Setya Novanto terbebas dari status “tersangka” paska keputusan pra-peradilan yang dipimpin oleh hakim tunggal, Cepi Iskandar. Banyak hal-hal yang aneh yang menjadi alasan dikabulkannya gugatan praperadilan dalam kasus penetapan tersangka dugaan korupsi pengadaan e-KTP, Jumat (29/9/2017).
Cepi Iskandar menilai sprindik Novanto sebagai tersangka yang dikeluarkan KPK tidak sah. Ia menilai, KPK tidak menunjukkan proses penyelidikan terhadap Novanto. Selain itu, bukti yang diajukan bukan berasal dari tahap penyelidikan dan penyidikan sendiri untuk perkara Novanto, tetapi dalam perkara lain. Hakim menilai, hal itu tidak sesuai dengan prosedur penetapan tersangka dalam perundang-undangan maupun SOP KPK.
Akibat penetapan yang tidak sah, majelis hakim memutuskan bahwa surat perintah dimulainya penyidikan (SPDP) terhadap Novanto dianggap tidak berlaku. Pengadilan memerintahkan KPK agar penyidikan terhadap Novanto dihentikan.
Itu versi Cepi Iskandar yang kemudian menjadi satu putusan yang kontroversial.
Bayangkan saja, Komisi Pemberantasan Korupsi telah menggunakan sekitar 200 alat bukti untuk menjerat Setya Novanto sebagai tersangka pada kasus korupsi e-KTP. Masa sih, dari 200 alat bukti tidak ada dua pun yang bisa diterima oleh Hakim Cepi? Apalagi semua orang tahu, sang hakim tidak mau menverifikasi bukti yang diajukkan oleh KPK.
Namun kemudian Hakim Cepi Iskandar dilaporkan Koalisi Masyarakat Anti Korupsi Indonesia ke Mahkamah Agung (MA), Jalan Medan Merdeka Utara, Kamis (5/10) kemarin. Koalisi Masyarakat Anti Korupsi menyerahkan berkas laporan atas dugaan penyimpangan diduga dilakukan hakim Cepi Iskandar saat memutuskan gugatan Setnov, pada Jumat (29/9) lalu.
Perwakilan Koalisi Masyarakat Anti Korupsi, Kurnia Ramadhana mengatakan, dugaan penyimpangan antara lain, hakim memeriksa materi praperadilan yang bertentangan dengan KUHAP. Itu dikarenakan sejak awal objek yang dijadikan gugatan sudah melanggar Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), yaitu penetapan tersangka. Kemudian, hakim Cepi mengabaikan putusan Mahkamah Konstitusi yang berkaitan dengan penyelidik dan penyidik KPK. Eksepsi yang diajukan oleh KPK seharusnya diterima oleh hakim Cepi Iskandar. Sebab, alasan yang diajukan oleh kuasa hukum Setnov untuk melakukan upaya hukum praperadilan adalah tentang penyelidik dan penyidik KPK. Pembahasan ini sudah tidak relevan untuk dibahas lebih lanjut dalam forum persidangan.
Disisi lain Mahfud MD mengungkapkan pandangannya dengan menggunakan dasar keputusan Mahkamah Konstitusional tentang penggunaan alat bukti yang telah dipakai pada perkara sebelumnya untuk menjerat tersangka yang memenangkan praperadilan, yang tertuang pada putusan nomor perkara 42/PUU-XV/2017.
Dalam pertimbangannya, MK menyatakan, penyidik aparat penegak hukum bisa menggunakan alat bukti yang telah dipakai pada perkara sebelumnya untuk menjerat tersangka yang memenangkan praperadilan.
Namun, bukti tersebut harus disempurnakan.
“Jadi MK itu benar, memang harus begitu logikanya. Saya kira itu bukan hanya logika MK, itu logika ilmu hukum biasa. Kalau hakimnya benar pasti mengatakan begitu,” kata Mahfud saat dihubungi, Rabu (11/10/2017).
Dalam putusannya, Cepi menilai, alat bukti yang sudah digunakan dalam perkara sebelumnya tidak bisa digunakan untuk menangani perkara selanjutnya sebagaimana diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2016 (Perma).
Menurut Mahfud, logika yang digunakan Cepi tidak tepat.
“Tidak masuk akal kalau alat bukti pada perkara sebelumnya tidak bisa digunakan untuk orang lain. Itu kan tidak masuk akal kalau pidananya kolektif bagaimana?” kata Mahfud.”Justru alat bukti sebelumnya yang sudah sah di pengadilan itu menjadi alat bukti bagi penyerta berikutnya. Kalau kolektif korupsinya 10 orang gitu satu sudah divonis dengan alat bukti A, maka alat bukti A terus berlaku bagi yang lain,” tambah Mahfud.
Mahfud berpendapat, Perma memang menyebutkan bahwa alat bukti yang sudah dipakai tidak bisa digunakan kembali.
Namun, menurut Mahfud, bukan berarti alat bukti tersebut tidak bisa dipakai lagi untuk menjerat tersangka lain yang masih berkaitan dengan kasusnya.
Menurut Mahfud, aparat penegak hukum masih bisa menggunakan cara lainnya, yakni dengan membuat berita acara yang berbeda.
“Alat buktinya sama, tapi berita acaranya beda. Mungkin itu akan bisa dipahami kalau gitu,” kata dia.
Dengan adanya putusan MK, Mahfud menilai, upaya KPK kembali menetapkan Novanto sebagai tersangka tidak menyalahi aturan.
“Menjadikan Setya tersangka lagi, ada atau enggak ada putusan MK itu memang menurut saya bisa (dilakukan). Apalagi sekarang ada putusan MK, itu akan makin kuat,” kata dia.
Waaah! Papa Setnov akan jadi tersangka lagi! Masuk Rumah Sakit lagi tidak yaaa….?
Ini yang bicara pakar hukum Indonesia, mantan ketua Mahkamah Konstitusi. Saya saja yang rakyat biasa yang tidak pernah belajar hukum, hanya dengan modal membaca dan logika, bisa menilai bahwa satu alat bukti bisa saja mengaitkan banyak orang. Bagaimana bisa hakim Cepi Iskandar meminta alat bukti baru? Namanya juga kejahatan massal, kasus E-KTP melibatkan begitu banyak orang, tidak akan mungkin setiap orang harus memiliki alat bukti yang berbeda.
Kalau prinsip atas alat bukti seperti yang Hakim Cepi Iskandar ungkapkan, niscaya kasus E-KTP tidak akan pernah kelar karena KPK harus selalu mencari bukti baru. Dan kalau tidak tertemu, mana si penjahat bisa menlenggang dengan tenang. Apa itu yang rakyat mau? Tentu tidak kan?
Ref. Kompas.com, detik.com, merdeka.com