Dunia Terbalik, Antara Saudi Dan Indonesia
Manahel Otaibi, 25, memeriksa telepon genggamnya saat dia berjalan sendiri dengan pakaian ala barat di Tahlia Street, Riyadh, Arab Saudi, pada 2 September 2019. Sebuah aktifitas yang mungkin tidak pernah terbayangkan dapat dilakukan olehnya 2-3 tahun yang lalu.
Jangankan berpakaian ala barat, untuk berjalan sendiri tanpa ada wali yang mendampingi saja merupakan hal yang mustahil dilakukan bila tidak ingin ditangkap oleh polisi syariah (polisi moral), ketika itu.
Fasilitas se-“istimewa” ini bukanlah satu-satunya yang bisa dinikmati para wanita di Arab Saudi kini, sebuah negara berbentuk kerajaan yang dulu terkungkung oleh aturan yang kolot dan ultrakonservatif, akibat beragam doktrin ekstrem dan radikal.
Perubahan itu terjadi tidak lepas dari campur tangan langsung Putra Mahkota Arab Saudi, Mohammed bin Salman, atau dikenal dengan singkatan MBS, yang mentransformasi dan memodernisasi negerinya.
Keinginan mengubah kesan kerajaan dengan wajah Islam yang ramah itu diterjemahkan langsung dengan menerapkan berbagai kebijakan yang membuka diri dengan dunia luar, dunia yang selama ini dianggap tabu oleh Saudi.
Perempuan yang selama ini diposisikan sebagai warga negara kelas dua, mulai diberikan ruang. Seperti kebebasan mengemudi, bekerja di sektor publik, dan keterlibatan dalam bidang olahraga. Untuk kali pertama misalnya, perempuan Saudi bisa terlibat dalam berbagai kejuaraan olah raga, tak terkecuali dalam pertandingan sepak bola perempuan.
Sebelumnya pada tahun 2018 yang lalu, bioskop komersial pertama berhasil eksis di Riyad setelah keberadaannya dilarang selama hampir 35 tahun.
MBS juga memperlihatkan keseriusannya berinteraksi dengan dunia luar dengan mempromosikan pariwisata di Provinsi al-Ula, yang oleh sebagian ulama dilarang dikunjungi merujuk pada tafsir atas teks hadis yang masih sangat diperdebatkan. Pariwisata al-Ula menawarkan situs arkeologi yang didominasi peninggalan Kerajaan Nabatea dari abad ke-1 Masehi. Sebuah situs yang berusia ribuan tahun dan nyaris tak terjamah. Kini, ditawarkan ke dunia internasional, bersaing dengan Petra di Yordania atau piramida Mesir.
Dalam melawan “terorisme gobal” dan “kekerasan domestik”, Putra Mahkota Muhammad Bin Nayef terjun langsung menjadi aktor utama di barisan terdepan memimpin melawan kelompok-kelompok ultrakonservatif tersebut.
Dengan demikian tidak memberi ruang secuilpun pada kelompok radikal-ekstrimis untuk berkembang biak dan melampiaskan kekerasan di jalan-jalan dan arena publik lain.
Sebagai sebuah negara yang sangat mementingkan “keamanan dan kenyamanan nasional”, Saudi tidak mentolerir segala tindakan massa dan “kekerasan sipil” yang dipandang mengganggu atau berpontensi mengancam stabilitas kerajaan dan masyarakat.
Hal ini tentu berbanding terbalik dengan sebuah negara yang berjarak 7900 km dari Saudi yang bernama Indonesia.
Bila Saudi berusaha memodernisasi masyarakatnya, maka di Indonesia, yang terlihat justru fenomena sebaliknya.
Sejumlah kelompok Islam di Indonesia bukannya menjadi lebih modern, progresif, toleran, dan damai tetapi justru semakin “kolot”, konservatif, intoleran, dan keras.
Pelarangan pembangunan tempat ibadah, persekusi, pengusiran terhadap penganut agama dan kepercayaan lokal yang menjadi kelompok minoritas, sudah menjadi berita yang semakin sering kita baca di berbagai media akhir-akhir ini.
