Indovoices.com –Selama 12 tahun sejak 2006 hingga 2017, Pemerintah telah menggelontorkan dana Rp 11,27 triliun untuk penanggulangan bencana lumpur Lapindo, Sidoarjo, Jawa Timur.
Direktur Jenderal Sumber Daya Air (SDA) Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Jarot Widyoko mengungkapkan hal itu dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komisi V DPR RI, Rabu (09/06/2021).
Jarot menjelaskan, total belasan triliunan rupiah tersebut diambil dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Dia merinci, tahun 2006 dana APBN yang disalurkan senilai Rp 5,3 miliar. Setahun kemudian dana yang dikucurkan Rp 500 miliar.
Berturut-turut tahun 2008 sebesar Rp 1,1 triliun, tahun 2009 sebesar Rp 1,12 triliun, tahun 2010 senilai Rp 1,21 triliun, tahun 2011 sejumlah Rp 1,28 triliun.
Selanjutnya tahun 2012 senilai Rp 1,53 triliun, tahun 2013 sebesar Rp 2,05 triliun, tahun 2014 sejumlah Rp Rp 735 miliar, tahun 2015 sebesar Rp 843 miliar, dan tahun 2016 senilai Rp 458 miliar. “Terakhir tahun 2017 sebesar Rp 448 miliar,” imbuh Jarot.
Namun, jumlah tersebut masih belum dapat menuntaskan penanganan ganti rugi. Hal ini karena masih ada warga dan pengusaha yang belum mendapatkan ganti rugi.
Menurut Jarot, Pemerintah masih membutuhkan dana senilai Rp 1,5 triliun lagi untuk benar-benar dapat menyelesaikan bencana Lumpur Lapindo.
Jarot menerangkan, kebutuhan anggaran tersebut adalah untuk penyelesaian masalah sosial di dalam maupun di luar Peta Area Terdampak (PAT).
“Hingga saat ini di dalam PAT terdapat sebanyak 288 berkas milik warga senilai Rp 54 miliar dan 30 berkas pengusaha senilai Rp 701 miliar,” kata Jarot.
Sementara di luar PAT terdapat 753 bidang milik warga serta fasilitas umum, fasilitas sosial, TKD dan wakaf senilai Rp 805,82 miliar. Jadi rinciannya lengkapnya sebesar Rp 755 miliar untuk yang di dalam PAT dan 805,82 miliar untuk yang di luar PAT.
Jarot menuturkan, sesuai Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 83/PUU-IX/21013 bahwa negara dengan kekuasaan yang ada padanya harus dapat menjamin dan memastikan pelunasan ganti kerugian sebagaimana mestinya terhadap masyarakat di dalam wilayah PAT oleh perusahaan yang bertanggung jawab untuk itu.
Dia menyebut hingga saat ini upaya yang telah dilakukan adalah menyusun Peraturan Menteri (Permen) terkait mekanisme jual beli tanah dan bangunan di luar PAT.
“Selain itu kami juga telah melakukan penyusunan Peraturan Presiden untuk penuntasan permasalahan di dalam PAT,” cetus dia.
Untuk diketahui, bencana Lumpur Lapindo di Sidoarjo Jawa Timur terjadi sejak 15 tahun lalu yaitu pada 29 Mei 2006. Bencana tersebut bermula dari kebocoran sumur pengeboran gas milik PT Lapindo Brantas dan pertama kali terjadi di Desa Renokenongo Kecamatan Porong Sidoarjo Jawa Timur.
Pada Maret 2014 lalu, Mahkamah Konstitusi mengabulkan gugatan korban Lumpur Lapindo atas Pasal 9 ayat 1 huruf a UU Nomor 15 Tahun 2013 tentang APBN yang mengatur pemberian ganti rugi terhadap korban semburan Lumpur Lapindo.
Ketentuan Pasal 9 UU APBN 2013 tersebut, dipandang MK telah menimbulkan ketidakadilan bagi korban Lumpur Lapindo yang berada di dalam PAT.
Sebab, pasal itu mengamanatkan dana APBN yang dialokasikan negara di Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) hanya bisa digunakan untuk membayar ganti rugi masyarakat yang berada di luar PAT semburan saja.
Namun, korban yang berada di dalam PAT, pembayaran ganti ruginya dibebankan kepada PT Lapindo Brantas. Pada 2014 lalu, atau dua bulan setelah dilantik sebagai presiden periode pertama, Joko Widodo telah memutuskan bahwa pemerintah akan membantu masyarakat korban semburan Lumpur Lapindo di dalam PAT untuk mendapatkan ganti rugi.
Skema ganti rugi ini menggunakan dana talangan yang diambil dari APBN. Sementara sejak tahun 2006, pemerintah menganggarkan dana yang cukup besar untuk ganti rugi korban lumpur Sidoarjo.
Dana tersebut dituangkan dalam APBN pada pos anggaran untuk Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo.