Indovoices.com –.:: MEMBUMI (Menyatu Dengan Bumi)
Catatan dari ujung barat Miyazaki, 181216.
Beberapa minggu ini saya merasa ada yang beda. Entah kenapa, menyepi ini begitu melegakan dibanding menyepi seperti biasanya, menyepi rutinitas.
Sore tadi sambil menatap langit, melihat sudut indah cakrawala, tiba-tiba saya ingat dulu selalu ada waktu untuk membuat sketsa atau gambar perspektif, bahkan kadang menggambar design, kadang jalan-jalan ke sawah, berdiskusi dengan teman, ngobrol dengan pedagang, patungan membeli gorengan atau makan sambil ngobrol hingga tertawa.
Hingga akhirnya saya tersadar, saya kehilangan diri saya yang bebas berekspresi. Saya fokus pada satu titik hingga melupakan proses yang terlewati.
Dan rupanya hati ini rindu pada proses “humanisasi” yang menyadarkan bahwa masih ada kehidupan sosial yang harusnya berjalan dengan baik.
Maka kali ini, saya biarkan diri berekspresi seperti yang diinginkan, melepaskan formalitas untuk menjadi hakikat manusia yang mempunyai ruang privasi serta kehidupan sosial.
Tetaplah membumi,
Yamadipati Mayanetra.
_______
Membaca ulang catatan dari WA semalam, dan entah untuk yang ke berapa kali nya …
Sebuah refleksi atau perjalanan diri dari seseorang yang beberapa bulan terakhir ini amat sangat akrab dengan saya, yang mampu membuat saya terbangun di pagi buta, sampai tertawa terbahak2 karena ocehan nya …
Seseorang yang mengajari banyak hal kepada saya, sekaligus membuat saya eneg dan gak doyan makan sampai seharian gara2 kiriman foto2 nya yang bikin saya pengen nabok .. andai deket aja …
“Membumi” …
Menyatu dengan bumi …
Atau mendekatkan diri pada “bumi”,
Yang artinya (jika boleh saya persepsi kan sesuai dengan apa yang ada di pikiran saya), adalah sebuah sikap, tindakan, perilaku dan perbuatan seseorang, di mana pada akhirnya dia menyadari, bahwa tak ada yang lebih indah, kecuali kehidupan yang “sederhana” … kehidupan yang menjadikan dirinya berharga, bukan hanya untuk dirinya sendiri, melainkan bagi sesame makhluk yang ada di muka bumi.
Enam bulan berkenalan dengan Beliau, sungguh jadi moment yang luar biasa.
Seperti “Yin dan Yang”, mungkin … ketika saya yang “panasan” dan Beliau yang selalu bersikap “somplak” … berhasil membuat cemberut saya menjadi ketawa gara2 “ngok” nya yang super edan sekali.
Saya gak tau,
Apakah gara2 gambar saya yang “elek” dan “gak mirip blass”, yang kemarin sempat saya buat?? … Gambar kartun yang gak ada sisi indah2 nya.
Menjadikan Beliau berkhayal .. mengembalikan ingatan Beliau akan masa2 menjadi “manusia biasa”??? …
Padahal, ndak ada maksud apa2 sama sekali.
Saya gambar ya gambar saja … efek iseng gara2 hujan yang enggan berhenti seharian … “Baper” alias “bawaan laper” yang bikin saya gak bisa ngapa2 in, dan akhirnya menarik buku gambar dan pensil warna, menggoreskan apa yang lagi ada di pikiran saya.
Proses “humanisasi” …
Sebuah proses untuk mengembalikan diri menjadi “manusia” …
Dan bukan hanya sosok yang dikejar2 oleh waktu … uang … bahkan jabatan …
Proses menjadi seseorang yang punya hati dan nurani, yang mengedepankan kepentingan sesame daripada hanya berpikir sentral mengenai dirinya sendiri.
Dua bulan ini saya telah mengalami semuanya kembali …
Tepat nya, mengembalikan kadar “humanisme” saya kembali ke titik awal.
Setelah mengalami pertarungan yang gak mudah …. Pertarungan hati … Antara kebutuhan dan juga niat hati.
Bicara tentang kebutuhan, siapa yang gak butuh uang?? ..
Setiap orang waras pasti membutuhkannya.
Namun, sampai seberapa tinggi tingkat kebutuhannya, itu yang sebenarnya jadi masalah.
Ketika satu_persatu “atribut” (saya menyebutnya demikian) saya coba lepaskan, termasuk “melarikan diri” dari hingar bingar nya kota, dan memilih tinggal di perkampungan di pelosok kota.
Apakah mudah?? ..
Awal nya jelas tidak … tapi bagi saya, adaptasi itu tidak terlalu sulit.
Saya memang lahir dan dibesarkan di kampung, dengan segala keterbatasan orang tua saya, yang hanya pensiunan Polisi.
Bagi saya, tidak lagi heran melihat almarhum Papa saya memberikan seekor ayam kepada salah seorang tetangga, dengan alasan,”Biar tetanggamu masak ayam” …
Sementara anak nya sendiri cukup senang menikmati sambel pete hasil ulekan almarhumah Mama.
Bahkan,
Sampai saat ini pun saya tidak merasa sedih atau sengsara,
Karena sudah memilih untuk menjalani hidup seperti ini.
Bahkan,
Masih bisa mentertawakan segala kebodohan yang saya pilih ini …
That’s a life!! …
Inilah kehidupan …
Dan pada akhirnya,
Saya hanya bisa berharap ….
Semoga, bukan gara2 saya maka Beliau memilih untuk menjalani kehidupan masa depan yang dipilihnya.
Semoga dan semoga,
Dan pada akhirnya saya hanya berharap,
Semoga Beliau tetap menjadi yang terbaik …
Semoga Beliau tetap jadi “Babi” yang manis dan unyu, seperti “pinky pig” yang ada di benak saya ….
(Catatan dari pelosok Natar, Lampung … di antara gerimis pagi hari …)