Cerita ini adalah pengalaman pribadi ketika berbicara dengan seseorang. Ketika ada kejadian yang sama, itu berarti sudah termasuk kedalam perjalanan kehidupan pribadi masing-masing. Ketika ada yang tersinggung, berarti politik pilpres sudah mulai merasuki pikiran. Walaupun waktu masih ada sampai bulan April 2019.
Biasanya aku tidak terlalu serius untuk menanggapi apa yang menjadi pembicaraan politik di warung kopi. Tetapi entah apa yang membuat diriku sangat tetarik dengan seorang yang sama sekali tidak aku kenal. Aku memberanikan diri untuk terlebih dahulu menyapanya.
Pembicaraan mulai lancar hingga pada satu titik, kami membicaraan politik. Kemudian aku mulai memberanikan diri untuk menyatakan bahwa “Jokowi kemungkinan besar akan naik lagi menjadi Presiden pada tahun 2019”.
![](https://www.Indovoices.com/wp-content/uploads/2018/11/index-300x168.jpg)
Wajah lawan bicaraku mulai berkerut. Dia mulai berbicara serius. Banyak argumen yang keluar dari dirinya. Hingga pada satu titik dia berkata “Apanya yang bagus sehingga dia naik lagi jadi Presiden?”. Wah aku mulai kebingungan. Perasaan dalam diriku berkecambuk. Muncul banyak pertanyaan di kepalaku.
Dia mulai menjelaskan siapa yang dia dukung untuk Pilpres 2019. Ternyata dia pendukung Prabowo. Aku mulai menancapkan kuda-kuda bertanya dan mencari informasi yang banyak tentang kekagumannya terhadap sosok Prabowo.
Sebelum saya bertanya, dia mengeluarkan banyak argumen tentang kekagagalan Jokowi . beberapa diantaranya kegagalan revolusi mental, banyaknya hutang, ekonomi Indonesia yang semakin sulit. Saya coba menanggapi dengan kepala dingin.
Serangan semakin bertubi-tubi terhadap argumen yang saya berikan. Dia semakin mengagungkan Prabowo. Saya bertanya dengan simple, dan isi pertanyaan saya “kan ketika Prabowo terpilih menjadi Presiden, Ibu Negara kita kan tidak ada?”. Dia menjawab dengan santai dan nada datar “Kan saat ini sedang dalam proses baikan”. Wah ternyata benar politik itu cair. Apa saja bisa diperbaiki.
Pembicaraan semakin melebar. Saya bertanya degan sinis dan mengharapkan jawaban yang jujur dan dapat diterima dengan logika. “tapi kan bang, Prabowo kan didukung oleh HTI, sementara HTI sudah dinyatakan sebagai organisasi terlarang di Indonesia?”. Ternyata dia juga mendukung apa yang sedang diperjuangakan oleh HTI di Indonesia.
Saya mencoba menjelaskan tentang tujuan HTI. Saya juga mengajak dia untuk mencari tahu banyak tentang Khilafah di berbagai dunia. (Bukan berarti saya tahu banyak tentang HTI). Dia tetep berkeras dengan apa yang ada dipikirannya. Sungguh saya sangat menyayangkan.
Dari kejadian yang saya alami. Ternyata politik menunggangi agama, masih ampuh di Indonesia. Menutup mata dan hati nurani sudah menjadi hal yang wajar di masyarakat. Pemikiran masyarakat masih banyak yang menjadi perdebatan. Kita bisa berpikir dan mengatakan masyarakat sudah banyak yang melek politik. Ini hanyalah terjadi di kota-kota besar, bagaimana dengan desa-desa dan kota kecil?
Ternyata dari banyak informasi di media cetak dan elektronik. Baru-baru ini, penyebar hoaks banyak dari kalangan ibu-ibu. Padahal dalam keseharian, ibu-ibu banyak menghabiskan waktu malam di depan televisi menyaksikan sinetron.
Benar apa yang dikatakan banyak pengamat politik. Pilkada Jakarta bisa menjadi sebuah senjata. Bisa juga menjadi sebuah racun. Tunggang menunggangi sudah biasa dalam politik. Tidak peduli dampak yang akan terjadi pada masyarakat umum. Kehancuran, pertikaian, melemparkan kebencian sudah menjadi hal yang wajar dalam politik. Tetapi masyarakat masih sangat sulit untuk menyaring itu semua.
Hingga pada satu titik seorang ibu pernah berkata, “mengapa mereka yang melemparkan sebuah argumen, kita disini yang ribut?”. Hal ini menunjukkan besarnya pengaruh kalimat politik di televisi terhadap kehidupan sehari-hari. Sehingga hal yang wajar dalam waktu singkat semakin banyak masyarakat menjadi politikus dadakan.
Pilpres 2019 memang masih jauh. Berbagai strategi akan dilakukan oleh masing-masing Tim Sukses. Pendekatan pribadi, media elektronik, bahkan media massa akan digunakan menjadi alat politik. Belajar dari Pilkada Sumut dan Pilkada Jakarta. Politik identitas masih menjadi alat ampuh mencapai tujua yaitu kemenangan.
Tapi dibalik itu semua, hati nurani dan pemikiran yang terbuka sangat dibutuhkan untuk melihat perkembangan politik tanah air. Kebencian memang sangt indah untuk didengarkan yang bisa menguras emosi dan perasaan. Tetapi kebaikan dan kejujuran akan dapat mengalahkan kebencian.
Salam…..