Sebentar lagi lebaran akan segera tiba, dan bisa dikatakan lebaran itu hampir identik dengan mudik, di mana merupakan momen berkumpulnya anggota keluarga untuk bersilahturahmi, berbagi cerita dan melepas kerinduan di kampung halamannya. Berbagai cara ditempuh orang agar dapat berkumpul dengan keluarganya dalam momen setahun sekali ini.
Mulai dari mudik melalui jalan darat, laut maupun udara. Mudik dengan moda transportasi darat dan laut dapat dikatakan jauh lebih murah dibandingkan dengan transportasi udara. Namun tentu berbeda bila kita berbicara dari sisi efisiensi waktu. Apalagi bila daerah yang ingin dituju cukup jauh dan waktu cuti yang terbatas, maka transportasi udara lah yang menjadi pilihan utama, walaupun harus membayar agak mahal.
Sayangnya dalam setengah tahun terakhir ini, harga tiket pesawat sudah bukan dalam kategori “agak” mahal lagi, tapi sudah “sangat” mahal. Sebagai ilustrasi adalah apa yang disampaikan oleh Direktur Yayasan Advokasi Rakyat Aceh (YARA) Safaruddin SH.
Safaruddin menjelaskan jika menggunakan perjalanan domestik, maka membutuhkan biaya Rp 4 juta lebih per orang untuk ke Malang dari Banda Aceh. Sedangkan untuk harga tiket jalur Banda Aceh – Kuala Lumpur – Surabaya dengan maskapai Air Asia harga tiketnya hanya Rp 950.000 per orang. Hal ini pernah disampaikannya kepada salah satu media, 11 Januari 2019 yang lalu.
Coba bayangkan, dengan jarak tempuh yang relatif tidak berbeda jauh, harga tiket yang harus dibayarkan empat kali lipat per orangnya.
Berbagai alasan pun dikemukakan sebagai pembenaran dari kenaikan harga tersebut. Mulai dari harga avtur yang dituding sebagai penyebab utama kenaikan harga tiket hingga biaya leasing pesawat, biaya maintenance, repair dan overhaul, biaya SDM, dan biaya asuransi.
Nah yang menjadi pertanyaan saya, apakah pesawat yang terbang dari Banda Aceh, transit ke Kuala Lumpur lalu ke Surabaya itu tidak menggunakan avtur? Apa pesawat-pesawat tersebut tidak ada biaya maintenance, repair dan overhaul, biaya SDM, dan biaya asuransi? Apa pesawat tersebut semuanya adalah pesawat milik maskapai sendiri sehingga yang menggunakan pesawat leasing hanya penerbangan domestik? Tentu tidak bukan?
Artinya alasan yang dikemukakan terkesan mengada-ada. Pemerintah sendiri kesannya tidak mampu berbuat apa-apa untuk menyelesaikan permasalahan tarif ini. Kesan itu terlihat dari janji-janji untuk menurunkan tiket yang selalu disampaikan oleh Menhub namun tidak mampu direalisasikan.
Tanggal 11 Januari 2019, Menhub Budi Karya Sumadi memanggil para petinggi maskapai penerbangan guna membahas harga tiket pesawat yang dirasa masyarakat terlalu tinggi. Ketika itu menhub pun menjanjikan akan menertibkan dan menyelesaikannya dalam waktu 1-2 hari.
Tanggal 15 Februari 2019, Menhub mengaku telah menghubungi pihak Garuda Indonesia untuk mengoreksi harga-harga tiket yang menurutnya masih mahal. Menhub berharap, dengan diturunkannya harga tiket dari maskapai Garuda Indonesia Group juga akan memengaruhi turunnya harga tiket maskapai lain.
29 Maret 2019, alih-alih menurunkan harga tiket pesawat, Kementerian Perhubungan (Kemenhub) malah mengeluarkan aturan baru tentang tarif batas tiket pesawat dalam Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 20 Tahun 2019. Dalam aturan itu, pemerintah bakal mengatur tata cara dan formulasi perhitungan tarif batas bawah (TBB) dalam tiket pesawat sebesar 35 persen dari tarif batas atas (TBA) sebesar 100 persen.
Padahal awalnya menhub berencana membuat kebijakan baru mengenai sub class ekonomi agar harga tiket pesawat lebih terjangkau. Namun, Menhub justru menerbitkan beleid mengenai kenaikan tarif batas bawah dari semula 30 persen dari tarif batas atas, menjadi 35 persen dari tarif batas atas.