Beberepa bulan yang lalu, di bulan Juli 2019, Pendeta Tigor Yunus Sitorus (49) harus mengurungkan niatnya mendirikan tempat ibadah, karena mendapat penolakan oleh sekelompok orang. Padahal pengajuan pembangunan rumah ibadah tersebut telah memenuhi persyaratan Peraturan Bupati (Perbub) Kabupaten Bantul nomor 98 tahun 2016 tentang Pedoman Pendirian Tempat Ibadah. Serta telah mendapat persetujuan pemerintah dengan keluarnya Izin Mendirikan Bangunan (IMB) yang terbit per 15 Januari 2019.
Di Bekasi, Rencana pembangunan pura di Desa Sukahurip, Kabupaten Bekasi, ditolak sekelompok orang. Terlontar ucapan ‘jihad’ dari beberapa orang pedemo di sekitar calon lahan pura.
Gerombolan preman berbaju ormas keagamaan, menjamur di berbagai daerah. Mereka mendadak menjadi “Polisi Syariat” yang merasa berhak menentukan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh kelompok minoritas. Padahal Polisi Syariat yang asli di Saudi sana malah sudah dipreteli wewenangnya.
Beberapa hari yang lalu, sempat heboh tentang toko roti Tous Les Jours di Jakarta yang melarang untuk membuat kue dengan ucapan selamat hari Natal, Imlek, Halloween, dan Valentine. Pihak manajemen Tous Les Jours pun beralasan peraturan tersebut dibuat sebagai salah satu upaya untuk mendapatkan sertifikasi halal dari salah satu ormas. Yang justru kewenangan menerbitkan sertifikasi halalnya telah diambil alih pemerintah.
Berbagai elemen ormas Islam dan tokoh-tokoh Muslim juga bereuforia dengan “simbol-simbol keislaman” klasik, termasuk simbol-simbol kebudayaan Arab zaman dulu yang kini bahkan sudah ditinggalkan oleh masyarakat Arab kontemporer seperti tradisi tata-busana.
Tak luput juga di pertengahan November ini, seratusan investor tertipu Kampoeng Kurma Bogor, Jawa Barat hanya karena ada embel-embel syariah serta janji dari pengembang yang ingin membangun perumahan dengan nuansa Islami dengan menanam pohon kurma, pacuan kuda, dan area memanah.
Dari pemakaian bahasa sehari-hari, juga terlihat bagaimana sejumlah umat Islam, terutama yang tinggal di kota, bereuforia dengan Bahasa Arab yang menurut mereka sebagai “bahasa agamis” dan “bahasa surga” seraya “mengkafirkan” Bahasa Inggris.
Lucunya di Saudi sendiri dan juga kawasan Arab Teluk lainnya, pemakaian Bahasa Inggris telah berkembang pesat saat ini, bukan cuma di dunia pendidikan, tetapi juga di sektor bisnis-perekonomian dan komunikasi sehari-hari.
Berbagai fenomena sosial-kultural seperti yang saya jelaskan di atas menunjukkan kontradiksi nyata di kedua negara yang berpenduduk mayoritas Muslim ini. Perbedaan lainnya lagi adalah di Saudi, upaya memerangi kelompok manipulator agama dipimpin langsung oleh MBS.
Sementara di Indonesia, kehadiran negara dalam permasalahan ini sangat minim kalau tidak mau dikatakan tidak ada. Di kementerian sendiri, para menteri baru sebatas mengecam dan akan. Akan melarang celana cingkrang di instansi pemerintah, akan mengambil tindakan terhadap ASN yang berindikasi radikal, akan.. akan dan akan…
Masyarakat Islam Saudi kini sedang bergeliat menuju “umat modern”, sementara (sebagian) kaum Muslim Indonesia justru sedang bereuforia menjadi “masyarakat klasik” menjurus ke “komunitas primitif”, khususnya bagi mereka yang hobi melakukan tindakan barbar dan kekerasan.
Untuk membaca tulisan saya lainnya, silahkan klik di sini