Indovoices.com- Pemadaman kebakaran hutan dan lahan (karhutla) yang terjadi di berbagai wilayah tetap memerlukan siklus alami. Menurut guru besar Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada (UGM), Prof Azwar Maas, yang bisa menghentikan karhutla skala besar hanyalah hujan.
“Usaha kita sudah cukup, semua pihak sudah berusaha dan penegakan hukum pun sudah dilakukan. Permasalahan utamanya adalah menyadarkan masyarakat atau pihak mana pun agar jangan membakar hutan. Itulah yang penting,” ujar pakar tanah gambut itu.
Hal itu ditegaskan Azwar dalam acara diskusi media FMB 9 bertopik Penanganan Bencana yang diselenggarakan di Ruang Serba Guna BNPB pada hari Rabu (2/10/2019). Acara ini juga menampilkan 11 narasumber dari berbagai Kementeran dan Lembaga (K/L) yang terlibat dalam penaganan bencana karhutla seperti KLHK, Kemenkes, BNPB, BMKG, BPPT, BRG hingga pakar lahan gambut dari UGM seperti Prof. Azwar Maas ini.
“Jika api masih terbilang kecil, paparnya, maka masih ada kemungkinan untuk memadamkannya dengan peralatan. Akan tetapi jika sudah membesar seperti yang terjadi baru-baru ini maka akan sangat sulit,” tukasnya.
Menurutnya, upaya pemerintah dan pihak yang memiliki kewenangan untuk pemadaman, selain mengandalkan hujan alami harus memakai teknologi modifikasi cuaca (TMC) untuk hujan buatan. “Soal hujan buatan bukan hanya pemicu berupa garam saja, tapi juga perlu adanya awan yang menjadi sumber air,” jelasnya.
Usaha pencegahan pembakaran, ujarnya, harus menjadi penekanan semua pihak setelah kabut asap mulai menghilang dan karhutla mulai padam setelah hujan mulai turun di daerah-daerah terdampak di enam provinsi, Riau, Sumatera Selatan, Jambi, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Tengah.
“Orang membakar itu karena ada lintasannya, ada keinginannya, dan mencari jalan cepat karena membuka lahan tanpa membakar itu lambat dan mahal. Sering orang mengatakan abu itu untuk menutrisi,” ungkap Ketua Kelompok Ahli Badan Restorasi Gambut (KABRG) tersebut.
Azwar menambahkan bahwa gambut itu mempunyai kubah yang mempunyai simpanan air yang sangat besar. Ia menyebutkan, di kaki kubah itu ada 2 (dua) sungai, Namun sekarang ini, jarak vertikal kubah hanya beberapa meter dan tidak sampai 20 meter.
Tetapi jarak horizontalnya ke sungai itu sampai lebih dari 40 km. Artinya, kalau ke lapangan semuanya datar tetapi konsep air bergerak dari tempat yang tinggi ke tempat yang lebih rendah. Artinya, sekarang banyak kubah yang sudah dimanfaatkan, jelas Azwar.
“Kalau ingin tidak kebakaran lagi, maka harus punya cadangan air, dan cadangan air ada di kubah. Artinya, areal kubah harus dikembalikan fungsinya secara alami, dikembalikan fungsi penyimpanan airnya. Sebagai ilustrasi, kalau misalnya ada 3 meter kubah kita konservasi maka kita sudah menyimpan air setara 1 tahun hujan, sekitar 2.700 mm” paparnya lagi.
Masalahnya, lanjut Azwar, kalau tidak ada hujan kubah sudah dicacah maka semua menjadi kering, apalagi jika musim angin El Nino yang menyebabkan kekeringan. Itulah penyebab kebakaran, karena kubah tidak dikonservasi.
“Kembalikan fungsi kubahnya. Setelah kubah diselamatkan, di bawah kubah jangan ada saluran yang langsung terhubung ke sungai, maka airnya akan ngocorsaja. Saluran yang dibuat itu miring sehingga airnya akan memutar di tempat itu,” ujarnya menjelaskan upaya yang dinamakannya sebagai sharing water.
Selain menunggu musim hujan tiba dan upaya sharing watertadi, pemadaman karhutla harus ada pendekatan kolaborasi dari para pemangku kepentingan (stakeholders).”Mulai dari pemerintah pusat, pemda, kementerian dan lembaga, apparat (TNI-Polri), perusahaan penerima konsesi hutan (nasional maupun asing), LSM, akademisi, dan masyarakat adat,” pungkas Azwar. (jpp)