Indovoices.com-Sejumlah keluarga korban pembantaian tentara Belanda pimpinan Raymond Westerling menolak kedatangan Raja dan Ratu Belanda ke Indonesia, yang dijadwalkan berlangsung pada Selasa (10/03) hingga Jumat (13/03) ini karena belum menerima kata maaf dan ganti rugi.
Jadwal kunjungan mereka ke Taman Makam Pahlawan Kalibata, yang menurut Kedutaan Belanda adalah untuk menghormati para korban perang kemerdekaan juga dipersoalkan. Bahkan seorang sejarawan Belanda menyebutnya “munafik dan sangat memalukan”.
Berikut sejumlah hal hangat di balik kunjungan penguasa Belanda tersebut ke Indonesia.
‘Minta maaf dan penuhi tuntutan kami’
Sepekan sebelum kedatangan Raja dan Ratu Belanda, Willem-Alexander dan Maxima, ke Indonesia, Abdul Halik sudah terbang dari Bulukumba, Sulawesi Selatan, ke Jakarta.
Pria berusia 82 tahun itu adalah putra Becce Beta, warga Bulukumba yang dieksekusi pasukan tentara pimpinan Raymond Westerling karena dianggap prokemerdekaan tahun 1947.
Tujuan Halik hanya satu: ia hendak bertemu duta besar Belanda untuk menyampaikan penolakannya.
Apalagi, Raja dan Ratu Belanda, berencana untuk mengunjungi Taman Makam Pahlawan (TMP) Kalibata di hari pertama kunjungannya.
“Pemerintah Belanda harusnya tahu diri, memikirkan apa yang pernah dilakukan oleh tentara itu atas perintah neneknya (Raja Willem-Alexander). Itu harus disadari,” ujar Halik.
“Kami sebenarnya tidak setuju (mereka datang) sebelum Raja Belanda mengakui kedaulatan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, melakukan permohonan maaf secara umum, dan menyelesaikan tuntutan kami.”
Bersama Halik, datang pula keluarga korban pembantaian Westerling lain, yakni Ismail Rahim dan Andi Kafrala, yang didampingi aktivis organisasi masyarakat Lidik Pro juga pengacara Irwan Lubis.
Sebelumnya, mereka sudah mengirimkan surat ke Kedubes Belanda untuk menyatakan penolakan mereka terhadap kunjungan itu (31/01).
Surat itu dibalas Duta Besar Belanda Lambert C. Grijns (12/02) kepada Irwan Lubis.
Dalam balasan itu, tertulis bahwa surat yang telah dikirimkan keluarga korban sudah diteruskan ke Kementerian Luar Negeri di Belanda dan isinya dipelajari dengan saksama untuk jadi bahan pertimbangan.
“Kedutaan Belanda sedang menjajaki kemungkinan untuk bertemu dengan Pak Irwan, namun periode ini merupakan periode yang sangat padat bagi kami sehubungan dengan persiapan Kunjungan Kenegaraan,” isi surat itu, yang telah dikonfirmasi Kedutaan Besar Belanda kepada BBC News Indonesia.
Tak puas dengan jawaban itu, Halik dan rombongannya terbang ke Jakarta untuk meminta audiensi langsung.
Namun, harapan itu tak terwujud.
Rombongan Halik yang ditemui BBC Indonesia (03/03), hanya ditemui seorang staf kedutaan, yang berjanji akan menyerahkan surat yang berisi permohonan audiensi mereka kepada duta besar Belanda.
Pada hari Jumat (06/03), rombongan itu melakukan demonstrasi untuk menyuarakan aspirasi mereka di depan Kedutaan Besar Belanda.
Dalam kesempatan itu, Kepala Bagian Politik Kedutaan Besar Belanda untuk Indonesia, Roel van der Veen, mengatakan pihaknya akan memberi kesempatan kepada keluarga korban untuk melakukan audiensi di akhir bulan Maret.
Apa makna kunjungan Raja-Ratu Belanda?
Dari agenda kunjungan yang dirilis ke publik, pemerintah Indonesia dan Raja serta Ratu Belanda tidak dijadwalkan membicarakan masa lalu, termasuk tuntutan permintaan maaf dan ganti rugi korban perang.
Pelaksana Tugas Juru (PLT) Bicara Kementerian Luar Negeri, Teuku Faizasyah, mengatakan kunjungan itu akan berfokus pada kerja sama yang saling menguntungkan.
“Kunjungan ini akan kita bersama-sama manfaatkan untuk meneguhkan kerja sama ke depan yang saling menguntungkan, khususnya di bidang ekonomi dan peningkatan kapasitas sumber daya manusia,” ujarnya.
Pernyataan resmi Kerajaan Belanda mengungkapkan hal senada.
