Indovoices.com-Para ahli memperkirakan Taiwan sebagai sebuah negara yang berpenduduk 23 juta orang tersebut akan sangat terpengaruh oleh Covid-19.
Fakta yang terjadi, kendati 850.000 warganya tinggal di Daratan China, negara yang belum diakui PBB tersebut hanya memiliki 169 kasus yang dikonfirmasi dengan dua kematian.
Jumlah tersebut terhitung sangat rendah jika melihat kedekatan negara itu dengan China dan frekuensi penerbangan antar negara.
Ahli dari Universitas Stanford, menganalisis, keberhasilan Taiwan sebagian besar dipengaruhi oleh mobilisasi strategi awal dan rencana spesifik yang dipelajari Taiwan saat wabah SARS 2003 silam.
Jason Wang yang merupakan dokter anak dan Direktur Pusat Kebijakan, Hasil dan Pencegahan di Stanford University mengumpulkan data terkait bagaimana Taiwan menghadapi wabah sejak Januari.
Ia awalnya mengumpulkan data hanya untuk menentukan aman tidak terbang ke Taiwan pada Februari.
“Saya mencoba memahami tanggapan pemerintah jika itu efektif dan pada satu titik kolega saya, Bob Brook, mendengarkan cerita ini dan berkata, ini agak menarik, Anda bisa agak memahami apa yang mereka lakukan, mari kita buat daftar untuk membantu orang lain dan negara lain,” ujar Wang sebagaimana dikutip dari ABC News.
Tindakan awal
Usai wabah SARS, Taiwan mendirikan Pusat Komando Kesehatan Nasional dengan cabang yang khusus fokus pada respons wabah besar.
Cabang itu sekaligus sebagai pos komando pusat untuk komunikasi langsung secara transparan.
Saat Cina pada 31 Desember 2019 mengumumkan mengenai virus tak dikenal keluar dari Wuhan, pejabat Taiwan segera membatasi penerbangan ke dan dari negara itu.
Para penumpang juga mulai disaring.
Seminggu kemudian, Taiwan mulai mengarantina siapa pun yag menunjukkan gejala.
Selanjutnya pada 20 Januari, Taiwan secara resmi mengaktifkan Pusat Komando Epidemi Sentral cabang (CECC) di NHCC .
Pusat Komando tersebut memungkinkan koordinasi dengan berbagai kementerian dalam memberlakukan kebijakan dan strategi yang sudah ada.
“Selama dua bulan terakhir CECC yang dipimpin oleh menteri kesehatan dengan cepat menerapkan 124 tindakan. Mereka melakukannya dalam rentang lima minggu,” kata dia.
Kerja sama lintas lembaga
Ia menyebut setiap minggu diberlakukan tiga atau empat tindakan.
Dan beberapa tindakan membutuhkan kerja sama lintas lembaga.
Tindakan tersebut di antaranya kontrol perbatasan dari udara dan laut, mengidentifikasi kasus, karantina kasus yang mencurigakan, mengelola alokasi sumber daya, briefing pers harian, mengidentifikasi informasi palsu dan merumuskan kebijakan ekonomi untuk membebaskan keluarga dan bisnis.
Tindakan-tindakan tersebut sangat mungkin dilakukan di Taiwan karena adanya integrasi big data dan teknologi di sana.
Dalam satu hari pemerintah Taiwan mampu menggabungkan data dari Administrasi asuransi Kesehatan Nasional dan Badan Imigrasi.
Hal itu bermanfaat untuk mengidentifikasi riwayat perjalanan 14 hari pasien.
Selain itu, dengan data dari sistem kependudukan dan kartu masuk orang asing, memungkinkan negara itu untuk mengetahui siapa saja yang berisiko tinggi, memerlukan karantina sendiri, dan memungkinkan orang itu untuk dipantau melalui ponsel mereka.
Bagi penumpang dengan risiko rendah bisa memindai kode QR pioritas saat mereka berangkat atau datang untuk melengkapi formulir pernyataan kesehatan.
Hal ini membuat mereka mendapatkan izin imigrasi lebih cepat.
Pada 18 Februari, pemerintah membua kebijakan. Yakni, memberikan rumah sakit, klinik, dan apotek untuk mengakses riwayat perjalanan setiap pasien.
Audrey Tang, Menteri Digital Taiwan yang juga merupakan menteri termuda yang sebelumnya tak memiliki portofolio untuk memegang jabatan, dinilai sebagai pembuat gebrakan.
Ia memanfaatkan kecerdasan buatan untuk mendapatkan data guna membuat pembaruan digital real time.
Pembaruan itu mampu memperingatkan warga agar menghindari daerah-daerah berisiko.
Selain itu, ia juga membua peta digital yang akan memberitahu lokasi terdekat, tempat yang masih menyediakan masker.
Wakil Presiden Taiwan Chen Chien-Jen sampai memuji Tang atas tindakannya.
Ia menyebut Tang bukan hanya tokoh kunci dalam upaya pencegahan penyakit nasional, tetapi juga memberikan contoh penerapan kecerdasan buatan dalam pencegahan penyakit.
Komunikasi yang sering dan transparan
Di luar briefing pers yang rutin diumumkan secara harian, pejabat tinggi kesehatan pemerintah termasuk menteri kesehatan, wakil presiden dan ahli epidemiologi terkemuka secara teratur memberikan pengumuman layanan publik mengenai perjalanan, saran kebersihan pribadi dan bahaya menimbun masker.
Informasi tersebut tersedia dan bisa diakses secara online.
Semua sektor baik publik maupun swasta kompak bekerja sama dengan rekomendasi pemerintah.
Di antaranya adalah penyediaan pembersih tangan penyaringan suhu orang sebelum masuk gedung di hampir setiap mal toko, restoran dan kantor.
Selain itu, Kementerian Luar Negeri secara aktif mencari dan melawan informasi palsu serta berbagai serangan cyber China.
Langkah yang diambil Taiwan selanjutnya adalah mulai mengalokasikan dana dan personel militer untuk memperluas kapasitas produksi masker negara itu.
“Pemerintah berhenti mengekspor dan mulai berproduksi,” kata Wang.
Selama ini, memakai masker dianggap sebagai hal yang sopan dan digunakan secara teratur di Taiwan.
Saat keadaan darurat permintaan masker terus melonjak.
Guna memenuhi permintaan, pemerintah kemudian mengambil alih produksi.
Presiden Tsai Ing Wen selanjutnya mengumumkan bahwa Taiwan dapat menghasilkan hingga 10 juta masker per hari.
Pelajaran
Banyak negara lain seperti Iran, Spanyol Italia, dan AS yang kini bergulat dengan krisis akibat corona.
Negara –negara itu banya mendapat kritik karena dianggap tanggapan mereka terhadap Covid-19 terlambat.
Wang menilai Taiwan telah belajar dari kesalahan mereka saat SARS.
Negara itu menerapkan mekanisme tanggap darurat kesehatan masyarakat yang memungkinkan pejabat yang berpengalaman dengan cepat mengenali krisis dan merespons menggunakan kebijakan yang efisien dan peka budaya.
Hal inilah yang membantu Taiwan mengendalikan penyebaran dan meminimalkan kematian.(msn)