Kasus bermula pada saat Presiden Soeharto mendirikan Yayasan Supersemar tanggal 16 Mei 1974. Tujuannya pun cukup mulia, yakni membantu pendidikan Indonesia dengan memberikan beasiswa bagi siswa berprestasi dan lain sebagainya yang berkaitan dengan dunia pendidikan.
Dalam Yayasan Supersemar, Soeharto menunjuk dirinya sebagai Ketua Yayasan. Di kaki satunya, sebagai Presiden. Soeharto kemudian mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) No 15/1976 dengan memerintahkan 5 persen dari 50 persen laba bersih bank milik negara disetor ke Yayasan yang dipimpinnya tersebut. Bermodal PP ini, Yayasan Supersemar mengumpulkan uang sebesar USD 420 juta dan Rp 185 miliar.
Dalam perjalannya, tujuan yang mulia itu pun tercemar. Dana yang semula ditujukan untuk beasiswa, pembangunan gedung sekolah, kampus dan sebagainya, akhirnya malah diselewengkan ke bisnis keluarga Cendana beserta kroni-kroninya. Sebut saja diantaranya adalah:
1. PT Bank Duta USD 125 juta.
2. PT Bank Duta juga kembali diberi dana USD 19 juta.
3. PT Bank Duta kembali mendapat kucuran dana USD 275 juta.
Selain disuntik dari Yayasan Supersemar, Bank Duta juga disuntik dana dari Yayasan Dakab dan Yayasan Dharmais. Di Yayasan Dakab, Soeharto duduk sebagai ketua. Sedangkan dua putranya, yakni Bambang Trihatmodjo dan Hutomo Mandala Putra sebagai wakil sekretaris dan wakil bendahara.
Adapun Yayasan Dharmais alias Dharma Bhakti Sosial, didirikan oleh Soeharto, Sudharmono dan Bustanil Arifin, dan dibentuk pada 8 Agustus 1975.
4. Sempati Air sebesar Rp 13 miliar kurun 1989 hingga 1997.
Tahun 1989, Humpuss Group milik Tommy Soeharto dan Sigit Soeharto mendapatkan hak mendirikan maskapai swasta pertama yang menggunakan pesawat jet: Sempati Air. Salah satu sumber dananya adalah uang berbagai yayasan yang dikelola Soeharto dan kroninya.
“Tommy memanfaatkan posisi dan pengaruhnya dengan ayahnya untuk memastikan Sempati Air dibiayai dari penyalahgunaan dana dari berbagai yayasan antara 1989 sampai 1997,” urai Direktur Perdata pada Jamdatun Yoseph Suardi Sabda.
Hal ini disampaikan oleh Yoseph dalam persidangan sengketa antara Garnet Investment Limited milik Tommy melawan BNP Paribas Guernsey dan Pemerintah RI di Royal Court Guernsey, Inggris, pada 14-17 Mei 2007 lalu.
Kini Sempati Air bangkrut.
5. Diberikan kepada PT Kiani Lestari sebesar Rp 150 miliar pada 13 November 1995.
Kiani Kertas merupakan anak usaha perusahaan kelompok Nusamba Group milik Bob Hassan. Pria bernama asli The Kian Seng ini dikenal sangat loyal pada keluarga Cendana.
Salah satunya Bob berkongsi bisnis dengan adik Soeharto, Probosutedjo. Mereka kongsi bisnis dalam bisnis perambahan hutan. Setelah Soeharto tumbang, baik Bob dan Probo akhirnya dihukum penjara karena korupsi.
Sebab, perusahaan pulp yang awalnya dimiliki Bob Hasan itu menjadi saksi bagaimana Prabowo membangun bisnis setelah tak lagi berkarir di militer.
Berangkat dari sejarah bahwa Kiani dulunya merupakan perusahaan pulp yang dimiliki Bob Hasan, konglomerat perkayuan yang dikenal dekat dengan mantan Presiden Soeharto.
