Beda Cara Hadapi Pemanasan Global Antara Singapura Dan Indonesia
Ternyata seminggu sebelum Jokowi mengumumkan rencana kepindahan Ibukota dari Jakarta ke Kalimantan Timur. Singapura sudah terlebih dahulu mengumumkan rencananya untuk membangun tembok laut senilai setidaknya US$72 miliar (Sg$100 miliar)
Tembok laut itu dibangun dengan tujuan untuk mengantisipasi kenaikan air laut akibat perubahan iklim dan pemanasan global. Hal itu diungkapkan perdana menteri Singapura, Lee Hsien Loong dalam pertemuan kota dan negara melawan dampak perubahan iklim, Minggu 18 Agustus 2019.
Tembok ini rencananya akan dibangun dengan ketinggian tiga meter (ada kemungkinan akan lebih tinggi lagi hingga lima meter), dan diharapkan akan mampu bertahan hingga setidaknya 100 tahun mendatang.
Rencana pembangunan ini mencontoh negara Belanda yang sudah terlebih dahulu membangun tembok di sepanjang pesisir laut dan membuat kawasan kering yang disebut dengan polders di antara laut dan daratan.
Sebagai antisipasi pemanasan global dan kenaikan air laut. Teknokrat Negara kota ini juga telah bersiap-siap menghadapi kemungkinan terburuk. Itu sebabnya mengapa terminal terbaru bandara Changi akan dibangun 5,5 meter di atas permukaan laut.
Berbeda dengan Singapura yang tidak memiliki banyak pilihan, Indonesia yang memiliki pulau-pulau dengan daratan lebih tinggi dan luas, lebih memilih untuk merelokasi Ibukotanya ke Kalimantan Timur (Kaltim).
Walaupun disebutkan salah satu tujuannya adalah pemerataan ekonomi yang selama ini tertumpu di pulau Jawa. Jokowi juga mengkonfirmasi pengaruh tentang dampak penurunan permukaan tanah DKI Jakarta yang diperkirakan tenggelam rata-rata 1-15cm per tahun. Hampir setengah dari kota Jakarta sekarang berada di bawah permukaan laut.
Kekhawatiran yang cukup beralasan mengingat prediksi ilmiah para ahli menyebutkan permukaan laut mungkin akan naik sekitar setengah meter abad ini. Namun pernyataan ini dianggap terlalu hati-hati karena faktanya bisa lebih dari itu, apalagi bila kenaikan suhu di atas 2 derajat Celcius (saat ini sudah mengarah ke 3 derajat Celcius).
Terlepas dari berapa senti meter pun level kenaikan yang dicapai oleh laut, diperkirakan Asia yang akan menerima dampak terbesarnya. Hal ini disebabkan banyak kota-kota besarnya yang terletak dekat dengan garis pantai.
Di India ada Calcutta, Chennai, dan Mumbai. Di China ada Shanghai, Sanya, Xiamen, Putuo Island, Beidaihe dan Beihai. Sedangkan Indonesia selain Jakarta, ada Padang, Menado, Makassar serta kota-kota lainnya, semuanya berada dalam posisi rentan tenggelam akibat kenaikan air laut ini.
Sekretaris Jendral PBB, Antonio Guterres, pada bulan September 2018 yang lalu juga telah mewanti-wanti bahwa dunia sedang kehabisan waktu untuk menghentikan “perubahan iklim ekstrem,” kecuali jika semua negara mengambil langkah dramatis hingga 2020 untuk mengurangi emisi karbondioksida.
Guterres mengatakan ilmuwan sudah memperingatkan dunia mengenai bahaya pemanasan global sejak beberapa dekade silam, tapi “terlalu banyak pemimpin yang menolak untuk mendengar, dan terlalu sedikit yang bertindak dengan visi yang sesuai dengan temuan ilmiah,” ujarnya ketika itu.
Meskipun pusat-pusat kota di Asia tidak akan tersapu dalam semalam. Akan tetapi kerugian yang timbul akibat banjir dan hantaman badai, biayanya diperkirakan dapat mencapai $ 1 triliun pada tahun 2050, menurut C40 Cities, sebuah badan amal yang berbasis di AS.
Pemindahan Ibukota bukanlah satu-satunya cara yang ditempuh Jokowi guna mengantisipasi pemanasan global ini. Dengan kewenangannya, Jokowi juga mendorong percepatan pemakaian kendaraan listrik, melalui perpres yang ditandatanganinya pada awal Agustus 2019 kemarin. Setelah satu bulan sebelumnya Jokowi juga mengundang para kepala daerah dan mendesak percepatan pembangunan pembangkit listrik tenaga sampah di masing-masing daerah.
Namun tetap saja tindakan Jokowi memindahkan Ibukota yang mendapatkan sorotan terbesar. Di tengah pro kontra di dalam negeri atas pemindahan itu. Pro kontra juga terjadi melalui pemberitaan media luar negeri Nikkei Asian Review mengulasnya dengan judul:
“Asia’s megacities must learn from Indonesia’s capital move”
(Kota-kota besar Asia harus belajar dari Kepindahan Ibukota Indonesia)
(https://asia.nikkei.com/Opinion/Asia-s-megacities-must-learn-from-Indonesia-s-capital-move)
Sementara Bloomberg justru menyarankan agar negara-negara di Asia (termasuk Indonesia) untuk membenahi kota-kotanya saja alih-alih memindahkannya, melalui judul:
“Asia Should Fix Its Megacities, Not Move Them”
(Asia harusnya membenahi kota-kota besarnya, bukan memindahkannya)
(https://www.bloomberg.com/view/articles/2019-08-31/indonesia-should-fix-jakarta-rather-than-shifting-capital)
Akankah tindakan Jokowi yang memindahkan Ibukota dari Jakarta ke Kaltim akan dicontoh oleh negara-negara asia lainnya? Atau mereka lebih memilih mendirikan tembok laut ala Singapura? Kedua pilihan ada untung ruginya, kedua pilihan ada konsekuensi yang harus dipikul di masa depan. Bagaimana menurut Anda?
Untuk membaca tulisan saya yang lainnya, dapat diklik di sini