Oleh: Gurgur Manurung
Akhir-akhir ini ada tiga jenderal dan satu doktor yang menjadi viral bukan karena kehebatannya. Tetapi karena ada sikap dasar cara berpikir minimal tidak dimilikinya.
Mereka adalah Edy Rahmayadi Gubernur Sumatera Utara ketika diwawancarai wartawan Kompas TV. Istilah apa hak ada menanyakan itu kepada saya menjadi viral di senatero negeri. Viral yang menjadi bahan olokan. Sungguh memalukan. Padahal Edy Rahmayadi adalah Gubernur Sumut, Ketua Umum PSSI , mantan Pangdam Bukit Barisan dan mantan Pangkostrad.
Kekonyolan Edy Rahmayadi diperparah ketika acara Mata Najwa. Najwa menanyakan apakah benar pengurus PSSI tidak bisa tegas bersikap karena pemilik saham di berbagai kesebelasan? Edy Rahmayadi menagatakan, itu bohong. Kemudian Najwa memaparkan data bahwa Edy Rahmayadi adalah pemilik saham PSMS Medan, dan pemilik saham di Arema Malang dan Persija juga pengurus PSSI. Edy Rahmayadi membenarkan data itu. Betapa malunya Edy Rahmayadi dihadapan publik penonton mata Najwa.
Mantan Panglima TNI Gatot Nurmantyo juga demikian. Gatot Nurmatyo menuding bahwa dibalik penghentian wajib menonton film G30 S PKI adalah PKI. Juga peran PKI dalam pelajaran sekolah dan pencabutan TAP MPRS tentang Leninisme. Seorang sejarawan dalam diskusi yang dipandu Rosianna Silalahi itu menjelaskan bahwa yang mencabut kewajiban menonton film G30 S PKI adalah era BJ Habibie yang ketika itu Menteri Penerangan adalah Letjen Yunus Yosfiah. Prof. Juwono Sudarsono yang mengatakan agar film itu perlu ditinjau ulang. Menyoal pencabutan TAP MPR soal Leninisme adalah Abdurrahman Wahid atau Gusdur. Mendengar pemaparan itu, kelihatan sekali Jenderal Gatot Nurmantyo tidak rajin membaca. Pemahamannya tentang sejarah begitu dangkal. Mengapa jenderal kualitas berpikirnya seperti itu. Bukankah cara pikir dan sistematika cara pikir seorang jenderal memiliki prinsip dasar yang ilmiah?.
Terakhir adalah Prabowo Subianto yang Capres itu. Bagaimana mungkin seorang Letnan Jenderal konprensi pers di TV dan berbagai media yang isinya hoax? Sikap ini sangat memalukan. Apa dengan standard minimal kita menerima dan memberikan informasi?. Bukankah itu menyangkut prinsip dasar berkomunikasi?.
Jika anda pernah kursus tingkat dasar jurnalistik, maka akan diajarkan cover both side, chek and balancis dan sikap kritis kepada semua informasi.
Apa yang terjadi dalam kasus Ratna Sarumpaet adalah gambaran kita, kualitas kita, siapa kita. Bagaimana mungkin prinsip dasar berkomunikasi tidak dimiliki seorang Calon Presiden yang pangkatnya Letnan Jenderal?.
Demikain juga Rizal Ramli yang lulusan ITB juga Ph.D bidang ekonomi. Ada apa dengan kualitas hidupnya?.
Dari kejadian ini perlu kita belajar, agar melatih diri untuk disiplin berkomunikasi. Terbiasa akurat.
Politik yang berperang membangun opini kita sadari. Tetapi, membangun opini tanpa fakta dan data menjadikan blunder. Itulah yang dialami Prabowo.
Kejadian akhir-akhir ini mengajarkan kita agar makin kritis, terus membaca buku yang ditulis oleh orang yang bermutu dan berperilaku baik pula. Baanyak teman aktivis bergerak, tapi malas membaca buku bermutu. Akibatnya, dia hanya cerita kenal dengan si Anu, si Begu, si Ritna, Si Ronggur tapi dampaknya tidak dirasakan orang disekitarnya. Selamat membaca.
#gurmanpunyacerita