Indovoices.com –Persoalan rangkap jabatan komisaris BUMN sedang mencuat. Pasalnya, banyak Polri, TNI, dan ASN aktif lainnya yang menjabat di sana.
Berdasarkan temuan Ombudsman RI, ada 397 dewan komisaris (dekom) di BUMN yang rangkap jabatan pada 2019 dan 167 komisaris rangkap jabatan di anak usaha BUMN. Rinciannya, komisaris yang berasal dari kementerian ada 254 atau 64 persen, dari lembaga non kementerian ada 11 atau 28 persen, dan akademisi (perguruan tinggi) 31 atau 8 persen.
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Abra Talattov mengatakan, Kementerian BUMN perlu menindaklanjuti temuan Ombudsman RI. Salah satunya penyajian data terbaru (realtime) tentang orang-orang yang menduduki kursi komisaris BUMN, termasuk di BUMN dan anak usaha mana mereka menjabat.
Kata dia, meski di masing-masing situs resmi perusahaan negara menampilkan profil komisaris, tapi kadang datanya tidak lengkap, termasuk rangkap jabatan yang mereka duduki. Karena itu, kementerian diminta transparan mengenai data tersebut.
“Lagi-lagi masalahnya transparansi. Masalah data ini mestinya Kementerian BUMN, kalau sekarang tagline dan logonya berubah ya, harus jadi momentum. Itu yang harus kita tuntut sekarang adalah persoalan transparansi pejabat di BUMN di direksi dan komisaris dipublikasikan secara detail. Jadi satu orang ini bisa menjabat di komisaris mana saja di situs kementerian secara real time sehingga publik bisa mengawasinya,” kata Abra.
Kata Abra, saat ini menjadi momentum Erick Thohir untuk membenahi BUMN. Jadi, bisa kelihatan perbedaan dengan menteri sebelumnya. Dia meminta temuan dan rekomendasi Ombudsman RI tidak hanya jadi angin lalu saja.
Sebelumnya diberitakan, salah satu usulan dari Ombudsman RI adalah dibentuknya Peraturan Presiden yang memuat jatah penempatan komisaris BUMN dan honorarium. Anggota Ombudsman RI Alamsyah Saragih mengatakan, Perpres ini perlu dibuat agar tidak ada lagi benturan aturan di kementerian atau di instansi yang berkepentingan pada jabatan komisaris di BUMN. Selain itu, untuk kebutuhan yang dianggap tidak terakomodasi dalam undang-undang tentang BUMN.
“Maka dibuat lah plotting dari TNI, Polri, dan ASN aktif yang boleh ditetapkan dalam BUMN jenis apa saja. Nah itu ditetapkan dalam Perpres,” kata dia.
Jika sudah diatur BUMN mana saja yang boleh diisi oleh perwakilan pemerintahan, dalam Perpres itu juga perlu diatur apakah mereka yang menjabat adalah abdi negara yang masih aktif atau nonaktif.
Kalau pun peran si abdi negara yang aktif sangat dibutuhkan, misalnya karena sesuai kompetensi atau masalah yang dihadapi di BUMN, maka Jokowi juga perlu membuat aturan tentang penghasilan yang didapat.
“Kalau memang masih aktif, bagaimana dengan penghasilannya? Apakah rangkap atau tidak? Itu perlu diatur dalam Perpres. Tentu jika dianggap tidak layak rangkap penghasilan, maka perlu diatur di Perpres itu tentang single salary system-nya, penggajian tunggal,” ujar Alamsyah.
Jika penempatan dan sistem penggajian sudah diatur dalam Perpres, proses rekrutmen diserahkan sepenuhnya ke Kementerian BUMN yang diatur dalam Peraturan Menteri BUMN seperti selama ini. Alamsyah menilai banyak Permen BUMN yang diteken menteri sebelum Erick Thohir, yang harus diperbaiki agar penyaringan Pengurus Komisaris BUMN lebih ketat dan mumpuni, misalnya dari sistem seleksi dan penilaiannya.(msn)