Mendidik anak anak, tidak cukup hanya melalui jalur formal di rumah sekolah. Karena di sekolah yang akan diperoleh adalah ilmu pengetahuan. Walaupun ada peribahasa yang mengatakan bahwa: ”Knowlegde is the way to success”, yang artinya Ilmu adalah jalan menuju sukses, namun sekolah tidak mengajarkan ilmu kehidupan. Salah satunya adalah pemahaman mendasar, bahwa tidak semua hal dalam hidup ini, dapat di-matematikakan.
Sebagai contoh, Ilmu Kemanusiaan, tidak mengenal ilmu hitung dan juga tidak mengenal ilmu ekonomi, yang senantiasa melandaskan semua gerak dengan nilai atau angka-angka. Ilmu kemanusiaan adalah: ”one way communication” dalam keartian, tidak bertanya: ”Kalau saya keluarkan uang sejumlah ini, terus saya akan dapat apa?”.
Dalam ilmu kemanusiaan hanya mengenal jalan satu arah atau one way communication, yakni ketika memberi, ya memberi.
Mendidik Anak Mempraktekkan Hidup Berbagi
Dua tahun lalu, kami bersama anak mantu dan cucu-cucu, singgah ke Bali, sebelum melanjutkan perjalanan ke Australia.
Kesempatan berlibur di pulau Bali, kami manfaatkan untuk mengajak cucu cucu kami singgah di salah satu Panti Asuhan, Kami tidak memilih Panti Asuhan yang seiman atau sesuku, tapi hanya bertanya kepada sopir taksi, kira kira Panti asuhan yang kurang mendapatkan kunjungan. Kesanalah tujuan kami. Sopir taksi heran dan memberitahu pada kami, bahwa Panti Asuhan tersebut Pengelola nya beragama Hindu, namun anak-anak yang ditampung di sana adalah lintas suku dan agama.
Tidak ada masalah dengan suku, budaya,maupun agama dari anak-anak tersebut, karena untuk berbuat baik,tidak harus memilah milah. Kasih itu tidak dibatasi oleh sekat atau dinding pembatas, Kasih itu adalah lintas suku, budaya dan agama.
Mengubah Sikap Mental Anak-Anak
Setelah berkendara selama lebih kurang satu jam, kami tiba di lokasi yang bangunannya mirip dengan pura, seperti informasi yang disampaikan oleh sopir taksi yang kami tumpangi.
Kami turun dari kendaraan dan menemui pengelola dan minta ketemu dengan anak-anak. Dan dengan senang hati, oleh pengelola, kami dipersilahkan menunggu. Dalam hitungan menit, ada belasan anak-anak yang keluar dari ruangan dan menemui kami. Sementara yang lain, masih belum selesai dengan pelajaran mereka.
Menengok anak-anak yatim ini, hati siapapun akan terenyuh. Tampak mereka masih ragu-ragu untuk datang mendekat. Wajah wajah kecil yang ada dihadapan kami, terlihat sangat merindukan kasih sayang orang tua, yang tak pernah mereka rasakan, sebagaimana anak anak lain seusia mereka.
Saya peluk mereka satu persatu, dengan perasaan bercampur aduk. Tiba-tiba seorang gadis kecil berusia sekitar 7 tahun, berlari ke arah kami. Dan langsung memeluk saya kuat kuat. Padahal saya baru sekali ini datang kesini. Namun mungkin anak-anak ini sudah sangat
lama merindukan sosok yang akan memeluk mereka, maka saya membalas memeluknya erat-erat.
“Opaa…Opaa..” Katanya lirih.. Maka rontoklah pertahanan saya.. tak kuasa saya menahan haru. “Nama saya Maesia: Opa…” kata gadis kecil ini, tanpa diminta.…. Bergantian saya dan istri memeluk Maesia.. dan sekali lagi kami larut dalam rasa haru yang mendalam…..
Cucu Kami Ikut Memeluknya
Maesa adalah yang terkecil diantara anak-anak yang hadir pada saat itu… Kerisha, cucu kami ikut memeluk dan merangkulnya. Kami memandangnya dengan rasa bangga, karena ternyata cucu kami, tanpa diminta, apalagi disuruh, dengan sepenuh hati sudah ikut larut dalam suasana haru tersebut.
Kunjungan itu sungguh-sungguh merupakan liburan yang sangat bermakna bagi kami sekeluarga. Setelah lebih kurang satu jam kami bersama anak-anak ini dan menyerahkan ala kadarnya sumbangan dari cucu-cucu kami, maka kami pun pamitan.
Berbagi pada anak-anak yang sangat membutuhkan kasih sayang, menghadirkan sebuah kebahagiaan yang tak terkirakan. Ketika dengan perlahan, saya melepaskan tangan tangan Maesa yang mungil, serasa masih ingin memeluk saya, ia berkata lirih: “Opaaa..kapan kita bisa bertemu lagi?”
Sebuah kalimat yang tak biasa diucapkan oleh seorang kanak-kanak berusia 7 tahun, namun pengalaman hidup yang sarat dengan kerinduan, telah menjadikannya lebih dewasa daripada usia yang sesungguhnya.
Melalui kunjungan ke Panti Asuhan, anak-anak secara alami mendapatkan pelajaran hidup, bahwa:
Mereka harus lebih bersyukur, mendapatkan kasih sayang orang tua,
tinggal bersama keluarga.
Memahami bahwa di luar sana, banyak anak-anak tidak seberuntung mereka.
Bahkan ada yang sejak lahir, tidak pernah mengenal wajah orang tua mereka, melahirkan rasa kepedulian terhadap anak-anak seusia.
Hari itu bukan hanya cucu-cucu kami saja yang mendapatkan pelajaran hidup, tapi juga kami semuanya, yakni: “Berbahagialah orang yang memberi, daripada orang yang menerima”.
Tjiptadinata Effendi