Jagat Media Sosial
Pasca aksi demo yang berujung tindakan anarkis di beberapa tempat di Jakarta beberapa waktu lalu. Jagat media sosial kembali heboh. Muncul sebuah video yang dengan cepat viral. Ya, video penculikan seorang jurnalis independen bernama Ninoy Karundeng. Dalam video tersebut terlihat dirinya sedang diinterogasi dengan muka lebam kena “bogem mentah” bertubi-tubi dari banyak orang. Tidak hanya itu saja. Lebih seremnya lagi, di video tersebut terdengar seseorang yang dengan “enteng” mengancam akan “membunuh” Ninoy. Duh, gak kebayang apa yang berkecamuk dalam pikiran seorang Ninoy di tengah-tengah kepungan sekelompok orang yang mengaku agamis tapi kelakuan barbar.
Puji syukur, TUHAN teramat baik (GOD is GOOD, GOD is LOVE, & GOD is a MIRACLE). Berkat campur tangan kasihNYA yang tiada terkira. Ninoy selamat dari penculikan tersebut. Bahkan bisa kembali pulang ke rumah bertemu dengan keluarga tercinta. Walau (patut menduga) diikuti dengan ancaman dari para penculik: “Kalau mau anak, istri, dan diri sendiri selamat, jangan sekali-kali melapor ke polisi atau siapapun juga. Awas ya!”
Terkait dengan kasus ini. Sisi positif media sosial berperan signifikan. Berkat video Ninoy viral. Aparat kepolisian bergerak cepat. Hanya dalam tempo sesingkat-singkatnya. Tertangkaplah beberapa orang yang “diduga” terlibat penculikan Ninoy. “Ruarrrbiasanya” lagi, para penculik Ninoy tidak hanya didominasi oleh kaum pria saja. Ternyata ada 3 wanita paruh baya yang ikutan tertangkap dan bahkan sudah menjadi tersangka.
Jagat Perfilman
Mirip dengan kasus penculikan Ninoy yang viral. Demikian pula dengan film “Joker.” Bedanya, kalau kasus penculikan Ninoy hanya skala nasional. Viral film “Joker” mendunia di mana Indonesia termasuk di dalamnya. Wajar kalau hanya dalam hitungan 1 minggu saja, film ini sukses besar menggaet US$ dalam jumlah yang luar biasa. Tidak hanya soal uang saja. Jagat perfilman pun terhentak keras dengan film “Joker” ini. Pro-kontra bermunculan sehingga menimbulkan berbagai polemik. Di Indonesia, Lembaga Sensor Film (LSF) sampai memberi stempel rating 17+ alias film dewasa. Sebab film ini jauh dari sebuah film lawakan walau berjudul “Joker” = Pelawak. Justru sebaliknya. Film ini menggambarkan sisi kelam kehidupan manusia. Utamanya dari orang-orang yang terabaikan.
Ringkasnya. Film ini bercerita tentang seseorang (Arthur Fleck a.k.a “Joker”) yang bertumbuh dan berkembang di lingkungan yang serba “negatif.” Ayahnya abu-abu. Ibunya suram karena menghabiskan waktu kesehariannya hanya di rumah. Keekonomian jauh dari wajar alias “kismin.” Tempat di mana ia bekerja penuh kecurangan sehingga akhirnya dirinya dipecat. Di lingkungan umum, kalau tidak dibully, justru kena “bogem mentah” oleh orang-orang yang tidak punya nurani. Dan seterusnya dan seterusnya.
Catatan:
-
Pemeran Arthur Fleck a.k.a “Joker” dalam film ini adalah Joaquin Phoenix. Dengan akting yang sangat “ciamik,” patut memprediksi dirinya bakal meraih Piala Oscar tahun 2020.
-
Monggo klik tautan berikut https://www.law-justice.co/artikel/73367/ini-4-alasan-anak-anak-dilarang-nonton-film-joker/ sebagai bahan komparasi.
Jadilah film “Joker” bukan sebagai film lawak a.k.a komedi —walau dalam film, sang “Joker” mengatakan bahwa hidup adalah sebuah komedi. Melainkan film tentang seseorang yang hidup di keluarga dan lingkungan yang serba negatif sehingga kejiwaannya mengalami gangguan akut. Lalu menjadi seorang penjahat!
Jagat Pak DKI-1
Komparasi reflektif antara Pak DKI-1 dengan “Joker.” Bak “bumi” dengan “langit.” Atau bak bunga “bangke” dengan “mawar”. Arthur Fleck a.k.a “Joker” bumi atau bunga “bangke” nya. Pak DKI-1 langit atau bunga mawarnya. Soalnya, patut menduga bahwasanya Pak DKI-1 tidak lahir lalu bertumbuh di lingkungan kumuh seperti “Joker.” Apalagi kemudian berakhir dengan gangguan mental seperti “Joker.”
