Minggu terakhir bulan Juni 1921,
Aku berangkat ke Bandung,
Kota yang mirip Princeton ataupun kota pelajar yang lain.
Aku tidak malu mengakui bahwa tempat baru ini sangat menyenangkan hatiku.
Bahkan kemudian aku memiliki kesenangan yang lain,
Sebuah pipa rokok.
Sebenarnya aku masih diliputi rasa bangga,
Setelah aku berhasil memperkenalkan pemakaian peci,
Kopiah beludru hitam yang kemudian menjadi tanda pengenalku,
Sebagai lambang Nasionalisme kami.
Peristiwa itu terjadi dalam satu rapat Jong Java,
Sesaat sebelum aku meninggalkan Surabaya.
Pada rapat sebelumnya,
Ada diskusi yang seru dilakukan oleh kelompok yang disebut inteligensia.
Mereka membenci pemakaian blangkon,
Penutup kepala yang biasa dipakai orang Jawa bersama sarung,
Dan peci yang biasa dipakai tukang beca atau rakyat biasa lainnya.
Mereka mencemooh semua jenis penutup kepala yang biasa dipakau orang Indonesia,
Dan memilih tidak mengenakan apa2,
Begitulah cara mereka mengejek dengan halus kalangan masyarakat yang lebih rencah.
Mereka seharusnya belajar,
Bahwa seseorang tidak akan dapat memimpin massa rakyat,
Jika tidak masuk ke dalam lingkungan mereka.
Karena tidak seorang pun di kalangan kaum intelektual melakukan hal yang demikian,
Aku memutuskan sendiri untuk menjadikan diriku bagian dari rakyat jelata.
Pada rapat berikutnya,
Aku bermaksud memakai peci.
________________________________
Begitulah yang kulakukan.
Setiap orang ternganga melihatku,
Tanpa bicara.
Agaknya lebih baik memecahkan kesunyian itu dengan berbicara :
“Demi tercapainya cita-cita kita,
Para pemimpin politik tidak boleh lupa bahwa mereka berasal dari rakyat,
Bukan berada di atas rakyat!…”
Mereka masih saja menatapku …
Aku lanjutkan kata-kataku :
“Kita memerlukan sebuah simbol dari kepribadian Indonesia.
Peci yang memiliki sifat khas ini,
Mirip yang dipakai oleh para buruh bangsa Melayu,
Adalah asli milik rakyat kita.
Tetapi istilahnya berasal dari penjajah kita.
Menurutku,
Marilah kita tegakkan kepala kita dengan memakai peci ini sebagai lambang Indonesia Merdeka.”
Pada saat melangkah keluar dari kereta api di stasiun Bandung dengan peciku yang memberikan kesan gagah,
Peci itu telah menjadi lambang tingkat nasional dari para pejuang kemerdekaan.
(“Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat” by Cindy Adams)
_____________________________________
Jam 02:02 WIB,
Saya terbangun dengan tubuh sedikit demam …
Pilek yang dari sejak dua hari kemarin tak juga reda,
Menambah banyaknya bintang2 yang beterbangan di sekitar kepala saya.
Bermaksud mengambil air minum di dapur,
Dan saya temui Bapak sedang duduk di teras,
Dengan memegang peci kesayangannya …
“Bapak ….,” sapaku perlahan ….
“Eh, Nduk …
Koq wis tangi??? ….
Demam mu belum hilang yaaa? …”
“Dereng, Pak …
Mau ambil minum dulu yo, Pak ….”
“Ojo lali ngombe obatmu, Nduk …,”
Sedikit nada khawatir terdengar dari suara Bapak.
Tak lama saya kembali,
Dan duduk menyender di sebelah Bapak.
“Mulai ngalem yaaa …,”
Kata Bapak ….
“Kangen Bapak …
Sudah lama saya ndak ketemu sama Bapak ….”
