“Terkait fasilitas fiskal, kami sudah berkoordinasi dengan Menteri Keuangan. Setelah disepakati dan sesuai arahan ratas, selanjutnya dikoordinasikan dengan Menko Perekonomian dan Kemaritiman untuk persiapan Perpresnya. Kemudian, Menteri Keuangan akan berkonsultasi dengan Komisi XI DPR,” kata Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto seusai mengikuti Rapat Terbatas (Ratas) tentang Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik di Kantor Presiden, Jakarta, Senin (14/1) sore.
Menperin menjelaskan, pengembangan kendaraan listrik sebagai salah satu komitmen pemerintah dalam upaya menurunkan emisi Gas Rumah Kaca (CO2) sebesar 29 persen pada tahun 2030 sekaligus menjaga ketahanan energi, khususnya di sektor transportasi darat. “Jadi, tren global untuk kendaraan masa depan adalah yang hemat energi dan ramah lingkungan,” tuturnya.
Selain itu, dapat mengurangi ketergantungan pada energi fosil. “Sesuai yang disampaikan Bapak Presiden Joko Widodo, melalui kendaraan bermotor listrik dapat mengurangi pemakaian Bahan Bakar Minyak (BBM), serta mengurangi ketergantungan kita pada impor BBM yang berpotensi menghemat devisa kurang lebih Rp798 triliun,” imbuhnya.
Airlangga menegaskan, Kementerian Perindustrian telah menyusun peta jalan untuk pengembangan industri otomotif nasional. Salah satu fokusnya adalah memacu produksi kendaraan emisi karbon rendah atau Low Carbon Emission Vehicle (LCEV), termasuk di dalamnya kendaraan listrik.
“Targetnya pada tahun 2025, populasi mobil listrik diperkirakan tembus 20 persen atau sekitar 400.000 unit dari 2 juta mobil yang diproduksi di dalam negeri,” ungkapnya. Di samping itu, pada tahun 2025, juga dibidik sebanyak 2 juta unit untuk populasi motor listrik.
“Jadi, langkah strategis sudah disiapkan secara bertahap, sehingga kita bisa melompat untuk menuju produksi mobil atau sepeda motor listrik yang berdaya saing di pasar domestik maupun ekspor,” tuturnya. Hal ini juga sejalan dengan implementasi program prioritas Making Indonesia 4.0.
Airlangga menambahkan, penyusunan Perpres sebagai payung hukum sedang diformulasikan terutama mengenai persyaratan yang akan menggunakan fasilitas insentif. Dalam implementasinya nanti, pada tahap awal, diberlakukan dengan bea masuk nol persen dan penurunan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (PPnBM) untuk kendaraan bermotor listrik.
Menperin juga menilai, salah satu kunci pengembangan kendaraan listrik berada pada teknologi baterai. “Indonesia punya sumber bahan baku untuk pembuatan komponen baterai, seperti dari nikel laterit yang merupakan material energi baru,” ujarnya.
Pada Jumat (11/1), Menperin dan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Panjaitan meresmikan peletakan batu pertama pembangunan PT. QMB New Energy Materials di kawasan Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP), Sulawesi Tengah. Proyek industri smelter berbasis teknologi hydrometallurgy ini akan memenuhi kebutuhan bahan baku baterai lithium generasi kedua nikel kobalt yang dapat digunakan untuk kendaraan listrik.
Total investasi yang ditanamkan sebesar USD700 juta dan akan menghasilkan devisa senilai USD800 juta per tahun. Dari pabrik ini, setiap tahunnya akan memproduksi sebanyak 50.000 ton produk intermediate nikel hidroksida, 150.000 ton baterai kristal nikel sulfat, 20.000 ton baterai kristal sulfat kobalt, dan 30.000 ton baterai kristal sulfat mangan.
Sesuai arahan Presiden Jokowi dalam ratas, pengembangan kendaraan listrik perlu melibatkan pihak swasta baik untuk melakukan kegiatan riset maupun pembangunan infrastruktur yang dibutuhkan. Selain itu penyiapan sumber daya manusia (SDM) Indonesia yang mampu menguasai teknologi terkini dan mengoptimalkan tingkat komponen dalam negeri (TKDN) sebagai penciptaan nilai tambah dan efek berantai bagi perekonomian nasional.
Pada kesempatan berbeda, Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Industri (BPPI) Kemenperin Ngakan Timur Antara menyampaikan, industri kecil dan menengah (IKM) berpeluang memproduksi komponen kendaraan listrik. “Kami terus dorong IKM komponen otomotif agar juga menguasai suku cadang untuk kendaraan listrik,” ungkapnya.
Menurut Ngakan, IKM komponen kendaraan konvensional akan berdampingan dengan IKM komponen kendaraan listrik pada masa transisi. Situasi itu bisa dijadikan peluang untuk IKM kendaraan konvensional bersiap memproduksi suku cadang kendaraan listrik. “Memang jumlah komponen pada kendaraan listrik lebih sedikit. Tapi nanti, ini sama-sama hidup berdampingan. Ada masa transisi yang cukup lama, tidak serta-merta tergantikan,” ungkapnya.
Ngakan menambahkan, industri otomotif merupakan salah satu sektor yang diprioritaskan dalam pengembangannya agar menjadi pionir dalam penerapan industri 4.0. Langkah ini turut mencakup kesiapan industri dalam memproduksi kendaraan listrik, termasuk juga memproduksi bahan baku dan komponen utamanya serta optimalisasi produktivitas sepanjang rantai nilai industri tersebut.