Terkadang kita menyepelekan barang-barang yang ada di sekitar kita. Padahal banyak barang yang awalnya sederhana dan tidak berharga, ternyata di tangan yang ahli, dapat diolah menjadi bahan yang berguna.
Hal ini membuat saya jadi berfikir untuk mencari dan menuliskan cerita mengenai sebuah benda yang sering kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari. Yang SEPELE bisa menjadi SEPOLO, seperti perbincangan antara saya dengan seorang kawan di sebuah sosmed. Menurut dirinya, kearifan lokal harus di lestarikan, padahal ketika itu kami sedang membahas mengenai gayung.
Dari situ pikiran saya langsung teruju pada sebuah Bathok, setelah saya cari-cari makna dan kegunaan Bathok. Ternyata kita selama ini melupakan bahwa Bathok ini merupakan sesuatu yang sangat bermanfaat, apabila kita mau mengembangkannya.
Sebelum dinamakan Bathok, awalnya benda tersebut bernama Batok (kelapa), biasanya setelah isinya kita kerok, wadahnya kita buang atau dibakar. Wadah inilah yang sering kita sebut sebagai batok kelapa atau bathok yang artinya tempurung kelapa atau dalam bahasa Jawa biasa disebut bolu (bolong telu atau berlubang tiga), isi madu (berisi madu). Secara bebas diterjemahkan sebagai tempurung kelapa yang sudah berlubang tiga, namun berisi madu.
Ada juga, tempurung kelapa yang berlubang dan sudah kosong. Biasanya daging buahnya sudah rusak, atau habis dimakan serangga. Peribahasa ini sering digunakan untuk menggambarkan orang yang tampaknya bodoh, rendah derajatnya, ternyata memiliki ilmu pengetahuan tinggi serta kearifan yang luar biasa.
Sebagai contoh, seseorang yang terlihat biasa seperti tidak memiliki kemampuan apa-apa, ternyata merupakan orang yang ahli dibidang nya dan mampu membuat kita terpesona atas kemampuan yang dimilikinya.
Dalam kehidupan sehari hari bathok sering digunakan sebagai peralatan dapur. Saya masih ingat sewaktu kecil, nenek menggunakan bathok sebagai siwur (gayung), dan sangat unik bentuknya.
Sebagai anak jawa pasti mengenal nama siwur yang terbuat dari bathok (tempurung).
Anak muda sekarang pasti banyak yang tidak tahu atau mengenal siwur, sebab kemajuan jaman yang begitu pesat, juga sudah jarang digunakan. Apalagi jaman sudah semakin canggih dan banyak menggunakan peralatan modern.
Namun generasi tua Jawa atau leluhur masyarakat Jawa pada umumnya, sudah sangat familier dengan siwur. Ini adalah salah satu alat dapur yang berfungsi untuk mengambil air dari gentong atau tempat penampungan air lainnya. Siwur sama dengan gayung dalam bahasa Indonesia. Jadi transformasi bathok menjadi gayung, disebut dengan Siwur.
Siwur biasanya terbuat dari bahan tempurung kelapa yang diberi pegangan bambu. Tempurung kelapa yang digunakan setidaknya separuh lebih. Di salah satu bagian atas berlubang. Lalu pada bagian tengah dilubangi sebagai tempat untuk memasukkan dan mengikatkan bambu pegangan. Bentuknya memang sangat sederhana. Namun keberadaannya begitu penting di dapur.
Berdasarkan rekaman kamus bahasa Jawa bernama “Baoesastra Djawa” karangan WJS Poerwadarminta terbitan tahun 1939, pada halaman 566 kolom 2 disebutkan, siwur adalah _cidhuk sing digawe saka bathok seng digarani_ .
Dalam bahasa Indonesia kurang lebih berarti ‘gayung yang terbuat dari tempurung kelapa dan sejenisnya yang diberi tangkai/pegangan’.
Pencatatan siwur di kamus tersebut menandakan bahwa jauh sebelum tahun tersebut, siwur memang sudah lama dipakai oleh masyarakat Jawa sebagai gayung pengambil air, bagian dari peralatan dapur. Hingga saat ini sebagian masyarakat Jawa, terutama yang berada di pedesaan, masih menggunakan siwur sebagai alat dapur.
Salah satu kebiasaan yang cukup unik adalah membelakangi gentong saat mengambil air menggunakan siwur. Kebiasaan ini dimaksudkan sebagai mitos untuk menyembuhkan penyakit.
Apapun itu kita tetap bersyukur sebab nenek moyang sudah memberi warisan kearifan lokal,yang sepantasnya kita lestarikan setidaknya kita mengenalinya.
Memang jaman sudah semakin modern. Namun bila bukan kita yang melestarikan budaya kita sendiri, mau mengharapkan siapa lagi?.
Ditulis oleh: Grandis