Indovoices.com –Presiden Jokowi mencopot langsung pejabat tinggi PT Pertamina (Persero), gara-gara masih impor pipa baja yang sebenarnya sudah bisa diproduksi di dalam negeri. Hal itu diungkapkan Menko Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan, di Rakernas BPPT (Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi).
Terkait hal tersebut, Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Energi dan Migas, Bobby Gafur Umar, menjelaskan penyebab Indonesia kerap impor pipa dari China. Pertama, pabrik baja di dalam negeri hanya berproduksi sekitar 40 persen dari kapasitasnya. Sebab, pasar dalam negeri dikuasai impor. Dampaknya, biaya produksi pipa baja di dalam negeri jadi kurang efisien.
“Contoh besi dan baja yang disebut pabrik pipa 30-40 persen utilisasi, padahal market ada berarti sisanya diisi impor,” katanya kepada, Jumat (12/3).
Kedua, kata mantan Direktur Utama PT Bakrie & Brothers Tbk (BNBR) ini, harga produk pipa baja impor dari China lebih murah 30 persen dibanding produk dalam negeri. Ia menggambarkan, efisiensi dari pabrik besi dan baja China mampu memproduksi 2-3 juta ton. Kapasitas produksinya jauh di atas pabrik-pabrik baja di Indonesia.
“Harga produk pipa impor ini lebih murah dibanding produksi dalam negeri karena Indonesia itu pabrik Indonesia kapasitas 100-200 ribu ton per pabrik,” imbuhnya.
Ketiga adalah bunga bank yang ditawarkan perbankan China lebih rendah dibanding di Indonesia. Menurut catatannya, bunga bank bagi pengusaha China hanya sekitar 3-4 persen. Sementara di Indonesia bunga bank masih sekitar 10 persen ke atas.
“Belum lagi biaya logistik yang masih mahal, ya meskipun sudah ada kemajuan dalam hal pembangunan jalan tol dan pelabuhan,” ungkapnya.
Keempat adalah ada insentif yang diberikan kepada eksportir dari pemerintah China, khususnya untuk ekspor barang jadi.
“Ekspor barang jadi mendapat tax insentif, mereka bisa 30 persen lebih murah. Maka dari itu akibatnya pabrik-pabrik kita tidak maksimal utilisasi. Kalau utilisasi aja tidak maksimal bagaimana orang mau bangun pabrik? Industri kita enggak tumbuh,” ucapnya.
Sebelumnya diberitakan, PT Pertamina (Persero) merombak besar-besaran kursi direksi dan komisaris subholding beserta anak usahanya pada 15 Februari 2021. Salah satu subholding yang mengalami perombakan adalah Refinery & Petrochemical Subholding (PT Kilang Pertamina Internasional). Djoko Priyono diangkat menjadi Direktur Utama PT Kilang Pertamina Internasional, menggantikan Ignatius Tallulembang.
Menurut Bobby, kejadian itu ada hubungannya dengan target tingkat komponen dalam negeri (TKDN) yang dipatok pemerintah bisa mencapai 53 persen di tahun 2024. Pertamina adalah salah satu perusahaan di sektor energi yang punya potensi besar dalam mencapai target tersebut.
Dari 6 proyek kilang yang sudah dimulai sejak 2017, ada potensi sebesar Rp 800 triliun. Jika penyerapan bahan baku dalam negeri mencapai 30 persen saja dari proyek tersebut, kata Bobby, maka nilainya sudah mencapai Rp 250 triliun.
“Kita ketahui, pipa Indonesia dihantam banjir pipa impor China dengan harga lebih murah. Jadi Pak Luhut bilang ada pejabat di Pertamina diganti, karena Presiden tidak berkenan bahwa Pertamina masih ada yang belum mengoptimalkan pemakaian produk dalam negeri. Targetnya bobotnya minimal 50 persen,” ujar Bobby.