Indovoices.com –Pengamat Pertahanan dan Analis Laboratorium Indonesia 2045 (LAB45) Andi Widjajanto mengatakan, investor asing dapat menanam modal pada industri pertahanan sesuai rujukan Undang-Undang (UU) tentang cipta kerja (ciptaker).
Sebelumnya, kata dia, sektor ini dilarang atau tercantum dalam daftar negatif investasi (DNI).
“Sekarang, bisa saja Perindustrian Tentara Nasional Indonesia (TNI) Angkatan Darat (Pindad) dapat investment joint venture (JV) dengan Jerman,” ujar Andi, dalam keterangan tertulis yang diterima Kompas.com, Selasa (8/6/2021).
Ia mencontohkan, seperti yang dilakukan Rheinmetall ke Turki. PT Dirgantara Indonesia juga dapat kerja sama dengan produsen pesawat, Lockheed Martin.
“Apabila TNI AD ingin membeli black hawke, maka JV dapat membuat fasilitas perawatan black hawke,” kata Andi, dalam podcast politik dari Nagara Institute di kanal YouTube Akbar Faizal Uncensored, Minggu (6/6/2021).
Meski demikian, ia menjelaskan, bahwa PT Teknologi Militer Indonesia (TMI) maupun swasta lainnya belum bisa secara resmi bermain pada industri pertahanan.
Hal tersebut, sebut Andi, tidak dapat dilakukan sekalipun sudah mendapat “lampu hijau” dari UU Ciptaker. Sebab, aturan turunan dari beleid sapu jagat (omnibus law) belum diterbitkan hingga kini.
“Belum bisa bergerak karena menunggu kelengkapan UU Ciptaker beserta turunannya. Seharusnya aturan turunan ini diterbitkan pada April 2021,” ucapnya.
Seiring diresmikannya UU Ciptaker, Andi menilai PT TMI dapat melihat adanya peluang perluasan bisnis di bidang industri pertahanan.
Menurutnya, berdirinya PT TMI dalam memeriahkan industri alat utama sistem persenjataan (alutsista) merupakan hal wajar.
“UU Ciptaker menyatakan, swasta boleh jadi lead integrator dalam memproduksi senjata. Sebelumnya, hanya delapan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang boleh melakukan kegiatan ini,” jelas Andi.
Ia menyatakan, swasta diperkenankan menjual dan memproduksi senjata atas izin Menteri Pertahanan (Menhan). Namun, wajib ada alih teknologi sesuai mandat UU Industri Pertahanan.
Pada kesempatan yang sama, Andi Widjajanto mengatakan, Menhan terlebih dulu akan mengatur anggaran BUMN dan Badan Usaha Milik Swasta (BUMS) dalam rencana pengadaan alutsista sekitar Rp 1.760 triliun.
“Sebab, mengambil keseluruhan (proyek senilai) Rp 1,7 kuadriliun dengan hitungan bisnis normal tidak akan bisa. Mustahil bisa dilakukan cara cepat untuk kuasai Rp 1.7 kuadriliun di tangan satu entitas,” ujarnya.
Oleh karenanya, Andi meyakini, PT TMI tidak akan sanggup memonopoli pengadaan alutsista sekitar Rp 1.760 triliun.
Pasalnya, modal awal yang harus dimiliki terlalu besar dan sukar bagi perusahaan mana pun untuk memenuhinya.
“Kalau dibilang PT TMI akan ambil semua, saya yakin nilai Rp 1,7 kuadriliun itu susah untuk didapatkan. Sudah pasti tidak bisa,” ujar Andi.
Secara perhitungan sederhana, ia menjelaskan, equity (penyertaan modal) untuk Rp1,7 kuadriliun kira-kira dibutuhkan persentase 30 persen atau sekitar Rp 600 triliun.
Dari Rp 600 triliun tersebut, lanjut Andi, PT TMI harus menyediakan dana paling tidak sekitar Rp 200 triliun.
“Jumlah itu terlalu besar, tidak ada yang bisa melakukan itu di Indonesia. Bahkan BUMN sekalipun,” imbuhnya.