3 Mei 2019, Menteri Perhubungan (Menhub) Budi Karya Sumadi berjanji bisa menurunkan harga tiket pesawat sebelum arus mudik Lebaran tahun 2019. Sebelum menurunkan, Budi Karya mengaku akan berkonsultasi dengan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) dan Ombudsman terlebih dahulu, agar mengetahui jika aksi merevisi aturan tarif batas atas melanggar UU yang berlaku atau tidak. Lho, jadi selama beberapa bulan ini ngapain aja Pak?
Tidak heran bila netizen ramai-ramai mempetisi Menhub Budi Karya Sumadi, meminta agar harga tiket pesawat diturunkan. Petisi yang telah ditandatangani 1,06 juta orang ini, telah dibuat sejak Januari dan hingga kini 8 Mei 2019 masih ditandatangani dan disebarkan di situs Change.org. Pembuat petisi Iskandar Zulkarnaen melihat harga tiket pesawat domestik yang terus berada di kisaran batas atas tarif.
Iskandar Zulkarnaen bukanlah satu-satunya pembuat petisi. Petisi senada juga dibuat pada awal tahun ini oleh Nadya Wulandari berjudul “Turunkan Harga Tiket Domestik” juga telah ditandatangani lebih dari 500 ribu orang.
Sedangkan, Paul Shady di situs yang sama, membuat petisi meminta penurunan harga tiket pesawat, khususnya dari Jawa menuju Papua dan sebaliknya dan sudah ditandatangani oleh 50.652 orang.
Berbagai petisi itu menunjukkan masyarakat sudah gerah akan ketidakbecusan Menhub untuk menurunkan harga tiket.
Juga bukan hanya di change.org saja, kegeraman netizen yang lebih jelas juga terlihat di Twitter, di mana hashtag #PecatBudiKarya sempat menjadi trending topik.
Apakah berlebihan bila saya sampai berpikiran menhub terkesan sangat berhati-hati takut menyinggung pihak-pihak tertentu? Apakah terlalu jauh bila saya berpikir, kenaikan tiket secara serempak oleh berbagai maskapai penerbangan domestik, terindikasi kuat adanya permainan kartel?
Atau mungkin Budi Karya takut menyinggung dirut Garuda, Ari Askhara yang belum lama ini diangkat oleh Rini Soemarno? Bila benar maka hal ini tentu saja sangat disayangkan, karena sebelum menjabat sebagai Menhub, Budi Karya Sumadi dikenal sebagai profesional bertangan dingin dalam memimpin perusahaan. Terutama ketika memimpin Badan usaha Milik Daerah (BUMD) di Ibukota, yakni PT Pembangunan Jaya Ancol dan PT Jakarta Propertindo (Jakpro).
Dengan naiknya harga tiket pesawat otomatis berimbas pada penurunan jumlah penumpang pesawat domestik. Badan Pusat Statistik (BPS) menyatakan jumlah penumpang angkutan udara pada Maret 2019, hanya sebesar 6,03 juta penumpang atau merosot 21,94 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu yang mencapai 7,73 juta penumpang.
Sektor pariwisata juga terkena efeknya, di mana Menteri Pariwisata Arief Yahya sempat mengeluhkan mahalnya harga tiket pesawat yang berdampak pada penurunan jumlah kunjungan wisatawan hingga 30 persen, sehingga berpotensi merusak ekosistem industri pariwisata.
Padahal Jokowi sendiri menaruh harapan yang besar dari sektor pariwisata yang dianggapnya berpeluang menjadi penyumbang devisa terbesar. Hal tersebut sudah sering disampaikan oleh beliau, salah satunya saat acara Gala Dinner Peringatan HUT ke-50 Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) di Puri Agung Convention Hall Jakarta, Senin malam 11 Februari 2019.
Namun sayangnya kenaikan harga tiket pesawat justru bertentangan dengan harapan Jokowi tersebut. Karena penurunan jumlah penumpang juga berimbas pada pertumbuhan ekonomi. Dampak tersebut sudah bisa terlihat dari tingkat hunian kamar hotel yang merosot sejak kenaikan harga tiket pesawat diberlakukan.
Mungkin sudah waktunya Jokowi turun tangan mengatasi masalah ini, toh pemilu juga telah selesai. Saatnya Jokowi melakukan perombakan besar-besaran, membersihkan kabinet dari orang-orang yang sarat kepentingan dan menempatkan orang-orang yang memiliki kemampuan, terutama keberanian dalam bertindak.
Sehingga Kabinet Indonesia Kerja Jilid II benar-benar terisi oleh para menteri yang memiliki visi dan misi yang sejalan dengan Jokowi. Para menteri yang giat beradu prestasi, bukan cuma bisa basa-basi.