Runtuhnya rezim Orde Baru menyusul krisis ekonomi yang melanda Asia Tenggara, termasuk Indonesia menyebabkan sejumlah konglomerasi runtuh dengan utang segunung. Kiani Kertas, cikal bakal Kertas Nusantara termasuk salah satu yang disita pemerintah lewat Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) sebagai jaminan atas utang Bob Hasan di Bank Umum Nasional.
Lewat proses divestasi BPPN, Prabowo diketahui membeli PT Kiani Kertas yang kemudian mengubah namanya menjadi PT Kertas Nusantara. Salah satu pendanaannnya, memanfaatkan fasilitas pinjaman Bank Mandiri.
Kredit Bank Mandiri senilai USD 201.242.000 atau saat itu sekitar Rp 1,89 triliun didapat Prabowo meski baru beberapa tahun menjadi pengusaha murni setelah tak lagi di militer pada 1998. Namun, pembayaran kredit itu menurut sumber JawaPos.com yang merupakan mantan executive Bank Mandiri macet hingga 2007.
Seiring berjalannya waktu, Kejaksaan mencium ketidakberesan dalam proses pengambilalihan PT Kiani Kertas. Pada 2005, Tempo menulis Kejaksaan Agung memeriksa Prabowo sebagai saksi proses pengambilalihan kredit PT Kiani Kertas di Bank Mandiri. Saat itu, Prabowo menyebut mengambil alih PT Kiani Kertas karena kreditnya sudah macet selama enam tahun. “Jadi waktu itu kami berupaya menyelamatkannya,” ujar Prabowo.
Proses berjalan, Kejaksaan Agung diketahui mengeluarkan SP3 (Surat perintah Penghentian Penyidikan) atas kasus itu. Andi Lolo sebagai ketua tim jaksa yang melakukan penyelidikan atas kasus ini menyebut seluruh kewajiban debitor telah dilunasi kepada Bank Mandiri, alias tidak ada kerugian negara dalam kasus ini.
Diketahui bahwa pelunasan uang pengambilalihan aset PT Kiani Kertas telah dilakukan pada 26 Desember 2007. Keterangan ini diamini mantan top executive Bank Mandiri yang tak mau disebut namanya. Dia menyebut seluruh kewajiban pengambilalihan aset Kiani Kertas telah lunas akhir 2007. Pelunasan itu dibantu oleh adik Prabowo, Hashim Djojohadikusumo.
Meski demikian, hingga kini perusahaan yang sudah menjadi milik Prabowo dan berganti nama menjadi PT Kertas Nusantara ini masih bermasalah terkait pembayaran gaji kepada 1400 karyawannya yang belum selesai hingga sekarang, termasuk utang sebanyak USD 40 juta kepada kreditur asing.
6. Diberikan kepada PT Kalhold Utama, Essam Timber dan PT Tanjung Redep Hutan Tanaman Industri sebesar Rp 12 miliar pada 1982 hingga 1993.
7. Diberikan kepada kelompok usaha Kosgoro sebesar Rp 10 miliar pada 28 Desember 1993.
Kosgoro merupakan ormas penyokong terbentuknya Golkar. Dengan kendaraan Golkar di DPR, Soeharto 32 tahun menjadi Presiden.
Hebatnya lagi, sepanjang Soeharto menjabat, laporan keuangan Yayasan Supersemar tak tersentuh.
Akhirnya pasca lengser pada 1998, uang yang terkumpul itu pun mulai dibidik sebagai bagian amanat reformasi.
Hingga pada 2007, Negara menggugat Yayasan Supersemar untuk mengembalikan dana yang diselewengkan. Gayung bersambut. Pada 27 Maret 2008, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel) mengabulkan gugatan Kejagung dan menghukum Yayasan Supersemar membayar ganti rugi kepada RI.
Vonis itu dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Jakarta pada 19 Februari 2009. Setahun setelahnya, hakim agung Harifin Tumpa dengan anggota Rehngena Purba dan Dirwoto menguatkan vonis itu. Sayang, ada salah ketik di amar sehingga tak bisa dieksekusi. Seharusnya tertulis Rp 185 miliar, tetapi tertulis Rp 185.918.904.
