Indovoices.com– Jumat 13 September 2019 sore hari setelah benturan rakyat Sigapiton dengan polisi Pamong Praja (PP), polisi dan buldoser di sianghari ada pertemuan rakyat Sigapiton dengan Bupati Tobasa, Kapolres dan direktur BPODT. Dalam pertemuan itu ada kesepakatan akan ada pertemuan dengan utusan masyarakat adat Sigapiton. Syaratnya tidak boleh dari luar. Kapolres menyatakan tidak boleh ada dari luar. Bupati juga mendorong agar tidak boleh ada dari luar.
Menanggapi pernyataan itu, pendeta Huria Kristen Indonesia (HKI) mempertanyakan apa arti dari luar. Saya datang kesini karena ada jemaat HKI. Bukankah anda yang dari luar?, tanya pendeta HKI itu secara kritis.
Saya menduga, maksud Kapolres yang diamini Bupati Tobasa adalah keberadaan Lembaga KSPPM sebagai pendamping dan mungkin juga keberadaan saya di lapangan. Dan, orang yang berempati dengan rakyat Sigapiton.
Siang hari seorang pendeta HKBP yang saya kenal dekat berbisik kepada saya. Sebelum ke lokasi, dia baca Alkitab yang mendorong dia hadir untuk melihat jemaat yang menderita. Orang yang percaya kepada Tuhan katanya, harus hadir di tengah jemaat yang berjuang.
Setelah pendeta itu cerita, saya mengaminkan. Tadi pak pendeta, saya melihat jemaat menyayikan lagu rohani ketika melawan pamong praja, polisi dan buldoser. Tentara ada tapi baik. Tentara akrab. Tentara humanis. Kemudian, saya tunjukkan video rakyat Sigapiton menyanyikan lagu rohani dan menangis melawan. Kami berdua menonton video itu. Mereka bertenaga dengan lagu-lagu rohani itu.
Hati saya gelisah mendengar bahwa orang luar tidak boleh ikut. Saya tanya sahabatku wartawan. Kamu tau ngak pilar demokrasi?. Wartawan menjawab,”media”. Yang lain?. Media saja kutau, katanya sambil tertawa. Partai politik, civil society?. Wartawan saja yang kutau, katanya lagi dengan senyum-senyum.
Karena saya gelisah, saya mencari kakak Suryati Simanjuntak. Kak, kok Kapolres dan Bupati Tobasa bilang orang luar?. Itulah, kami ke Kantor Staf Presiden (KSP), Ke Kantor Kementerian Lingkungan dan Kehutanan, kemana-mana kami dampingi rakyat Sigapiton tak ada yang mempermasalahkan?. Mengapa Kapolres dan Bupati mempersoalkan?, katanya.
Saya ingat ketika konflik lahan Pandumaan, Sipitu Huta beberapa tahun lalu, saya, Suhunan Situmorang @Hotasi Simamora dari Aliansi Peduli Tano Batak mendampingi mereka ke Fraksi Golkar, Frakai PKB, Fraksi PPP ketika itu tak ada yang larang. Ke DPD, ke KOMNAS HAM kami dampingi. Cukup banyak kegiatan saya untuk mendampingi. Para pejabat itu kagum kepada kami. Memang harus didampingi, katanya.
Mengapa Kapolres melarang pendampingan orang luar?. Apakah memang rakyat Sigapiton bisa ditunggangi orang luar?.
Selama saya bersama rakyat Sigapiton, saya diam. Mereka bertanya, saya jawab. Mereka tau saya belajar ilmu lingkungan di kampus. Rakyat Sigapiton orang beradab dan cerdas. Mereka tau siapa kawannya.
Dari pernyataan Kapolres Tobasa yang diaminkan Bupati Tobasa menandakan bahwa mereka tidak paham pilar demokrasi yaitu civil society. Pilar demokrasi loh. Demokratisasi berjalan baik jika semua pilar demokrasi berjalan dengan baik.
Mengapa rakyat Sigapiton menyatu dengan KSPPM?. Karena KSPPM paham denyut nadi rakyat Sigapiton. Apakah Bupati Tobasa, Kapolres, Ari Prasetyo paham denyut nadi rakyat Sigapiton?. Siapakah kita yang paham isi relung hati rakyat Sigapiton?.
Membaca situasi ini, saya melihat Bupati Tobasa, Kapolres, Ari Prasetyo selaku direktur BPODT tidak memahami persoalan dengan baik. Mereka hanya modal bahwa tanah ini deserahkan kehutanan BPODT. Itu saja.
Jadi, wajar tak bisa menemukan titik temu. (gurgur manurung)
#gurmanpunyacerita.