alternatif atas covid-19 tetap berlanjut sekaligus para peneliti tetap melengkapi respon yang harus diberikan dan diserahkan kepada BPOM.
“Mereka bisa terus, tetapi dengan penelitian yang berbeda. Jadi sama sekali tidak melanjutkan. Jadi kalau melanjutkan kan mungkin apakah disebut fase kedua atau bahkan mungkin fase-fase yang selanjutnya. Jadi berbeda dan judulnya pun dipilih berbeda,” kata Andika saat konferensi pers di Markas Pomdam Jaya Jakarta pada Selasa (20/4/2021).
Untuk itu, lanjut dia, tim peneliti di RSPAD Gatot Soebroto membuat penelitian baru yang bebeda dengan Vaksin Nusantara.
Meski demikian, kata Andika, penelitian tersebut secara umum memiliki kemiripan dengan Vaksin Nusantara dalam hal penggunaan sel dendritik.
Namun demikian, kata dia, bedanya adalah penelitian tersebut lebih sederhana dan tidak menghasilkan vaksin.
“Ini tidak ada hubungannya dengan vaksin sehingga tidak perlu izin edar karena memang dilakukan menggunakan metode yang autologus dan tidak ada produksi massal sehingga tidak diperlukan izin edar,” kata Andika.
Andika menjelaskan sejak 2017 RSPAD Gatot Soebroto sebetulnya telah memulai penelitian berbasis sel dendritik dan metode-metode yang bersifat imunoterapi.
RSPAD Gatot Soebroto, kata dia, juga telah memiliki fasilitas tersebut yakni cell cure center.
Jadi terus berbasis sel dendritik, kemudian menggunakan juga metode-metode yang bersifat imunoterapi dan kebetulan RSPAD memang memiliki fasilitasnya itu.
“2017 sudah siap teknologinya dari Jerman, kita mengirimkan tim selama 6 bulan untuk melakukan pendalaman dan sampai dengan 2019 jadi 2 tahun pun dikawal dari tim teknis dari Jerman mengawal pada operasional cell cure center ini di RSPAD,” kata Andika.
Namun demikian, saat itu penelitian sel dendritik di RSPAD hanya ditujukan untuk penuakit kanker, lupus, alergi, dan penyakit autoimun lain.
Berbekal kemampuan dan pengalaman tersebut, kata Andika, RSPAD melakukan penelitian sel dendritik terkait covid-19.
“Apakah ini bisa? Bisa, saya yakin bisa dan pemerintah pun juga mempercayakan itu kepada kami walaupun sifatnya tadi tidak untuk komersil ya. Karena tidak untuk komersil maka tidak diperlukan izin edar dari BPOM,” kata Andika.
Diberitakan sebelumnya Menteri Kesehatan RI Budi Gunadi Sadikin, Kepala Staf Angkatan Darat Jenderal TNI Andika Perkasa dan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Penny K Lukito menandatangani Nota Kesepahaman “Penelitian Berbasis Pelayanan Menggunakan Sel Dendritik untuk Meningkatkan Imunitas Terhadap Virus SARS-CoV-2” di Markas Besar TNI AD, Jakarta pada Senin (19/4/2021) pagi.
Berdasarkan keterangan resmi Dinas Penerangan TNI AD penelitian yang akan dilakukan di RSPAD Gatot Soebroto tersebut akan mempedomani kaidah penelitian sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan.
Selain itu, penelitian tersebut juga bersifat autologus yang hanya dipergunakan untuk diri pasien sendiri sehingga tidak dapat dikomersialkan dan tidak diperlukan persetujuan izin edar.
“Penelitian ini bukan merupakan kelanjutan dari ‘Uji Klinis Adaptif Fase 1 Vaksin yang Berasal dari Sel Dendritik Autolog yang Sebelumnya Diinkubasi dengan Spike Protein Severe Acute Respiratory Syndrome Corona Virus-2 (SARS-CoV-2) pada Subjek yang Tidak Terinfeksi Covid-19 dan Tidak Terdapat Antibodi Anti SARS-CoV-2’,” kata keterangan resmi yang diterima pada Senin (19/4/2021).
Alasannya adalah karena uji klinis fase 1 program yang kerap disebut Vaksin Nusantara itu masih harus merespon beberapa temuan BPOM yang bersifat Critical dan Major.
“Karena Uji Klinis Fase 1 yang sering disebut berbagai kalangan sebagai program Vaksin Nusantara ini masih harus merespon beberapa temuan BPOM yang bersifat Critical & Major,” kata keterangan tersebut.
Penandatanganan tersebut disaksikan oleh Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan RI Muhajir Effendy.