Indovoices.com –Keterlibatan Kepala Staf Presiden Moeldoko dalam kisruh partai Demokrat mendapat kecaman relawan pendukung Joko Widodo (Jokowi).
Ketua Jokowi Mania (Joman) Immanuel Ebenezer atau Noel menilai keterlibatan Moeldoko akan ikut menyeret nama Jokowi dan berdampak buruk pada istana.
“Mau tidak mau, pasti akan berdampak pada Jokowi, karena posisi Moledoko Kepala Staf Presiden (KSP),” kata Noel.
Menurut dia agar Presiden Jokowi tidak terus terseret pada masalah Partai Demokrat, maka seharusnya, Moeldoko mundur dari jabatan KSP.
Noel mengatakan tidak ada cara lain lagi selain mundur karena Moeldoko sudah didapuk sebagai Ketum Demokrat Versi Kongres Luar Biasa (KLB) yang digelar oleh kader yang kontra Agus Harimurti Yudhoyono (AHY).
“Narasi tuduhan bahwa Jokowi terlibat di KLB Demokrat akan semakin liar jika Moeldoko tetap di Istana. Sementara Presiden Jokowi sendiri tentunya akan penuh pertimbangan untuk memberhentikan,” kata Noel.
Menurut Noel, posisi Jokowi saat ini dilematis. Presiden tidak ingin memihak salah satu kelompok yang bertikai, baik kubu SBY atau Moeldoko.
Oleh karena itu, Moeldoko harus berjiwa ksatria untuk menjaga agar Presiden tetap fokus menjalankan pemerintahannya dengan mundur dari jabatan KSP.
“Kalau memberhentikan Moeldoko nantinya SBY merasa girang dan menang secara politik maka pilihanya adalah harus berpihak pada pilihan yg sangat demokratis yaitu membiarkan persoalan internal demokrat bisa di selesaikan di internal demokrat itu sendiri,” katanya.
Noel juga meminta Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) untuk tidak membuat narasi seakan-akan pihak istana mendzolimi Demokrat. Sebaiknya kata dia, SBY fokus pada konsolidasi partai yang saat ini sedang kisruh.
“Konflik demokrat seperti besok sudah mau pilpres aja,” pungkasnya.
Sebelumnya Sekretaris Majelis Tinggi Partai Demokrat Andi Mallarangeng mempertanyakan kehadiran negara dan Polri dalam kerumunan acara Kongres Luar Biasa (KLB) Partai Demokrat kubu Moeldoko Cs di Deli Serdang, Sumatera Utara pada Jumat (5/3/2021) kemarin.
Ia mempertanyakan tidak adanya pembubaran dari pihak yang berwenang terkait kegiatan tersebut. Apalagi, acara itu digelar di tengah pandemi Covid-19.
“Nyatanya walaupun KLB itu tidak ada izin dari Polri, tetap terlaksana, tidak dibubarkan. Ketika kader kami ingin membubarkan KLB tersebut malah dihalangi. Jadi bagaimana ini, dimana negara pada saat itu? dimana demokrasi bisa ditegakkan,” kata Andi dalam diskusi daring, Sabtu (6/3/2021).
Partai Demokrat, kata Andi, menduga presiden Jokowi membiarkan adanya praktik kudeta partai yang dilakukan oleh orang dekatnya di istana.
Atas dasar itu, kegiatan KLB Demokrat kubu Moeldoko Cs dibiarkan tetap berlangsung.
“Masa sih pak Jokowi membiarkan orang yang dekat dengan dia menjadi begal partai atau begal politik semacam itu secara tidak bermartabat. Ketika orang dan kekuasaan mengintervensi partai orang lain yang berada di luar pemerintahan, apakah kepentingan pribadi atau pasifikasi kepada partai yang sedang beroposisi,” ujar dia.
Di sisi lain, dia mempertanyakan sikap diam Presiden Jokowi dalam isu pengambilalihan kepemimpinan partai Demokrat tersebut.
