Indovoices.com –Memasuki normal baru, tren berspeda semakin diminati masyarakat urban, termasuk DKI Jakarta. Institute For Transportation and Development melaporkan, pengguna sepeda di wilayah Thamrin dan Sudirman naik hingga 10 kali lipat dibanding sebelum pandemi. Angka itu belum termasuk jumlah pengguna sepeda di wilayah lainnya.
Tren bersepeda ini juga dapat dilihat dari peningkatan pendapatan UMKM. Dilansir Antara, salah satu Pelaku UMKM di bidang perakitan sepeda mangaku ada peningkatan pesanan sepeda hingga 85%.
Menyikapi tren bersepeda di tengah pandemi, Kementrian Perhubungan berencana merilis regulasi baru bersepeda. Hal ini disampaikan Direktur Jendral Perhubungan Darat Kemenhub Budi Setiyadi.”Aturan bersepeda ini tujuannya adalah mewujudkan tertib berlalu lintas dan menjamin keselamatan pengguna di jalan,” Ujar Budi dalam diskusi virtual.
Sebelumnya, regulasi soal sepeda disinggung dalam Undang-Undang nomor 22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Meski begitu, aturan tersebut tidak secara spesifik mengatur pedoman penggunaan sepeda di jalan raya.
(Baca: Soal Pajak Sepeda, Bagaimana Penerapannya di Negara Maju?)
Dalam aturan yang baru nanti, Kemenhub akan mengatur beberapa larangan bagi pengguna sepeda demi keselamatan di jalan raya. Berikut daftarnya:
- Pesepeda dilarang membawa penumpang pada sepeda dengan tempat duduk tunggal. Sementara itu, sepeda tandem atau dengan boncengan dapat ditumpangi sesuai kapasitasnya.
- Pesepeda dilarang menggunakan gawai, termasu earphone atau headset saat bersepeda.
- Pesepeda dilarang menggunakan payung ketika bersepeda. Sebab, hal itu akan mengurangi kemampuan mengemudi. Meski begitu, ada pelonggaran dengan memperbolehkan penggunaan payung khusus bagi pedagang asongan yang menggunakan sepeda.
- Pesepeda dilarang berkendara secara berdampingan dengan kendaraan lain, kecuali diatur rambu lalu lintas.
- Pemerintah juga akan membatasi jumlah pesepeda dalam suatu jalur, yakni tak boleh lebih dari dua pengendara. Maraknya tren bersepeda secara kelompok yang memakan badan jalan membuat poin ini jadi perhatian Kemenhub.
Kemudian, pengguna sepeda juga akan diwajibkan memakai helm keselamatan. Di kota besar, sanksi tegas juga bakal diterapkan bagi pengguna sepeda yang kedapatan berkendara di luar jalur sepeda. Pajak sepeda sendiri tidak akan diatur dalam regulasi ini.
Selain terkait dengan keselamatan berlalu lintas, regulasi ini juga diharapkan dapat menjadi implementasi Peraturan Presiden (Perpres) nomor 60 Tahun 2011 tentang Rencana Aksi Nasional Gas Rumah Kaca (RAN GRK).
(Baca: Kemenhub Siapkan Regulasi Keselamatan Pesepeda, Bukan Pajak Sepeda)
Dalam Perpres tersebut, tertuang misi pemerintah hadirkan transportasi ramah lingkungan. Regulasi yang tengah digodok ini dapat pula dijadikan kampanye pemerintah mengajak masyarakat beralih ke transportasi ramah lingkungan, termasuk sepeda.
Sejarah Aturan Sepeda
Sepeda dibawa ke Indonesia oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda. Pemerintah kolonial pula yang pada 1930-an mengatur ketentuan bersepeda, seiring dengan terbitnya Wegverkeers Ordonanntie 1933 (Staatsblaad 1933 No. 68) atau Undang-Undang Lalu Lintas Jalan.
Dikutip dari Histeria, pokok-pokok aturan itu terangkum dalam buku karya Mr. Dr. F.J.W.H. Sandbergern berjudul Atoeran Mempergoenakan Djalan Raja terbitan 1939. Di antara ketentuannya, pesepeda wajib berjalan di lajur kiri jalan, namun di samping kanan pejalan kaki dan gerobak pedati.
