Indovoices.com-Pandemi COVID-19 atau virus corona membuat industri transportasi babak belur. Tak terkecuali maskapai penerbangan hingga angkutan darat yang merasakan dampaknya. Bisnisnya tak jalan karena operasional dibatasi. Berikut rangkumannya:
Penumpang Anjlok Akibat Corona, Maskapai Nasional Rugi Rp 2,2 T dalam 3 Bulan
Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Penerbangan Nasional Indonesia atau Indonesia National Air Carriers Association (INACA) Denon Prawiraatmadja mengatakan, dalam tiga bulan terakhir maskapai nasional merugi hingga Rp 2,2 triliun. Kerugian ini berasal dari penerbangan domestik dan internasional.
“Total kerugian didapat USD 812 juta dalam 3 bulan untuk market domestik Rp 1,2 triliun dan USD 749 juta atau Rp 1,2 triliun untuk internasional,” kata dia dalam diskusi online MarkPlus Industry Roundtable Tourism and Hospitality Perspective.
Denon mengatakan, sebenarnya sejak awal tahun saat virus corona mulai merebak di luar negeri, jumlah penurunan penumpang sudah mulai terasa. Kata dia, penurunan penerbangan internasional selama empat bulan di empat bandara besar Indonesia, turun sekitar 45 persen.
Sedangkan di pasar domestik di empat bandara besar seperti Bali, Jakarta, Medan, dan Surabaya turun 44 persen hingga bulan ini. Jika dibandingkan Februari 2018 (month to month), penurunan penumpang ini menyebabkan pendapatan tergerus 9 persen, lalu Maret turun lagi 18 persen, hingga bulan ini hilang 30 persen.
Kejadian corona ini, diakuinya membuat beberapa maskapai harus dihadapkan pada kondisi keuangan yang sulit, yang sebelumnya maskapai tak pernah mengalami hal ini. Salah satunya adalah parkir pesawat.
Disetopnya penerbangan membuat maskapai harus merogoh kocek dalam-dalam untuk menanggung beban biaya parkir pesawat mereka di bandara-bandara. Kondisi ini berpengaruh pada jumlah karyawan yang dipekerjakan.
“Dampak-dampak (lain) yang mungkin dirasakan oleh karyawan maskapai yang jumlahnya puluhan ribu, pesawat ini enggak beroperasi, kru dirumahkan walau enggak sampai PHK, tapi sebagian besar sudah dirumahkan,” ujarnya.
Untuk bertahan di situasi yang sulit ini, kata Denon, sangat tergantung pada kebijakan pemerintah untuk segera menyelesaikan wabah virus ini. Perusahaan juga meminta agar ada insentif dari pemerintah.
“Kami berharap Menko Maritim dan Investasi (Luhut Binsar Panjaitan) bagaimana caranya mengantisipasi dan merestrukturisasi biaya-biaya yang ditanggung tanpa revenue. April menurun sudah 25 persen menurun, sebagian besar kegiatan kargo dan repatriasi. Kami harap penanganan COVID-19 bisa diatasi agar aktivitas maskapai yang mendukung kegiatan wisatawan bisa seperti tahun-tahun sebelumnya,” terang dia.
Angkutan Darat Babak Belur karena Corona dan Larangan Mudik, Rugi Capai Rp 12 T
Sekjen DPP Organisasi Angkutan Darat (Organda) Ateng Haryono mengaku pihaknya memang mengalami kesulitan khususnya secara perekonomian dengan kondisi yang saat ini terjadi.
“Ya belum lagi pelambatan ekonomi, kita babak belur, di angkutan itu luar biasa babak belur tapi apa pun keputusannya kita hargai. Kita lihat dalam beberapa sampai akhir Mei larangan (mudik) itu ya sudah kita ikuti,” kata Ateng saat dihubungi.
Ateng mengungkapkan, angkutan penumpang sebenarnya memang sudah sepi sebelum adanya larangan mudik. Banyak sopir yang tidak bisa mengemudikan kendaraannya karena memang tidak ada penumpang.
Dia membeberkan dalam akibat virus corona dan kebijakan larangan mudik tersebut, total kerugian yang dialami moda angkutan penumpang ditaksir mencapai Rp 12 triliun.
“Mau ngomong kerugian itu nggak enak dikira kita nyari sesuatu. Tapi apa kalau ditanya dari seluruh angkutan kalau berhitung kasar berdasarkan kehilangan potensial lost di masing-masing moda maka untuk angkutan penumpang ketika berhenti total itu kerugian kita sudah deket sekitar Rp 11 atau sampai Rp 12 triliun per bulan,” ungkap Ateng.
Ateng menjelaskan, angka Rp 12 triliun itu dari semua moda transportasi mulai dari AKAP, bus pariwisata, Taksi, AKDP, Angkot, Angses, sampai Bajaj. Saat ini, kata Ateng, yang masih bergerak adalah angkutan barang.
Ateng menuturkan, penurunan dari transportasi angkutan barang juga cukup besar, mencapai 50 persen. Hal itu tidak terlepas dari adanya pembatasan, pabrik mengurangi operasionalnya, sampai tutup beroperasi sementara waktu.
“Paling kita okupansinya angkutan barang kita itu 50 persen. Itung-itungan kita di angkutan barang itu kerugian sampai Rp 7,5 triliun kerugian dari turun 50 persen tadi per bulan,” ujar Ateng.(msn)