“Dia (Moeldoko) mengaku didukung oleh Pak Lurah dan didukung sejumlah menteri yang lain. Maka kami mengirim surat untuk bertanya kepada Presiden Jokowi karena kan dia bosnya tuh. Benar nggak kata-kata Pak Moeldoko ini bahwa dia sepengetahuan dia pak Jokowi dan disetujui sejumlah menteri. Kita tidak percaya,” jelas dia.
Tak Masalah
Polemik terkait terpilihnya Jenderal (Purn) Moeldoko sebagai Ketua Umum Partai Demokrat dalam KLB Deliserdang dan kini masih menjabat sebagai Kepala Kantor Staf Kepresidenan terus berkembang.
Pengamat Politik Saiful Huda Ems mengatakan menjadi Kepala KSP sekaligus menjadi Ketua Umum Partai Politik bukanlah bentuk dari dualisme jabatan.
“Kepala KSP merupakan bentuk jabatan (pejabat pemerintahan), namun ketua umum parpol bukanlah bentuk dari jabatan (bukan termasuk pejabat pemerintahan), karena itu menjadi Kepala KSP sekaligus menjadi ketum partai bukanlah bentuk dari dualisme jabatan. Jadi tidak ada masalah dan tidak perlu dipermasalahkan,” kata Saiful Huda melalui pesan tertulisnya, Minggu (6/3/2021).
Menurutnya, Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) Parpol harus mengacu pada Undang-Undang (UU) Parpol dan Konstitusi.
Kalau tidak maka AD/ART parpolnya yang bermasalah atau kepengurusan sebelumnya yang bermasalah, dan bukan KLB-nya yang bermasalah.
Sebab AD/ART bukan hanya masalah internal partai, namun juga masalah eksternal partai.
“Semua AD/ART Parpol harus tunduk pada hukum negara. Berbeda dengan urusan KLB atau sengketa Kepengurusan Parpol, itu merupakan persoalan internal Parpol dan Kemenkumham (Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia) serta PTUN (Pengadilan Tata Usaha Negara) hanya bertindak sebagai wasit dan juri saja, jika itu diumpamakan sebuah pertandingan olah raga,” kata Saiful yang juga Praktisi Hukum ini.
Saiful yang juga mantan pengurus Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI) di Jerman itu mengungkapkan, jika KLB Partai Demokrat Deli Serdang merupakan upaya untuk merivisi AD/ART Partai Demokrat dan untuk mengoreksi manajemen serta mengganti kepengurusan Partai Demokrat sebelumnya yang lebih sesuai dengan UU Parpol dan Konstitusi, maka hasil KLB Deli Serdang dapat dianggap sebagai yang sah.
Dikatakan, apabila nantinya Kemenhukam mensahkan Kepengurusan Partai Demokratdari hasil Kongres Deli Serdang, maka Kepengurusan Partai Demokrat versi Cikeas bisa menggugat putusan Kemenhukham ke PTUN.
“Sebelum memberikan putusan soal pengesahan, Kemenhukam biasanya akan memediasi kedua belah pihak yang bersengketa, pun demikian dengan PTUN,” kata Saiful.
Sebelumnya seperti dikutip dari Kompas TV, Pengamat politik, Yunarto Wijaya mengkritisi terpilihnya Moeldoko sebagai Ketua Umum Partai Demokrat versi KLB Demokrat di Deli Serdang.
Menurutnya, terpilihnya Moeldoko hanya akan membawa beban bagi pemerintahan Jokowi saat ini.
Terutama, karena Moeldoko berada dalam lingkaran istana.
“Sebaiknya Moeldoko mundur dan tidak rangkap jabatan dalam hal ini dan menjadi uji demokrasi dalam hal ini,” katanya.
Direktur Eksekutif Charta Politika ini juga menambahkan, bahwa Presiden Jokowi dapat menawarkan Moeldoko untuk mundur secara baik-baik, sehingga ia dapat memilih untuk membesarkan partai.
“Di sisi lain, Pak Jokowi juga bisa memilih orang untuk bisa membantu dirinya dalam situasi pandemi ini,” ujarnya.