Indovoices.com-Direktur Utama PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk atau BTN Pahala Mansury buka suara soal rasio kredit macet (nonperforming loan/NPL) segmen komersial 18,7 persen pada 2019 lalu. Ia mengungkapkan lonjakan kredit bermasalah berasal dari apartemen.
“Menurunnya permintaan, khususnya apartemen dan bangunan high risk mengakibatkan penurunan kolektibilitas dari kredit yang disalurkan,” ujarnya saat rapat dengan Komisi XI di DPR.
Ia memaparkan total kredit segmen komersial sebesar Rp21,66 triliun pada 2019. Salah satu proyek yang bermasalah, yakni apartemen di kawasan Kalimalang dengan plafon kredit Rp650 miliar.
Segmen komersial memang bukan keahlian BTN. Maklum, segmen komersial didominasi produk Kredit Pemilikan Rumah (KPR) atau Kredit Pemilikan Apartemen (KPA) nonsubsidi. Bank pelat merah ini justru dikenal dengan produk-produk Kredit Pemilikan Rumah (KPR) subsidi.
Karenanya, rasio kredit macet dari KPR nonsubsidi jumlahnya jauh lebih rendah, yakni kurang dari satu persen dari total kredit yang disalurkan perseroan sebesar Rp111,13 triliun. Sementara, rasio kredit macet KPR nonsubsidi sebesar 3,7 persen dari jumlah kredit yang disalurkan sebesar Rp80,64 triliun.
Ditambah, implementasi akutansi PSAK71, BTN harus menaikkan jumlah pencadangan yang dibentuknya pada 2019 dan berlanjut hingga 2020. Sebagai gambaran, pada 2018, pencadangan perseroan hanya Rp3,3 triliun. Pada 2019 lalu, pencadangan naik menjadi Rp6,1 triliun.
Jangan heran, laba perseroan pun tertekan pada 2019 lalu menjadi hanya Rp209 miliar atau rontok 92 persen dibandingkan tahun sebelumnya, yaitu Rp2,81 triliun. Penurunan laba bersih dikarenakan peningkatan pencadangan, termasuk upaya bersih-bersih kredit macet.
Selain itu, sambung Pahala, likuiditas ketat menghantui bisnis BTN. Hal itu tercermin dari meningkatnya Loan to Deposit Ratio (LDR) dari 103,2 persen pada 2018 menjadi 113,5 persen pada 2019.(cnn)