Jaksa Agung mengajukan PK atas kesalahan ketik itu. Pada Agustus 2015, MA memperbaiki salah ketik itu, menjadi:
“Menghukum Tergugat II (Yayasan Supersemar) untuk membayar kepada Penggugat (Republik Indonesia) sejumlah 75 persen x US $ 420.002.910,64 = US $ 315.002.183,00 dan 75 persen x Rp 185.918.048.904,75 = Rp139.438.536.678,56,” putus ketua majelis Suwardi dengan anggota Mahdi Soroinda Nasution dan Sultoni Mohdally.
Namun cerita belum berakhir. Yayasan Supersemar mengajukan perlawanan eksekusi pada 2016.
Pada 29 Juni 2016, PN Jaksel mengabulkan perlawanan eksekusi Yayasan Supersemar. PN Jaksel menyatakan Yayasan Supersemar sudah menyalurkan dana pendidikan ke yang berhak.
Tapi pada 19 Oktober 2017, MA menolak perlawan eksekusi Yayasan Supersemar itu. Menurut MA, perlawanan eksekusi Yayasan Supersemar nebis in idem.
“Sehingga putusan perkara a quo nebis ini idem,” ujar majelis dengan suara bulat.
Mengantongi putusan itu, Jaksa Agung akhirnya mengajukan permohonan eksekusi. Perlahan, uang negara yang diselewengkan yayasan bisa diambil kembali.
“Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara Kejaksaan Agung RI, telah berhasil melaksanakan pemulihan keuangan Negara dari beberapa rekening deposito/giro/rekening milik Yayasan Supersemar/Yayasan Beasiswa Supersemar di bank dengan total keseluruhan sebesar Rp 241.870.290.793,62 yang saat ini berada di rekening Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dengan rekening RPL 175 PN,” kata Kapuspenkum Kejagung, M Rum pada Maret 2018.
Langkah sunyi Jokowi tak sampai di situ. Diam-diam, lewat Jaksa Agung, ia terus menuntaskan kasus itu. Salah satunya meminta eksekusi tanah dan Gedung Granadi.
“Sudah lama (disita),” kata pejabat Humas PN Jaksel Achmad Guntur saat dihubungi Senin 19 November 2018 yang lalu.
Tidak cuma gedung Granadi, yang terletak di Jl HR Rasuna Said, sejumlah aset lainnya disita terkait kasus Yayasan Supersemar, di antaranya tanah di Megamendung, Kampung Citalingkup, Bogor, seluas 8.120 meter persegi.
“Ada tanah di Megamendung dan rekening sama uangnya,” sambung Guntur.
Aksi Jokowi tersebut bukannya tanpa perlawanan. Kita lihat sendiri, kini klan Cendana membentuk partai politik dan berdiri di belakang Prabowo. Tujuannya apalagi bila bukan salah satunya adalah untuk menyelamatkan harta-harta hasil penyelewengan yang telah disita oleh negara, bila berhasil berkuasa nanti?
Apalagi dalam berbagai kesempatan, Prabowo sendiri mengungkapkan bila ada 11.000 triliun uang Indonesia yang ada di luar negeri. Jokowi juga pernah mengungkapkan hal yang sama beberapa tahun yang lalu. Makanya dilakukanlah program Tax Amnesty untuk menarik uang-uang tersebut kembali ke tanah air.
Meskipun saat ini diperkirakan nilainya sudah berkurang dari angka 11.000 triliun. Yang menjadi pertanyaan adalah. Uang Indonesia yang tersisa dengan nilai yang diperkirakan masih sangat besar dan berada di luar negeri tersebut, apa tidak mungkin adalah uang-uang hasil penyelewengan yang dilakukan oleh yayasan Orba di masa lalu? Bisa jadi bukan?
Well, kita tunggu saja hasil perjanjian MLA antara Indonesia dengan Swiss yang telah ditandatangani belum lama ini.