Lajur sebelah kanan pesepeda digunakan untuk kendaraan lebih cepat seperti delman, sado, sepeda motor roda dua, dan auto (mobil). Pesepeda dilarang pula mengambil lajur pejalan kaki dan kendaraan lebih lambat.
Jika pesepeda ingin berbelok ke kiri atau kanan, maka wajib mengangkat tangan ke arah tujuannya. Untuk memberitahu pengguna jalan lain bahwa pesepeda akan melambat atau berhenti, dia juga harus menggunakan tangannya sebagai isyarat.
Kemudian, selama melaju, pesepeda tidak boleh berpegangan pada kendaraan lain. Menurut Sandbergen, tindakan itu sangat berbahaya. “Jika tidak tergiling oleh kendaraan tempat berpegang itu, boleh jadi digiling oleh kereta yang datang dari belakang.”
Larangan lain bagi pesepeda ialah membawa seorang atau lebih dalam satu sepeda jika tak ada alat boncengan. Jika seorang penumpang sepeda berdiri di atas jalu roda belakang, pesepeda akan terkena pelanggaran lalu-lintas.
Demi keamanan dirinya, pesepeda wajib melengkapi kendaraannya dengan lampu putih, reflektor (mika pemantul cahaya), dan tanda khusus bagi pesepeda tuli atau kurang pendengaran. Lampu putih terpasang di bagian depan dan menyorot ke bawah. Lampu itu tidak boleh mengarah ke pengguna jalan lain.
Berikutnya, Pajak Sepeda…
Pajak Sepeda
Kelengkapan wajib lainnya adalah peneng atau tanda lunas pajak sepeda. Ya, sejak 1930-an, pemerintah kolonial menerapkan pajak kepada tiap pemilik sepeda. Pajak juga dikenakan kepada pemilik kendaraan tak bermotor lain seperti delman, sado, dan gerobak. Meski, ada pengecualian bagi pesepeda dari kepolisian dan militer.
Besaran pajak sepeda berbeda di tiap wilayah, sesuai dengan semangat desentralisasi pemerintahan sejak 1905. Pemerintah kolonial menggunakan pajak ini untuk merawat jalan.
Pemerintah pendudukan Jepang mempertahankan penerapan pajak, tapi tujuannya untuk membiayai perang.
Pajak sepeda masih bertahan hingga Indonesia masuk masa merdeka. Bedanya, penggunaan pajak kembali untuk perawatan jalan.
Untuk membayar pajak, pesepeda harus membawa sepedanya ke Balai Kota atau kantor bendahara kota. Orang tak menganggap berat pajak sepeda. “Orang-orang terutama anak-anak sekolah, mengantre dengan sepedanya di Balai Kota (atau haminte) di Jalan Kebon Sirih untuk membayar peneng,” kenang Firman Lubis dalam Jakarta 1950-an.
Pesepeda memang tidak perlu surat izin mengemudi (rijbewijs). Tidak pula ada batasan umur untuk pesepeda. Tapi mereka tetap wajib mematuhi aturan bersepeda, termasuk membayar pajak.
Pelanggaran terhadap aturan tersebut akan dikenai sanksi. Di antaranya, penjara, denda, dan penghentian sementara operasional sepeda. “Semua sepeda yang tidak memakai peneng tahun 1950 yang berada di jalanan umum, akan ditahan,” ucap R. Soewirjo, walikota Jakarta dalam Java Bode, 18 April 1950. Sedangkan di Semarang, hukumannya denda sebesar 100 florin. Padahal pajaknya hanya 2,25 florin setahun.
Jika tak mampu membayar denda, pemilik sepeda akan masuk penjara selama-lamanya sebulan. Demikian keterangan dari De Locomotiev, 18 Juli 1950.
Penerapan pajak sepeda mulai kendor seiring menghilangnya sepeda dari jalanan kota-kota besar Indonesia pada 1970-an. Secara formal, pajak sepeda tidak berlaku lagi setelah terbit UU No. 18 Tahun 1997 tentang Pajak dan Retribusi Daerah.(msn)