Indovoices.com– Tiga hari yang lalu, saya di Desa Sigapiton. Bercerita banyak dengan rakyat Sigapiton dan kepala Desa. Di Sigapiton itu penduduknya sekutar 144 Kepala Keluarga. Kami berbincangbincang hingga larut malam dan tidur di Desa itu.
Kemarin siang ketika kami di Balige, saya melihat di medsos ada penolakan dari rakyat Sigapiton menyoal kehadiran Badan Pengelola Otorita Pariwisata Danau Toba (BPODT). Ibu-ibu menyingsingkan bajunya untuk melawan escapator. Luar biasa perjuangan ibu-ibu sejati itu. Segala cara mereka lakukan untuk menjaga tanah ulayat mereka. Ratusan tahun nenek moyang mereka menjaga tanah itu. Nampaknya, betapa dalamnya mereka memaknai tanah yang telah lama dipelihara itu.
Tanah itu adalah tanah ulayat. Sigapiton adalah tanah adat. Mengapa terjadi ricuh yang mengerikan itu?. Mengapa pendekatan BPODT seperti itu?. Bukankah pembangunan harus transparan, semua taat azas. Bukankah semua kita harus taat terhadap peraturan?.
Dulu tanah itu diklaim kementerian kehutanan sebagai hutan lindung. Masyarakat tidak diperbolehkan mengambil kayu dan tidak boleh beraktivitas di lahan itu. Mereka dikejarkejar aparat hukum kalau mengambil kayu di tanah nenek moyang mereka. Mengapa kini ketika pemerintah butuh tanah langsung bisa diescapator?. Hutan lindung tiba tiba diganti menjadi APL ( Area Penggunaan Lain).
Langkah-langkah apa yang dilakukan pemerintah?. Mengapa rakyat tidak dilibatkan? Bukankah rakyat Sigapiton sudah eksis sebelum Indonesia Merdeka?. Negara berdiri sejatinya untuk mengukuhkan, untuk menjaga gangguan bagi rakyat untuk memiliki lahanya, bukan?. Negara berdiri untuk mensejahterakan rakyatnya, bukan?. Negara bukan merampas tanah rakyat atas nama hutan lindung kemudian diubah menjadi APL demi investor, bukan?.
Bagaimana sebetulnya konsep kita atau pemahaman kita berbagsa dan bernegara?. Baiklah, hutan lindung diubah menjadi APL. Mengapa menghasilkan jeritan rakyat Sigapiton dan harus berjuang melawan kehadiran negara melalui BPODT?. Ibu-ibu sejati itu sampai membuka pakaiannya untuk berjuang?.
Masyarakat Sigapiton itu masyarakat adat. Apa yang dilakukan BPODT untuk mendekati rakyat Sigapiton?. Masyarakat Sigapiton menyadari resiko kehadiran BPODT. Mengapa BPODT tidak mau mendengar?. Mengapa BPODT langsung memaksa?. Di Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAl) ditulis bahwa indikator penyelesaian konflik sosial adalah masyarakat Sigapiton secara sadar menerima pengalihan penggunaan lahan. Faktanya, masyarakat Sigapiton menolak hingga dengan cara membuka baju. Mengapa BPODT tidak taat kepada isi dokumen lingkungan?.
Mengapa masyarakat Sigapiton melakukan penolakan?. Apa yang ditolak?. Masyarakat Sigapiton menolak cara BPODT. BPODT tidak memberikan kepastian. Masyarakat Sigapiton belum tau mau diapakan kampung halamannya. Mengapa tidak dijelaskan?. Mengapa AMDAL terkesan disembunyikan?.
Jika BPODT terbuka dan pendekatan sesuai dengan prinsip dasar pembangunan berkelanjutan (sustainable development) tidak ada masalah. Mengapa BPODT menggunakan kekuasaan?. Siapa yang bertanggungjawab resiko pendekatan kekuasaan ini?.
Semua kita harus menyadari bahwa masyarakat Sigapiton adalah manusia beradab. Mereka menjaga peradaban ratusan tahun. Peradaban mereka menunjukkan lingkungan ekoligis yang asri.
Tidak perlu BPODT mengejar target dengan resiko pertumpahan darah, bukan?. BPODT lakukanlah evalusi sesuai amanat UU nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH). BPODT bekerjalah sesuai prinsip-prinsip dasar pembangunan berkelanjutan (sustainable development) yang disepakati Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Prinsip dasar itu adalah:
1. Keberlanjutan ekoligis
2. Keberlanjutan ekonomi
3. Keberlanjutan sosial budaya
4. Keberlanjutan politik dan keamanan.
Semuanya akan berjalan dengan baik jika semua kita taat prinsip dan taat azas. Mengapa BPODT mendekati rakyat Sigapiton dengan cara kekuasaan. Bukankah mereka rakyat yang sangat lemah?. Malu dong menggunakan kekuasaan untuk 144 KK yang teramat lemah itu. (gurgur manurung)
*Gurgur Manurung, alumnus pascasarjana IPB bidang Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup.