Indovoices.com –Ketua Mahkamah Agung 2001-2008, Bagir Manan, mengatakan pembentukan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak dengan dasar demokrasi. Meski UU KPK baru telah dibentuk pemerintah melalui demokrasi perwakilan, bukan berarti demokrasi dijalankan dengan semestinya.
“Demokrasi tidak hanya berada di tangan badan perwakilan demokrasi (DPR), melainkan dibutuhkan partisipasi publik untuk lebih menjamin perwujudan politic general,” kata Bagir sebagai penggugat ahli dalam sidang uji formil UU KPK di Mahkamah Konstitusi, Jakarta Pusat.
Dalam demokrasi perwakilan tetap diperlukan referendum, insiatif rakyat, petisi, termasuk pernyataan pendapat lewat demonstrasi, opini publik, atau hak berekspresi. Dia menyebut masyarakat cukup jelas meminta penghentian pembahasan RUU baru KPK saat dibahas.
“Banyak pernyataan publik baik dari dalam kampus, di luar kampus, tulisan di media massa dan kumpulan ahli yang meminta undang-undang KPK lama tetap dipertahankan dan menghentikan pembahasan rancangan undang-undang KPK baru,” terang dia.
Baca: Penggugat Nilai Pengesahan UU Baru KPK Cacat Hukum
Dia menyebut pemerintah kurang merespons, mempertimbangkan, dan memperhatikan pernyataan publik. Partisipasi publik tidak dapat diabaikan sebagai jaminan terwujudnya kehendak rakyat dan keadilan bagi rakyat.
Selain itu, Bagir menilai DPR tergesa-gesa mengesahkan UU baru KPK. Tata cara pembentukan perundang-undangan yang baik sewajarnya mencakup kehati-hatian dengan melihat kenyataan dan pendapat di masyarakat.
“UU KPK baru yang diselesaikan dalam waktu 12 hari ada kata ketergesa-gesaan. Pembahasan yang begitu singkat selain mengesankan ketergesa-gesaan juga kurang keterbukaan dan transparansi untuk membatasi partisipasi publik,” ujar Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Padjajaran itu.
Dia juga menilai anggota DPR yang sudah hampir berakhir masa jabatannya tidak memenuhi azas keterwakilan dalam pengesahan UU KPK. Sebab, hampir 48 persen anggota DPR yang menyetujui UU baru KPK tidak lagi menjadi anggota DPR periode berikutnya.
“Ditinjau dari asas tersebut prosedur dan proses pembentukan KPK baru tidak atau kurang memperhatikan asas umum peraturan perundang-undangan yang baik maupun asas perwakilan demokratis,” pungkas Bagir.(msn)