“Kunjungan kenegaraan menegaskan hubungan dekat dan luas antara kedua negara dan akan diarahkan untuk kerja sama di masa depan.”
Next week King Willem-Alexander and Queen Máxima will pay a state visit to the Republic of Indonesia. They will visit Jakarta and Yogjakarta on the island of Java as well as the islands of Kalimantan and Sumatra. Full programme available at: https://t.co/Aj2dshJAzO @jokowi pic.twitter.com/bWAvdy7MHN
— Koninklijk Huis (@koninklijkhuis) March 5, 2020
Neraca perdagangan kedua negara surplus US$2,36 miliar (Rp33,7 triliun) pada tahun 2019.
Indonesia mengekspor sejumlah komoditas ke Belanda, di antaranya minyak sawit, asam lemak monokarboaksilat, dan biodiesel.
Sementara, Belanda mengekspor minyak sulingan, kendaraan bermotor pengangkut barang, hingga olahan makanan ke Indonesia.
Ratusan pengusaha Belanda akan ikut dalam rombongan Raja dan Ratu Belanda.
‘Belum bisa melupakan tindakan tentara Belanda’
Meski dianggap akan menguntungkan kedua negara, bagi Abdul Halik dan sejumlah keluarga korban pembantaian Westerling lainnya, kunjungan itu seharusnya tidak dilakukan.
Ia masih ingat, usianya masih sembilan tahun saat tentara Belanda, yang dipimpin Raymond Westerling, menghabisi sejumlah orang yang dianggap prorepublik Indonesia di desanya di Bialo, Bulukumba, tahun 1947.
“Saya sementara duduk-duduk di tangga bawah, datang mata-mata Belanda panggil orang, ‘Semua rakyat penduduk, lihat orang mau ditembak!” ujar Halik mengenang peristiwa itu.
Halik turut serta ke lapangan di mana orang-orang akan dieksekusi.
Dalam perjalanan, Halik bercerita, ia melihat ayahnya, Becce Beta, yang tangannya sudah diikat di atas mobil tentara Belanda.
“Seperti kambing saja orang-orang dikumpul, diikat di atas mobil, kasihan betul itu.”
“Dia (ayah) teriak ‘Mau ke mana’? Saya bilang’ saya mau pergi lihat orang ditembak’. Dia bilang ‘Pulang!’ Saya jawab ‘tidak mau, saya mau lihat orang ditembak.”
Di sebuah lapangan, Halik menyaksikan tujuh orang ditembak, peristiwa yang terus membekas baginya hingga berpuluh-puluh tahun kemudian.
“Rata-rata kepalanya yang pecah,” ujarnya.
Ayahnya tidak termasuk dalam kelompok yang pertama ditembak itu. Halik mengatakan ayahnya dieksekusi sekitar sembilan kilometer dari tempat itu, di daerah Kantisang.
Halik menceritakan ayahnya dan sejumlah aparat kampung lainnya dibawa ke lokasi lainnya untuk dieksekusi.
“Jelas kita takut, rakyat semua takut, dia (pasukan Belanda) tidak memilih bulu. Apalagi rumah saya sudah dibakar,” katanya.
“Luar biasa, sampai sekarang saya masih belum bisa melupakan bagaimana tindakan tentara Belanda. Bayangkan saja kalau rumah sampai habis, terasa sengsara.”
Maka itu, ia menyesalkan kedatangan Raja dan Ratu Belanda ke Indonesia, yang tidak membawa agenda pembahasan kasus di masa lalu.
Dalam pidatonya di Jakarta tahun 1964, mantan Presiden Soekarno menyebut ada 40.000 korban Westerling di Sulawesi Selatan.
Mengapa sejumlah korban belum dapat ganti rugi?
Pada 2011, pengadilan distrik Den Haag memerintahkan pemerintah Belanda memberikan ganti rugi kepada tujuh janda korban pembantaian massal Rawagede, Jawa Barat, dan seorang pria yang menderita luka tembak pada 1947.
Setelah putusan itu, pemerintah Belanda membentuk skema reparasi untuk korban perang kemerdekaan lainnya pada tahun 1945-1950, mengutip tesis pengacara Bunga Meisa Rouly Siagian, yang berjudul Reparation for the Victims of the Dutch Military Operation in Indonesia 1945-1949.
Prosedur Skema Penyelesaian Sipil itu ditujukan bagi janda-janda yang suaminya mengalami kekejaman, yang akibatnya serupa dengan kasus di Rawagede dan Sulawesi Selatan.
Masih mengitup tesis yang sama, skema itu berlaku selama dua tahun sejak 2013 hingga 2015.
