Indovoices.com – “Awal divonis gagal ginjal, hidup terasa tidak tentram. Namanya orang terkena penyakit, mental juga ikut terganggu. Pikiran mengambang dan tiap malam sering terbangun karena tiba-tiba merasa kaget. Namun ada suatu titik di mana saya punya keyakinan suatu saat saya akan sembuh. Sejak itu saya putuskan untuk melanjutkan hidup dengan gembira dan tidak murung karena penyakit.”
Itulah sepenggal kisah yang disampaikan Anthony (72), salah seorang peserta Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS) asal Tarakan, Kalimantan Utara. Ia merupakan pasien gagal ginjal yang rutin menjalani cuci darah sejak tahun 2010 hingga akhir tahun 2017.
“Awalnya karena prostat yang terlambat untuk dioperasi. Saluran kemih saya tersumbat, jadi urin kembali diolah ginjal dan merusak ginjal,” ungkap Anthony.
Gejala yang dirasakan Anthony saat itu seperti susah tidur, badan gatal-gatal dan prostat yang semakin parah ketika itu memaksanya untuk segera ke UGD RSUD Tarakan. Dari dokter yang memeriksa, ia diharuskan untuk menjalani cuci darah sebelum melakukan Prostatektomi (operasi prostat).
Namun setelah menjalani operasi, cuci darah tak serta merta ikut terhenti. Setelahnya, pensiunan TNI AL ini harus rutin menjalani cuci darah hingga dua kali dalam seminggu. Hingga akhirnya dokter menyatakan pada September 2017 kondisinya tubuhnya sudah normal kembali.
“Pada masa itu saya juga sering dengar dari orang-orang. Kalau tidak salah untuk sekali cuci darah biayanya sampai Rp1,7 juta. Sedangkan saya sendiri harus cuci darah dua kali dalam seminggu. Tidak mampu saya bayangkan, berapa biaya yang dibutuhkan jika selama 7 tahun menjalani cuci darah tanpa menggunakan kartu JKN-KIS,” tambahnya lagi.
Seperti diakui Anthony, dirinya sangat bersyukur menjadi peserta mandiri JKN-KIS yang dikelola Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Dengan prinsip gotong-royong melalui program JKN-KIS, dirinya mampu bertahan hingga kini tak lagi harus menjalani cuci darah.
Pak Anthony hanya satu dari sekian juta pemegang kartu JKN-KIS yang turut merasakan manfaat dari program asuransi kesehatan ini. BPJS Kesehatan sebagai pengelola program jaminan sosial ini sebagai amanat dari Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) serta pembentukannya melalui UU No 24/2011 tentang BPJS. Sejak resmi beroperasi per 1 Januari 2014, sudah jutaan warga Indonesia merasakan layanan jaminan kesehatan tersebut.
Melalui konsep gotong-royong, asuransi jaminan kesehatan ini memberikan kesetaraan antara warga mampu dan tidak mampu, bisa dipakai untuk melahirkan hingga penyakit lanjut usia. Seluruh tindakan medis peserta BPJS dapat ditangani oleh rumah sakit, tidak ada pengecualian atau pemeriksaan awal seperti halnya asuransi umum.
Sebagai pengelola asuransi jaminan sosial terbesar di dunia tentu BPJS Kesehatan dalam lima tahun terakhir telah menjalankan tugas mereka dengan berbagai kendala di dalamnya. Meski pemerintah sudah memberikan komitmen tinggi terkait dukungan anggaran, persoalan kualitas dan keterjangkauan layanan masih menjadi pekerjaan rumah bersama.
