Indovoices.com- Baik melalui Tol Jagorawi, Tol Antasari, maupun Tol Lingkar Luar, waktu tempuh dari Kota Depok ke Ibu Kota Negara Jakarta rerata hanya berkisar satu jam belasan menit. Depok, bersama dengan Bekasi, Tangerang, dan Bogor memang termasuk sebagai kota satelit Jakarta. Depok bukanlah kawasan di pelosok, nan jauh di sana. Tapi di Kota Depok angka stunting atau kekerdilan nyatanya pernah begitu signifikan.
Pada 2017, misalnya, Dinas Kesehatan (Dinkes) Pemerintah Kota (Pemkot) Depok menyebut ada 5,97 persen bayi yang terkena kekerdilan. Catatan yang lebih mengenaskan terkait kekerdilan yang menimpa anak-anak di kawasan ini tampak pada data 2015. Di mana persentasenya mencapai 7,22 persen. Kendati setiap tahun senantiasa terkoreksi, kekerdilan masih harus menjadi perhatian serius.
Di Depok, kekerdilan terhadap anak relatif terjadi akibat ibu hamil yang kekurangan sel darah merah atau anemia. Lantaran itulah, dilakukan upaya penanganan dengan memberikan makanan tambahan pada ibu hamil. Langkah pencegahan itu dihelat di Puskesmas, Posyandu hingga PKK di Depok, melalui pendekatan program 1.000 hari pertama kehidupan (HPK).
Secara rutin Dinkes Depok menggelar penyuluhan agar balita stunting diberi ASI eksklusif di usia 0-6 bulan. Kemudian, usia berikutnya diberi pendamping makanan tambahan. Perhatian kepada ibu hamil agar kebutuhan gizi terpenuhi juga dilakukan pencegahan bayi lahir stunting.
Upaya simultan dan konsisten yang digelar jajaran Pemerintah Depok pun berbuah manis. Kini di Kota Depok, berdasarkan data Dinas Kesehatan pada 2018, tercatat kasus anak bawah dua tahun (Baduta) dan anak bawah lima tahun (Balita) yang menderita stunting sebesar 5,2 persen. Menurut Pelaksana Gizi Dinas Kesehatan Kota Depok Deasy Martini, total jumlah balita di Kota Depok tercatat sebanyak 130.000 anak.
Penanganan terhadap stunting memang bukanlah tanggung jawab Pemerintah Depok belaka, ataupun bahkan Pemerintah Indonesia. Pasalnya penanganan kekerdilan telah menjadi agenda dunia pada 2030, yang termasuk dalam 17 upaya memberangus malnutrisi. Kendati secara nasional, Indonesia pun menargetkan dalam RPJMN 2019 untuk menekan angka stunting baduta hingga sebesar 28 persen.
Kekerdilan pada balita dan baduta itu sendiri merupakan kondisi khusus di mana anak gagal tumbuh. Wujudnya bisa kurus ataupun pendek. Kemudian gagal kembang, yang tampak dari adanya gangguan kognitif. Lalu, terjadi pula kondisi gagal metabolisme tubuh, sehingga rentan mengidap penyakin tidak menular.
Persoalan kesehatan khusus itu terjadi karena multidimensi. Berdasarkan data Riskesdas 2013 ada 37,2 persen atau setara dengan 9 juta balita dalam kondisi stunting. Sedangkan data Sirkesnas pada 2016 menyebut 33,6 persen. Dengan kondisi itu, maka jelas bahwa Indonesia mengalami masalah kesehatan, karena ambang batas yang ditentukan adalah 20 persen. (jpp)