Lebih tepat membayangkan Pak DKI-1 dengan Thomas Wayne. Tokoh sukses di dunia perpolitikan di kota Gotham di film “Joker.” Tidak hanya punya posisi penting di mata masyarakat tetapi juga bergelimang harta. Sama seperti Thomas Wayne, secara ekonomi, Pak DKI-1 hidup berkecukupan —apalagi dengan jabatan sekarang, dijamin yang namanya miskin lari tunggang langgang. Jabatan ada dan tinggi pulak. Harta berlimpah. Dan sejenisnya dan sejenisnya. Dengan demikian, Pak DKI-1 jelas normal, tidak mengalami gangguan kejiwaan seperti Arthur Fleck a.k.a “Joker.”
Nah, terkait dengan hal di atas. Sekarang kembali ke kasus penculikan Ninoy. Pak DKI-1 mendadak ajaib bin jemila. Tepatnya, saat seorang wartawan atau reporter bertanya tentang kasus tersebut. Dengan muka “sok” bingung lalu secara enteng menjawab: “Nanti saya cek dulu ya!” Pernyataan ini seakan-akan hendak berkata bahwa Pak DKI-1 belum dengar apalagi tahu tentang kasus tersebut.
Berbanding terbalik saat aksi demo di Jakarta. Memang sih, saat aksi demo terjadi, “bayangan” Pak DKI-1 sekalipun, gak keliatan. Eh, begitu ada jatuh korban dari pihak pendemo dan masuk rumah sakit. Pak DKI-1 dengan cepat bisa tahu. Lebih dari itu, dengan sigap menjenguk ke rumah sakit. Lalu, bla bla bla, ble ble ble, blo blo blo, and so on and so on. Sedang soal kasus Ninoy yang jauh lebih viral. Memberi ucapan simpati saja tidak. Apalagi bezuk Ninoy. Sudah gitu, saat ditanya sama seorang wartawan malah seperti di atas yaitu keluarkan jurus “ngeles.” Gak percaya? Monggo klik tautan berikut:
Ajaib bin jemila, bukan? Masak sih mendadak Pak DKI-1 (patut menduga) jadi ikutan seperti “Joker?” Padahal berbagai variabel menunjukkan Pak DKI-1 mustahil menjadi seperti “Joker.” Atau jangan-jangan patut menduga lagi. Sangking kesengsemnya sama film “Joker,” Pak DKI-1 nonton berkali-kali. Lalu sadar atau gak sadar, mencoba mengadopsi gaya dan perilaku “Joker” —minus “ketawa” ala “Joker.” Tentunya disesuaikan dengan kebutuhan Pak DKI-1 berdasarkan situasi dan kondisi. Kalau untuk pencitraan keberpihakan sangat cepat tanggap. Sebaliknya, kalau berkaitan sama pihak yang tidak disukai seperti Ninoy, “cuek beibeh.”
Last But Not Least
Pak DKI-1, ingat. Integritas seorang pemimpin, apalagi negawaran, salah satunya adalah bicara JUJUR. Bukan BOHONG! Patut menduga ketika menjawab pertanyaan wartawan bahwa belum dengar tentang kasus penculikan Ninoy. Itu adalah BOHONG, Pak DKI-1.
Pak DKI-1, ingat pula hal ini. Kalau Pak DKI-1 mau sok-sok an bergaya seperti Arthur Fleck a.k.a “Joker” di film “Joker.” Lata belakang Pak DKI-1 bukan seperti “Joker.” Melainkan lebih seperti Thomas Wayne. Hadir dan bertumbuh di keluarga dan lingkungan yang normal. Bahkan secara ekonomi berkecukupan atau malah lebih dari berkecukupan. Kalau demikian, kenapa sadar atau tidak, Pak DKI-1 mengadopsi perilaku “Joker?” Apakah Pak DKI-1 secara sadar atau tidak sadar juga, mau menjerumuskan sebagian warga DKI Jakarta dan masyarakat Indonesia lainnya yang hadir dan bertumbuh mirip dengan Arthur Fleck lalu menjadi Joker-Joker Indonesia, khususnya DKI Jakarta? Tahukah akibatnya untuk NKRI tercinta ini, Pak DKI-1? Tidak perlu dijelaskan lah ya, Pak DKI-1.
Cukup hentikan bergaya dan berlagak seperti “Joker,” Pak DKI-1. Sebab kalau ke depan tetap saja mau bergaya seperti “Joker.” Sungguh, anda selaku DKI-1 tidak pantas disebut sebagai seorang pemimpin yang amanah. Apalagi seorang negarawan! Camkan itu. Kalau masih saja “ngeyel,” ingat juga bahwasanya “segala sesuatu ada waktuNYA.” Artinya, di masa mendatang, generasi berikut akan membaca sebuah catatan sejarah. Pada suatu waktu di DKI Jakarta pernah ada Pak DKI-1 yang ternyata adalah seorang “Joker” seperti di film “Joker.”
GOD Bless NKRI Tercinta!