Bapak tertawa pelan,
Menepuk2 pundak saya …
“Wis gedhe koq njaluk dikancani terus to??? ….”
Saya mengangsurkan tangan saya,
“Ngampil, Pak ….”
“Opo sing mau mbok silih kuwi?? …”
“Peci ne Bapak ….
Pinjem sebentar ….”
Bapak memberikannya kepada saya,
Teraba bulu2 halus beludru nya.
“Peci kesayangan’e Bapak yaaa….”
“Peci yang membawaku go Internasional, Nduk …
Meminjam istilah anak2 jaman sekarang …”
Saya tersenyum,
Mendekap peci Bapak di dada saya ….
“Sebuah kebangga tersendiri,
Ketika aku akhirnya berhasil menjadikan peci oti sebagai simbol Nasionalisme Indonesia ….
Peci yang dulu seringnya dianggap sebagai simbol rakyat jelata,
Yang akhirnya aku pakai,
Karena aku inginkan rakyat menjadi pemimpin di negerinya sendiri …”
“Pak ….
Bapak tau berita soal rencana debat calon presiden nganggo boso Inggris?? ….”
“Lha yo kuwi, Nduk ….
Koq rasane atiku loro yoo ….
Kita ini bangsa besar lo,
Kita ini punya bahasa persatuan,
Yang sudah diikrarkan sejak Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928.
Kita ini punya bahasa Indonesia,
Yang sangat dikagumi bangsa2 sedunia.
Lha koq malah ajak debat nganggo boso Inggris to???? …”
“Ben kethok gaya bekne, Pak ….,”
Sahut saya sambil tidur2 ayam di bahu Bapak …
“Halah!!! ….
Gaya opo??? ….
Gaya sok jadi wong pinter yoo?
Gaya ben dianggep sebagai kaum intelektual??
Padahal asline yo bodoh buanget!!!….
Itu kan sama saja dia tidak menghargai bahasanya sendiri,
Lalu bagaimana bisa dia bicara soal Nasionalisme??? …
Lagian,
Andai memang jadi, Nduk …
Sing gelem ngrungokno kuwi yo sopo????…
Rumangsamu,
Rakyat mudeng pokaro boso Inggris??? ….”
“Nganu, Pak ….
Dirungokno karo semut ….,”
Jawab saya sekenanya …
“Kowe kie ngawur,
Ngendi ono semut iso krungu ….,
Nek loro kuwi omonganmu ngaco tok ya, Nduk …”
“Loro kangen karo Bapak koq …..”
“Mesti kangen debat yo, Nduk?? …”
“Kangen sinau karo Bapak …”
Bapak memencet ujung hidung saya …
“Bapak!!! …
Kan saya lagi pilek ….”
“Ben cepet waras …
Ben kowe iso cerito maneh,
Tentang nasionalisme negeri ini,
Yang harus terus kau tegakkan …”
Saya tersenyum,
Mendengarkan Bapak mengomel,
Kenapa rasanya justru senang sekali ….
Omelan Bapak seakan lecutan semangat,
Utk terus berjuang demi negeri ini …
“Berapa lama lagi kowe nang Bandung, Nduk??? …”
“Sekitar seminggu lagi, Pak ….”
“Bandung dulu adalah paspor menuju dunia putih bagiku ….
Semoga hal yang sama berlaku juga bagimu ….”
“Maksud Bapak???? …”
“Kita lihat apa yang akan terjadi kelak ….
Siap to untuk hal2 yang lebih besar??? ….”
“Asal tetap ditemani sama Bapak ….,”
Jawab saya sambil semakin merapatkan diri pada Bapak.
Dan diam2 saya menikmati kebersamaan saya dengan Bapak malam ini,
Sebagai kanak2 yang merindukan Bapak hadir menemani saya,
Di saat2 saya merasa sepi …
Terima kasih, Pak ….
(Dedicated for “Bapak” Ir. Soekarno – Founding Father of Indonesia)
Al Fatihah …