Sejujurnya, sejak tahun 2014 nilai bantuan iuran BJPS dari APBN/APBD untuk rakyat tak mampu dan iuran yang dibayarkan oleh peserta mandiri maupun pekerjaan penerima upah seperti swasta/ASN/TNI/Polri masih tidak di bawah nilai aktuaria penjaminan layanan fasilitas kesehatan di Indonesia. Ketika asuransi umum mematok premi termurah rata-rata Rp200 ribu hingga Rp350 ribu, BPJS Kesehatan cukup mematok Rp25.500 untuk peserta kelas III. Adapun kelas tertinggi (kelas I) hanya Rp80.000. Publik kembali dikejutkan oleh rencana pemerintah untuk menaikan iuran BPJS Kesehatan mulai Januari 2020. Ini adalah kenaikan kedua setelah 1 April 2016. Ketika itu, iuran yang dinaikkan hanya untuk kelas I, dari Rp59.500 jadi Rp80.000 dan kelas II dari Rp42.500 menjadi Rp51.000. Upaya penaikan ini masih jadi pembahasan alot antara pemerintah dan DPR RI.
Apa yang menjadi penyebab penaikan iuran BPJS Kesehatan? Apakah pemerintah lepas tanggung jawab untuk menanggung perlindungan kesehatan rakyat, khususnya bagi kaum papa?
Menurut Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, penaikan iuran BPJS Kesehatan ini diiringi dengan perbaikan sistem JKN secara keseluruhan sebagaimana rekomendasi Badan Pengawasan Keuangan Pembangunan (BPKP), baik terkait kepesertaan dan manajemen iuran, sistem layanan dan manajemen klaim, serta strategic purchasing. Rencana kenaikan iuran ini juga adalah hasil pembahasan bersama oleh unit-unit terkait, seperti Kemenko PMK, Kemenkeu, Kemenkes, dan Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN). Bukan hanya ketetapan dari menteri Keuangan. Dan nantinya akan ditetapkan dengan Peraturan Presiden (Perpres).
Tentang penaikan iuran, perlu diperhatikan bahwa di antara penyebab utama terjadinya defisit program JKN yang sudah terjadi sejak awal pelaksanaannya adalah besaran iuran yang underpriced dan adverse selection pada peserta mandiri. Banyak peserta mandiri yang hanya mendaftar pada saat sakit dan memerlukan layanan kesehatan yang berbiaya mahal, dan setelah sembuh berhenti mengiur.
Mengapa iuran harus naik?
Sejak tahun 2014, setiap tahun program JKN selalu mengalami defisit. Sebelum memperhitungkan intervensi Pemerintah baik dalam bentuk PMN (Penanaman Modal Negara) maupun bantuan APBN, besaran defisit JKN masing-masing Rp1,9 triliun (2014), Rp9,4 triliun (2015), Rp6,7 triliun (2016), Rp13,8 triliun (2017), dan Rp19,4 triliun (2018).
Dalam rangka mengatasi defisit JKN itu, Pemerintah memberikan bantuan dalam bentuk PMN sebesar Rp5 triliun (2015) dan Rp6,8 triliun (2016) serta bantuan dalam bentuk bantuan belanja APBN sebesar Rp3,6 triliun (2017) dan Rp10,3 triliun (2018).
Tanpa dilakukan kenaikan iuran, defisit JKN akan terus meningkat, yang diperkirakan akan mencapai Rp32 triliun di tahun 2019, dan membengkak menjadi Rp44 triliun pada 2020 dan Rp56 triliun pada 2021.
Dalam rangka menjaga keberlangsungan program JKN, maka penaikan iuran itu memang diperlukan. Jangan sampai program JKN yang manfaatnya telah dirasakan oleh sebagian besar penduduk Indonesia terganggu keberlangsungannya.
Selama tahun 2018, total pemanfaatan layanan kesehatan melalui JKN mencapai 233,9 juta layanan, yang terdiri dari 147,4 juta layanan pada Fasilitas Kesehatan Tahap Pertama (FKTP), 76,8 juta layanan rawat jalan RS, dan 9,7 juta layanan rawat inap RS. Secara rata-rata, jumlah layanan kesehatan melalui JKN mencapai 640.822 layanan setiap hari.
Boleh dibilang dari segi Perlindungan Kesehatan Semesta atau Universal Health Coverage (UHC), Indonesia tidak kalah dengan India dan Brazil misalnya.(jpp)