Di tahun 2013, 10 janda yang suaminya menjadi korban eksekusi di Sulawesi Selatan mendapat ganti rugi sebesar 20.000 euro (Rp296 juta).
Saat itu, pengacara keluarga korban meminta perpanjangan waktu pengajuan kompensasi karena proses klaim membutuhkan lebih banyak waktu.
Pemerintah Belanda merespons dengan memberikan dua tahun lagi hingga September 2017, sebagaimana disebut dalam tesis Bunga Meisa Rouly Siagian.
Meski begitu, sejumlah anak korban seperti Abdul Halik tidak bisa mengajukan ganti rugi karena terbentur masa kedaluwarsa gugatan, lewat dari tahun 2017, dan status mereka sebagai anak, bukan janda.
Abdul Halik melihat hal itu sebagai bentuk ketidakadilan.
“Yang baru dapat (ganti rugi) itu janda-janda, itu pun baru sebagian. Padahal anak tidak boleh dibedakan, karena haknya sama,” ujarnya.
Yolande Melsert, Kepala Bagian Kebudayaan dan Komunikasi Kedutaan Besar Belanda, mengatakan pemerintah Belanda sedang menunggu keputusan hakim terkait apakah kategori orang yang dapat menerima kompensasi harus diperluas untuk mencakup anak-anak para korban.
“Pemerintah Belanda tidak mengomentari proses pengadilan yang masih berlangsung,” ujarnya.
Sementara, PLT juru bicara Kemenlu Teuku Faizasyah mengatakan masalah tuntutan publik itu adalah kasus sipil.
“Apabila berperkara di negeri Belanda, perwakilan Indonesia lazimnya memberikan bantuan kekonsuleran manakala diperlukan sebagai wujud perlindungan warga negara. Fasilitas kekonsuleran pernah pula diberikan dalam kasus Rawagede,” ujar Faizasyah.
Untuk apa Raja dan Ratu Belanda ke TMP Kalibata?
Marjolein van Pagee, pendiri Histori Bersama, organisasi yang berfokus pada sejarah kolonialisme di Indonesia, mengatakan hubungan baik antara Indonesia dan Belanda harusnya dimulai dari permintaan maaf Belanda pada orang-orang yang keluarganya dibantai oleh tentara Belanda.
“Sampai sejauh ini saya melihat mereka (keluarga kerajaan), tidak melakukan langkah apapun (untuk meminta maaf pada korban perang),” ujarnya.
Ia menyinggung kunjungan resmi kerajaan Belanda terakhir ke Indonesia di tahun 1995, yang dilakukan mantan Ratu Belanda Beatrix, empat hari setelah hari perayaan kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus.
Hal itu, kata Pagee, dilakukan Beatrix untuk menghormati veteran perang Belanda.
Pada 2005, Menteri Luar Negeri Belanda, Ben Bot, mengatakan Belanda mengakui hari kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945 secara politik dan moral.
Namun, pengakuan itu, dianggap sebagai pengakuan yang de facto, belum de jure atau berdasarkan hukum.
Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia melalui penyerahan kedaulatan di Istana Dam di Amsterdam usai Konferensi Meja Bundar tanggal 27 Desember 1949.
Menurut sejarawan Universitas Indonesia, Bondan Kanumuyoso, akan sulit bagi Belanda untuk mengakui Indonesia secara de jure.
“Sulit, karena dengan mengakui Indonesia merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945, berarti apa yang mereka lakukan antara ’45-49 di Indonesia adalah kejahatan dan agresi,” ujarnya.
Lalu, mengapa Raja dan Ratu Belanda akan menabur bunga di TMP Kalibata?
“Raja dan Ratu Belanda ingin menghormati korban-korban perang kemerdekaan. Maka itu, mereka akan menabur bunga di TMP Kalibata,” ujar Yolande Melsert, Kepala Bagian Kebudayaan dan Komunikasi Kedutaan Besar Belanda.
Namun, hal itu dikritisi oleh Pagee.
“Itu munafik dan sangat memalukan. Berani-beraninya mereka mengunjungi tempat itu? Kita tahu mereka tidak menghormati para korban perang,” ujar van Pagee.
“Jika mereka benar-benar menghormati, mereka akan bertemu dengan kelompok keluarga korban yang menyerahkan surat,” ujar Pagee.
Rusdi, aktivis Lidik Pro, yang mendampingi keluarga korban pembantaian Westerling di Sulawesi Selatan mengatakan jika pemerintah Belanda mau memperbaiki keadaan, mereka seharusnya menyatakan secara terbuka bahwa orang-orang yang dibunuh oleh tentara Belanda adalah pahlawan, bukan pemberontak.
“Dengan itu, hati anak-cucu para korban akan terobati,” ujarnya.(msn)