Saya tertarik pada sebuah berita lama yang berkaitan dengan hasil survey. Beberapa lembaga survey yang mengatakan bahwa pendukung atau pemilih Jokowi kebanyakan berasal dari kalangan berpendidikan rendah.
Yang menjadi pertanyaan saya, bila pun hasil survey tersebut benar, apakah ada korelasi antara status pendidikan dengan kecerdasan intelektual maupun kecerdasan mental?
Rasa penasaran saya membuat saya mengadakan riset kecil-kecilan, hal ini juga untuk membuktikan bahwa pada dasarnya survey itu tidak bisa dijadikan patokan.
Mengenai hasil survey yang mengatakan bahwa pendukung atau pemilih Jokowi adalah kalangan berpendidikan rendah dapat ditemukan pada link di bawah ini.
https://m.detik.com/news/berita/d-3880108/survei-median-sebagian-besar-pemilih-jokowi-berpendidikan-rendah
https://www.merdeka.com/politik/survei-populi-jokowi-menang-suara-di-pemilih-tak-lulus-sd-lulusan-s1-pilih-prabowo.html
Benarkah demikian?. Saya mencoba menelusurinya melalui berbagai pemberitaan di lapangan untuk menunjukkan bagaimana kualitas pihak yang dikatakan cerdas dan berpendidikan tinggi tersebut.
Turn Back Quran
Kalau dilihat dari desainnya, kemungkinan si desainer terinpirasi dari kaos Polisi yang beberapa waktu lalu beredar luas di masyarakat, yang bertuliskan TURN BACK CRIME & TURN BACK HOAX. Padahal mungkin maksud si pembuat adalah kembali ke Al-Quran (Turn Back To Quran), tapi karena kecerdasannya maknanya menjadi melawan Al-Quran
https://mojok.co/red/corak/kilas/dari-stop-humanity-sampai-turn-back-quran/
Stop Humanity
Stop kemanusiaan?. Terjadi pada acara aksi “Jabar Peduli Rohingya” yang dipimpin langsung oleh Gubernur Jawa Barat, Ahmad Heryawan.
(http://style.tribunnews.com/2017/09/10/gagal-paham-coba-amati-salah-satu-spanduk-di-acara-jabar-peduli-rohingya-yang-dipimpin-aher-ini)
Salah Tulis 1
Kali ini menimpa partai yang ngakunya partai dakwah, partai agamis yang harusnya bisa terhindar dari kesalahan seperti ini. Kesalahan tersebut dibongkar oleh Guntur Romli.
https://mobile.twitter.com/gunromli/status/881154803027464194
Salah Tulis 2
Lagi-lagi dilakukan oleh kader partai dakwah. Beredar sebuah baliho Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan dari Partai PKS salah menulis kalimat “Ramadhan” yang menggunakan tulisan Arab.
https://www.dutaislam.com/2018/05/pks-salah-lagi-nulis-arab-tulisan.html?m=1
“Facebook, jangan dianiaya Muslim?”
Terjadi saat FPI dan sejumlah ormas lain menggelar aksi bertajuk “menolak kezaliman Facebook”, 12 Januari 2018 yang lalu. Terdapat spanduk yang menjadi topik hangat warganet itu bertuliskan “Do Not PERSECUTED Moslem’s”.
Pada bagian bawah spanduk tersebut, tertera tulisan terjemahan dari kalimat berbahasa Inggris itu: “Jangan Zhalimi umat Islam”. Kalimat “do not persecuted moslem’s” justru berarti “jangan dianiaya muslim” dalam bahasa Indonesia. Jadi siapa menganiaya siapa? Nah lho.
https://m.suara.com/news/2018/01/12/190611/spanduk-peserta-demo-facebook-ini-ramai-di-medsos-apa-yang-aneh
Bergeraklah Merebut Kenangan
Spanduk tersebut muncul saat safari politik Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto ke Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur. Saya tidak tahu kenangan siapa yang mau dia rebut. Atau mungkin pembaca tahu?.
http://jateng.tribunnews.com/2018/05/09/heboh-spanduk-prabowo-bergeraklah-merebut-kenangan-begini-nasib-percetakannya
Di Indonesia Ada Kedutaan Israel?
Tidak ketinggalan juga kecerdasan kaum anti Jokowi ditunjukkan di dunia Sosmed. Terbukti bukan?, ternyata kaum cebongers mau tidak mau harus mengakui kecerdasan kampreters. Ternyata mereka lebih tahu bahwa di Indonesia ada kedutaan Israel dibandingkan Cebongers sendiri. Luar biasa bukan? Cebonger mana ngerti.
S2 Tapi Tidak Bisa Bedakan Dalam Dan Luar Negeri
Nah kalau yang ini, tidak bisa bedakan mana dalam dan luar negeri. Warga Malaysia yang berobat ke Indonesia, malah dianggap sebagai warga Indonesia yang menyeberangi perbatasan ke Malaysia untuk berobat. Padahal berdasarkan informasi, yang menuliskan status tersebut adalah Mahasiswi S-2 Jurusan Komunikasi Politik.
Mungkin para lembaga survey tersebut akan berkilah bahwa antara pendidikan dan kecerdasan itu berbeda. Ada yang berpendidikan tinggi namun bodoh karena sekolahnya pakai sogok, tapi ada juga yang berpendidikan rendah tapi cerdas karena ketiadaan biaya. Well, jawaban saya, bisa saja apa yang disampaikan itu terjadi.
Bisa juga sebelum terpapar ajaran radikalisme, orangnya cerdas, namun setelah terpapar menjadi bodoh walaupun pendidikannya tinggi. Karena banyak juga kita temukan orang-orang yang tingkat pendidikannya tinggi namun komentarnya seperti orang yang tidak berpendidikan. Semua sah-sah saja tergantung dari sudut pandang mana kita melihatnya.
Pada akhirnya semua akan tercermin dari perkataan maupun perbuatan kita sehari-hari karena cerdas secara akademis belum tentu cerdas secara mental. Demikianlah kesimpulan saya, bagaimana dengan kesimpulan Anda?