Indovoices.comMenteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD menceritakan ketika pelajar dilarang menggunakan jilbab pada pemerintahan Orde Baru sekitar periode 1970 sampai 1980-an.
Kebijakan itu menuai protes. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (Depdikbud) saat itu menjadi sasaran protes masyarakat.
“Sampai dengan akhir 1980-an di Indonesia terasa ada diskriminasi terhadap orang Islam,” ujar Mahfud dikutip dari akun twitternya, @mohmahfumd, Senin (25/1/2021).
Kala itu, organisasi masyarakat (ormas) Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah paling getol melakukan perjuangan, terutama melalui jalur pendidikan.
Hasilnya, demokratisasi menguat. Bahkan pada awal 1990-an berdiri Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI).
Masjid hingga majelis taklim tumbuh pesat di berbagai kantor pemerintahan dan kampus-kampus, termasuk kebebasan menggunakan jilbab bagi pelajar.
“Setelah sekarang memakai jilbab dan busana muslim dibolehkan dan menjadi mode, tentu kita tak boleh membalik situasi dengan mewajibkan anak nonmuslim memakai jilbab di sekolah,” kata Mahfud.
Mahfud juga menceritakan mengenai peran Menteri Agama (Menag) Wahid Hasyim dan Mendikjar Bahder Johan pada awal 1950-an.
Saat itu, keduanya membuat kebiijakan mengenai kesetaraan “civil effect” terhadap sekolah umum dan sekolah agama.
Hasil kebijakan memetik hasil paling kentara ketika memasuki periode 1990-an. Banyak kaum santri terdirik bergelombang masuk ke posisi penting di dunia politik maupun pemerintahan.
Bahkan, kebijakan itu masih bisa dirasakan hingga kini.
“Pejabat-pejabat tinggi di kantor-kantor pemerintah, termasuk di TNI dan Polri, banyak diisi oleh kaum santri. Mainstream keislaman mereka adalah “wasarhiyah Islam”: moderat dan inklusif,” terang Mahfud. (msn)