Indovoices.com-Dalam mendidik anak, ada debat yang tak berujung. Debat itu adalah ketika anak disebut bandal, siapa yang salah?. Siapa yang paling bertanggung jawab?. Guru acapkali menyalahkan orang tua. Orang tua, acapkali menyalahkan sekolah. Akibat debat yang tidak berkesudahan itu muncullah pendidikan alternatif yang disebut home schooling
Di Jakarta, istri saya terlibat di Yayasan Kampus Diakonia bersama-sama sahabat sahabatnya Beny Lumy, Dian Novita Elfrida dan tim yang luar biasa. Yayasan ini merawat anak-anak terlantar. Yayasan yang didirikan Pendeta Lumy itu menghasilkan sarjana yang hebat. Pernah masuk semifinal juara sepakbola anak jalanan se dunia di Rusia. Kampus Diakonia terbukti mampu memanusiakan anak-anak tanpa peran orang tua. Pertengahan tahun ini, Beny Lumy dengan Sahabat Anak dan pendiri ALUSI TaoToba Togu Simorangkir akan mengadakan Jambore Nasional anak anak marjinal (Jambar) di Sipinsur.
Di sebuah Sekolah Dasar (SD) di Bogor, ada murid disebut gurunya sebagai anak yang nakal. Anak itu suka melawan guru. Orang tua anak itu bijak. Anak itu dibawa ke psikologi UI. Psikolog itu menyarankan orang tua siswa ke Prof. Yohanes Surya, Ph.D. Prof. Yohanes Surya mendidiknya dengan serius. Anak itu menjadi mahasiswa termuda di Kanada tahun 2017. Mahasiswa di usia 12 tahun.
Tahun lalu, Prof. Yohanes Surya meminta saya mencari anak-anak yang dianggap paling bodoh di kawasan Danau Toba. Pemkab Humbang Hasundutan mengirim 20 anak yang dianggap paling bodoh dilatih sebulan di Tangerang. Hasilnya, beberapa orang layak menjadi peserta Olimpiade Sains. Mengagumkan. Anak-anak itu pengenaa belajar aterus dengan tim Surya.
Akhir tahun lalu juga, anak-anak Dairi sangat antusias dan pengen belajar terus ketika mereka menemukan metode mengajar yang pas menurut mereka.
Mengapa anak malas belajar?. Mengapa anak melarikan diri dari sekolah?. Kegiatan apa yang disekolah sehingga mereka meninggalkan sekolah?. Andaikan kegiatan belajar mengajar asyik, apakah anak-anak bolos atau lari dari sekolah?. Andaikan guru sangat asyik, pelajaran asyik, apakah siswa lari dari sekolah?.
Bagaimana menjadi guru yang asyik?. Bagaimana membuat pelajaran asyik?. Bagaimana membuat suasana sekolah asyik?. Bagaimana membuat siswa berprestasi?. Jawaban pertanyaan inilah yang selalu kami lakukan di kawasan Danau Toba bersama Marianna Magdalena Radjawane Wardono, Ant Scolastika Mariani, Tri Widiarto Soemardjan dan sangat banyak para ahli pendidikan di negeri ini. Di Tobasa beberapa guru terus menerus mencari jawaban seperti Roselly Simanjuntak dari sekolah Bonapasogit.
Roselly Simanjuntak secara kontiniu melatih guru-gurunya untuk menghasilkan siswa berprestasi. Kita sepakat, sekolah yang asyik menghasilkan siswa yang kritis, cerdas dan menyenangkan.
Saya terkejut membaca medsos yang menceritakan Satpol PP menghukum siswa yang bolos di Balige. Saya trauma dengan metode ini. Tahun 2008 tiga siswa di Balige jatuh ke lembah sungai dan meninggal karena dikejar-kejar Satpol Pamong Praja. Tidak lama kemudian, Satpol PP yang terlibat itu cerita ke saya, dia trauma. Tidak menyangka tragedi itu. Trauma seumur hidup aku bang, kata Satpol PP itu. Semua kita trauma dengan metode itu. Kok, diulang?.
Di Tobasa ada SMA Yasop, ada SMA Del dan sekolah-sekolah bagus. Mengapa kita tidak belajar ke sekolah yang bagus?. Mengapa mereka bagus?. Apa metodenya?.
Saya sepakat bahwa tidak ada anak yang bodoh. Tidak ada anak yang bandal. Tugas kita adalah mencari metode yang pas untuk mendidik. Faktanya, anak tanpa sentuhan orang tua banyak yang hebat. Siswa home schooling sangat sukses. Apakah kita serius dengan cara yang tepat?.
Bagaimana cara yang tepat?. Cara itu dinamis. Cara del beda dengan cara Yasop. Cara memiliki kelemahan dan kelebihan. Pastinya, tolak kekerasan. Anak-anak kita butuh kehangatan dari kita. Kita bangun hubungan batin. Ketika kita bangun hubungan batin, cukup berbisik dia menurut. Hubungan batin terjalin jika kita rendah hati, ikhlas dan hati yang memberi.
#gurmanpunyacerita