Indovoices.com-Kebijakan lockdown tidak serta merta dikeluarkan Inggris tanpa lebih dulu mengimbau warganya untuk menjaga jarak alias social distancing. Awalnya, perusahaan-perusahaan disarankan untuk menerapkan WFH (Work From Home) atau bekerja dari rumah bagi karyawan, demi mencegah penyebaran virus corona di Inggris.
Pergerakan warga juga semakin dibatasi dengan penutupan sejumlah tempat hiburan seperti klub, pub, dan restauran. Namun, ini semua ternyata tak cukup.
Pada 23 Maret, Perdana Menteri Boris Johnson mengumumkan Inggris bakal menerapkan lockdown atau isolasi total selama tiga pekan terhitung sejak Senin (23/3) untuk menekan penyebaran virus corona penyebab penyakit COVID-19. Langkah tersebut diambil setelah serangkaian instruksi untuk social distancing tak mempan menahan warga berdiam diri di rumah. Area publik masih ramai. Perintah menjaga jarak justru direspons banyak orang dengan berbondong-bondong memadati taman-taman kota.
Sehari sebelum pengumuman lockdown, Johnson sempat mengancam akan menindak tegas warga yang melanggar aturan menjaga jarak. Senada dengan Johnson, Sadiq Khan selaku Wali Kota London mengatakan polisi bisa saja dikerahkan demi penegakan social distancing.
“Hal terbaik yang semua orang bisa lakukan, jika kamu akan keluar rumah, perhatikan menjaga jarak sosial. Menjauh 2 meter. Itu hal yang tidak sulit untuk dilakukan,” ujar Johnson, dikutip The Guardian.
“Tetaplah di rumah, itu cara terbaik untuk menolong layanan kesehatan nasional, dan cara terbaik untuk menyelamatkan ribuan jiwa,” lanjutnya.
Menurut laporan Wired UK, penerapan social distancing ini menciptakan sesuatu yang sangat kompleks. Data memang menunjukkan angka kunjungan ke tempat-tempat umum berkurang drastis. Tetapi justru di situ letak permasalahannya. Sebagai pelarian, penduduk wilayah perkotaan justru jalan-jalan ke desa-desa sekitar.
Dalam data yang dikumpulkan Wireless Social, penyedia layanan hotspot Wi-Fi di Inggris pada 19 Maret, jumlah pengunjung pub, bar, klub, dan restoran di London turun 76 persen dibanding kunjungan tepat setahun sebelumnya. Padahal pemerintah baru menutup tempat-tempat hiburan di seluruh Inggris Raya keesokan harinya.
Gambaran serupa terlihat pada angka kunjungan di kota-kota lain. Pada hari yang sama, jumlah kunjungan di Edinburg turun 75 persen, sementara Cardiff turun 74 persen. Di Birmingham, okupansi perhotelan turun 63 persen, diikuti oleh Liverpool dan Manchester dengan penurunan masing-masing 68 dan 66 persen.
“Orang-orang membuat keputusan secara umum berdasarkan risiko yang dirasakan,” ujar Chris Cameron, dosen senior ilmu perilaku di University of Huddersfield, dikutip Wired.
Permasalahan lalu muncul ketika penurunan jumlah kunjungan itu ternyata menyumbang kenaikan jumlah turis menuju wilayah pedesaan. Pada 21 Maret, otoritas Cornwall mendesak turis untuk segera keluar dari wilayahnya. Bahkan desakan ini turut dikeluarkan oleh badan kesehatan dan pariwisata setempat.
Pasalnya, salah satu destinasi wisata di sana, Snowdonia National Park, justru menghadapi kunjungan tersibuk sepanjang sejarah taman nasional tersebut beroperasi.
Menurut Cameron, fenomena ini dipicu persepsi masyarakat bahwa lingkungan hijau dan terbuka di pedesaan lebih sehat. Sehingga warga perkotaan menganggap dengan berpindah ke pedesaan, maka mereka lebih aman dari amukan wabah penyakit.
Mengantisipasi hal tersebut, otoritas di Skotlandia, Cornwall, dan Wales mendesak orang-orang untuk tidak bepergian ke rumah kedua untuk liburan. Tindakan tersebut mengancam membebani layanan kesehatan di pelosok-pelosok Inggris.
Cameron mengatakan, kebijakan ketat seperti lockdown mampu memainkan rasa takut. Orang-orang tidak akan sembarangan berkeliaran di tempat umum kecuali mendesak. Aturan ini telah tiga hari belakangan mengisolasi Inggris dari dunia luar. Warga diizinkan keluar rumah hanya untuk berbelanja kebutuhan pokok.
Sejauh ini hingga Kamis (26/3), data terbaru Johns Hopkins University mencatat total kasus COVID-19 di Inggris mencapai 9.642 orang, 467 di antaranya meninggal dunia. Sementara 140 orang dinyatakan pulih.
Pangeran Charles, pewaris tahta kerajaan Inggris, termasuk dalam daftar kasus positif. Juru bicara kerajaan mengatakan pangeran berusia 71 tahun itu mengalami gejala ringan dan dalam keadaan baik. Usai dinyatakan positif terinfeksi virus corona, ia menjalani isolasi rumah di Skotlandia. (msn)